Nasionalisme Ekonomi Versus Globalisasi

Oleh Imam Cahyono
Koordinator Riset Al Maun Institute, Jakarta
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0604/17/opini/2584066.htm
——————————————————–

Investor first, people second! Bagi rezim neoliberal, globalisasi
adalah bagaimana menjunjung tinggi kedaulatan pasar bebas atau free
market.

Cengkeraman neoliberalisme terpancar pada gencarnya privatisasi dan
liberalisasi ekonomi. Mantra neoliberal menempatkan investasi dan
investor di atas segalanya. Setiap kebijakan ekonomi harus tunduk
pada sistem, mekanisme, dan hukum pasar. Tanpa mengikuti dogma itu,
kemakmuran mustahil didapat.

Globalisasi diyakini sebagai era kematian negara-bangsa (the end of
the nation-state). Di bidang ekonomi, peran negara dilucuti, sebatas
penjaga. Neoliberalisme menyebarkan gagasan bahwa hanya ekonomi yang
dikelola perusahaan supranasional (anti state) yang bakal membawa
kesejahteraan. Kasus PT Freeport di Papua dan ExxonMobil di blok Cepu
menegaskan dahsyatnya mantra privatisasi dan liberalisasi ekonomi.
Negara bak macan ompong atas intervensi asing.

Proteksi negara

Sejenak menengok bumi lain. Beberapa negara di Eropa—dikenal sebagai
pendukung pasar bebas—belakangan marak dengan aksi anti-perusahaan
asing (anti takeover movements, The Economist, 4/3/2006). Eropa yang
sedang gencar melakukan gelombang merger lintas negara terbesar,
sejak ledakan dotcom tahun 2000, dikagetkan aksi anti- kepemilikan
perusahaan asing (anti foreign takeovers).

Uni Eropa (UE) mengkritik kebijakan Perancis yang menyetujui merger
dua perusahaan besar Perancis, Suez dan Gaz de France, sehingga
pupuslah peluang kemenangan tender perusahaan raksasa Italia, Enel
Group. Merger itu dinilai sebagai blokade atas investor-investor
asing dan dianggap mendistorsi ekonomi pasar. Merger antara
perusahaan nasional dibolehkan, tetapi tidak dengan perusahaan milik
asing.

Jerman menuduh langkah Perancis bertentangan dengan legislasi UE,
kontradiktif dengan European single market. UE menegaskan, negara-
negara akan lebih baik saat mereka berbagi kedaulatan, terutama dalam
monopoli pasar, tidak dalam nasionalisme. Kebijakan Perancis dituduh
bukan untuk mempertahankan kepentingan nasional, tetapi
mempertahankan kepentingan elite dan kroni.

Perancis menolak anggapan merger akan meliberalisasi pembagian
kepemilikan dan menciptakan perusahaan terbesar di dunia. Ia justru
mengontrol (state control) perusahaan nasional dengan membentengi
diri dari dominasi kepemilikan perusahaan asing (foreign ownership).
Ini menunjukkan nasionalisme dan kepemilikan terhadap aset negara.

Upaya proteksi negara terhadap kepemilikan perusahaan nasional dari
pihak asing tidak hanya terjadi di Perancis. Pemerintah Spanyol
mempertahankan perusahaan miliknya, Endesa, dari Jerman yang akan
membelinya. Pemerintah Polandia membendung merger bank yang akan
dilakukan modal asing. Gubernur bank Italia mencegah pihak asing
membeli bank milik nasional. Politisi Korea Selatan berang atas
langkah Amerika Serikat membeli KT&G, perusahaan monopoli tembakau
dan ginseng.

Di Rusia, sejak lama terjadi pergulatan antara proteksionisme dan
nasionalisme ekonomi di satu sisi dengan restrukturisasi bisnis dan
globalisasi di sisi lain.

Sikap negara-negara yang antikepemilikan asing itu merefleksikan apa
yang dikemukakan Karl Marx, “Ownership, and hence the power to
exploit, was all, hence socialist governments fateful desire to
nationalize the ‘commanding heights’ of their economies.”

Nasionalisme (ekonomi) kita

Ribut-ribut soal nasionalisme ekonomi, Indonesia tak mau ketinggalan,
tetapi dengan konteks berbeda. Celakanya, nasionalisme yang
diributkan di Indonesia tidak jelas maksudnya.

Politisi mengecam investasi ExxonMobil 2,5 miliar dollar AS di ladang
minyak blok Cepu. Mereka juga mengecam penambangan PT Freeport di
Papua dan meminta perusahaan itu menghentikan kegiatannya.

Pada saat sama, para politisi memuji keberhasilan pemerintah menjual
saham obligasi negara dua miliar dollar AS. Padahal, obligasi itu
dijual kepada investor asing. Maklum, pemerintah yang market friendly
sedang berupaya menarik investor asing dengan segala cara.

Lebih ironis lagi, banyak investor dalam negeri pindah ke mancanegara
dengan alasan keamanan dan prospek. Tengok Putera Sampoerna yang
berencana menginvestasikan uang 170 juta dollar AS di London Casino.
Group Sinar Mas memilih berinvestasi empat miliar dollar AS di China.
Group Salim menginvestasikan 1,2 miliar dollar AS di negara tirai
bambu.

Alhasil, kebijakan dan peran Pemerintah Indonesia di era globalisasi
serba tidak jelas juntrungannya. Mau menerapkan proteksi dan
menggalakkan nasionalisme, tetapi setengah hati.

Barangkali, Indonesia ingin memperjuangkan nasionalisme ekonomi gado-
gado, setengah asin, separo asem, dan sisanya hambar. Tak karuan!

3 Comments

  1. Mielan_PolepHy said,

    June 18, 2007 at 1:51 pm

    Pemerintah Indonesia tu tidak dapat menjadi contoh yang baik bagi rakyat maupun segelincir orang yang sedang mencari jati diri. Faktanya, pemerintah kita hanya mementingkan ideologi yang tak karuan, tak jelas ujungnya maupun konsepnya, yang ada dipikirannya hanya ” yang penting gue nyaman di sini ” , seperti istilah bento yang di populerkan oleh Iwan Fals.
    Ayolah ” Cheer Up” bangsa Indonesia, jangan lah menjadi Underdog di dunia ini. Saya atas nama generasi pemuda ingin menjadikan negara ini lebih baik bahkan paling baik di dunia ini.

  2. Mielan_PolepHy said,

    June 18, 2007 at 1:54 pm

    Pemerintah Indonesia tu tidak dapat menjadi contoh yang baik bagi rakyat maupun segelincir orang yang sedang mencari jati diri. Faktanya, pemerintah kita hanya mementingkan ideologi yang tak karuan, tak jelas ujungnya maupun konsepnya, yang ada dipikirannya hanya ” yang penting gue nyaman di sini ” , seperti istilah bento yang di populerkan oleh Iwan Fals.
    Ayolah ” Cheer Up” bangsa Indonesia, jangan lah menjadi Underdog di dunia ini. Saya atas nama generasi muda ingin menjadikan negara ini lebih baik bahkan paling baik di dunia ini.

  3. September 7, 2008 at 9:38 am

    […] Nasionalisme Ekonomi Versus Globalisasi […]


Leave a comment