Jadi Bangsa karena Aksara

Oleh AGUS HERNAWAN
Penyair; Bergiat pada Roda for Education and Culture
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0604/22/humaniora/2591267.htm
——————————————————-

Aksara, sederhananya adalah huruf (graf) yang—dalam linguistik—
disebut lambang dari bunyi (fon). Namun, aksara tentu tidak cuma
terhenti pada pengertian tentang huruf atau lambang bunyi itu.

Sebagai titik bermula bahasa tulisan yang, utamanya setelah temuan
Gutenberg, disebut bahasa cetak, aksara merupakan instrumen suatu
kebudayaan, peradaban, dan khazanah pengetahuan untuk diajarkan,
diwariskan, dan dikembangkan. Bahkan, bagi kalangan posstrukturalis,
aksara tidak sekadar instrumen. Menurut mereka, di dalam aksaralah
manusia beserta produk-produk yang dihasilkannya mengada.

Dasar argumen kalangan posstrukturalis di atas tentu masih terbuka
untuk didebat. Tapi, kenyataan tentang sejarah yang hanya mengada di
dalam aksara tentu sulit untuk disanggah.

Dalam tradisi historiografi misalnya, aksara tetap dijadikan sandaran
memilah zaman yang disebut prasejarah dan yang disebut sejarah.
Namun, aksara yang dijadikan sandaran itu sepertinya belum lagi
memuat arti keberaksaraan sesungguhnya. Melainkan masih sebatas
keberaksaraan satu golongan dan belum menjadi keberaksaraan yang
lahir dari praktik distribusi aksara dengan merata.

Distribusi aksara dengan merata selain merangsang terbitnya tradisi
melek huruf dan lahirnya keberaksaraan dalam arti sesungguhnya, juga
sering memicu terjadinya lompatan dan pergolakan sosio-kultural yang
sengit. Distribusi aksara melalui temuan mesin cetak press, disusul
dicetaknya Injil secara massal oleh Gutenberg pada tahun 1454 di
Mainz, Jerman, contohnya, menjadi titik-balik kelahiran (kembali)
manusia dan kebebasannya dari cengkeram tirani otokrasi dan teokrasi.
Inilah pangkal jalan bagi datangnya masa yang kemudian disebut
(Zaman) Pencerahan.

Lompatan dan pergolakan itu, pada batas tertentu, juga terjadi di
tanah yang disebut orang Persia sebagai Zirbad, negeri di bawah angin
kering dan lembab. Indonesia dari sebuah nama etnografis, melalui
aksara, lahir dengan melepas dari masa silamnya. Ia jelas bukan
sekadar terusan dari negara maritim Sriwijaya atau monarki Majapahit,
atau tanah jajahan Hindia Belanda. Pertautan, bila ada, hanya sebatas
pertautan romantik dan tragik. Dan, Indonesia hari ini, di antara
harapan dan kemalangannya, adalah entitas yang melucuti diri. Ia
merupakan diskontinuitas. Murni produk dari keberaksaraan abad ke-19.

Dari lisan ke tulisan

Aksara, sekian lama, terkurung tembok istana. Menjadi monopoli
satu “puak terhormat”. Di luar tembok istana, di luar “puak
terhormat” itu, golongan dalam jumlah yang besar berada dalam kondisi
absen dan kosong. Mereka yang disebut terakhir ini, berbilang abad,
dijarakkan dari aksara, yang juga berarti dijarakkan dengan
pengetahuan—terlebih itu pengetahuan kritis. Mereka pun terjerembab
dalam ketiadaan pengetahuan, menjadi “si bisu-buta” dalam masa yang
merentang demikian panjang.

Pengetahuan—atau lebih tepatnya pernyataan—menghampiri “si bisu-buta”
melalui mekanisme tradisi lisan. Mekanisme yang terbukti sangat
efektif untuk memengaruhi mereka, menggiring mereka dalam uniformitas
dan kepatuhan yang teguh pada pakem-pakem sosio-kultural yang feodal.

Pada hari-hari raya, di gelanggang, di alun-alun, atau di sebentang
tanah lapang didatangkan si tukang cerita. Cerita demi cerita
mengalir, memasuki kesadaran mereka yang kosong. Memenuhinya dengan
dongeng tentang raja-raja yang separuh dewa (Pandito-Ratu) dengan
putra-putri yang gagah perkasa dan cantik jelita; kehidupan yang
tentu tak terjamah oleh mereka. Inilah model pemerolehan pengetahuan
di masa kelisanan bagi “si bisu-buta”. Pengetahuan sebagai pernyataan
yang menundukkan mereka pada moralitas “duli toean”.

Akhir masa kelisanan, lewat temuan arkeologis atau kronik
historiografi, dikatakan berada dalam millenium pertama abad Masehi.
Namun, selain ini hanya berlaku pada tempat-tempat dengan lembaga
monarki, juga belum menunjukkan adanya praktik distribusi aksara
dengan merata. Begitu pun temuan ortografis tertua dalam bahasa
Melayu kuno di Sumatera masih menunjukkan kepemilikan aksara itu
berada di tangan golongan istana. Bahkan, abad ke-15 yang ditandai
sebagai awal bahasa Melayu modern melalui temuan kitab-kitab istana
dan surat-surat emas para raja tetap saja menjelaskan hal yang sama.

“Juru bicara” zaman

Distribusi aksara berangsur meluas—itu pun masih dalam lingkup
terbatas—baru sejak tengah abad ke-19. Imperialisme Belanda, setelah
kebangkrutan para saudagar yang terhimpun dalam VOC dan
pengambilalihan Hindia sesaat oleh Inggris, mulai berpikir tentang
pendidikan bagi anak-anak di tanah jajahan, di Hindia. Awalnya hanya
sebatas anak-anak kalangan elite pribumi. Baru setelah lahirnya
Politik Etis di pangkal abad ke-20, pendidikan dibuka secara massal.
Untuk menunjang proyek edukasi-etis dilahirkanlah bahasa yang disebut
bahasa Melayu standar; lawan dari Melayu yang dicap ‘ocehan’ (brabbel
Maleisch) dan sebagai bagian dari politik bahasa kolonial.

Kitab-kitab Abdullah bin Abdulkadir Munsyi yang sangat mengagung-
agungkan Inggris dicetak massal dan dijadikan bacaan wajib di sekolah-
sekolah Gobernemen—dengan setiap kata “Inggris” diubah menjadi “Orang
Putih”. Sementara itu, sekolah- sekolah berstandar Eropa tetap
menggunakan pengantar bahasa Belanda. Namun, terlepas dari politik
bahasa kolonial ini, melalui perkenalan dengan aksara, “si bisu-buta”
mulai menemukan dirinya di dalam sebuah dunia yang bernama Hindia.

Di dunia yang bernama Hindia, stratifikasi sosial yang hierarkis dan
rasial memosisikan pribumi, baik elite maupun kromo, berada
pada “kasta sudra”. Mereka ini di hadapan “Orang Putih”, indo, dan
bangsa Asia Timur lainnya adalah “si bisu-buta” itu. Kemudian di
lingkup pribumi itu sendiri, ada pembagian yang akut yang diwarisi
dari masa silam yang feodal: elite yang disebut bangsawan asal dan
kromo yang jadi “si kasta sudra” yang juga adalah “si bisu-buta”.
Stratifikasi sosial yang berlapis inilah, lewat edukasi-etis dengan
semboyan kemajuannya, hendak dilenyapkan, tapi sekaligus juga
dikekalkan.

Distribusi aksara melalui edukasi-etis ternyata mengandung
konsekuensi yang luas. Perkenalan disusul pergumulan dengan kata,
kalimat, frase, dan wacana telah membawa “si bisu-buta” bersentuhan
dengan banyak hal. Keangkuhan bangsawan asal bertukar ke kehadiran
bangsawan pikir, sekaligus mengawali kecemasan di pihak Pemerintah
Kolonial Belanda. Kehadiran bangsawan pikir, tidak bisa dielak,
beranjak menuju kehadiran para “juru bicara”.

Medan Prijaji-nya Tirtoadhisoerjo mengawali terjadinya keberanjakan
itu. Disusul Soeara Hindia—kemudian berubah jadi Soeara Djawa—
menjadi “juru bicara” bagi riwayat pergolakan kaum kromo yang
demikian membakar sekaligus agung. Daoelat Ra’jat yang didirikan
Syahrir menjelma jadi “juru bicara” bagi “si bisu-buta” yang telah
mengeras sebagai bangsa, lengkap dengan nama dan identitas pembeda
lainnya. Lahirlah bangsa yang mencoba mengatasi sekat-sekat
primordial dan friksi ideologi lewat keyakinan yang meletup pada ufuk
sebuah hari baru yang hendak dituju. Sebuah bangsa yang—melalui
naskah Proklamasi Kemerdekaannya—tampil dengan penuh percaya diri
sebagai “juru bicara” bagi nasib dan takdirnya sendiri.

2 Comments

  1. yana said,

    November 24, 2009 at 8:45 am

    keren neh….

  2. December 3, 2012 at 9:01 am

    […] Jadi Bangsa karena Aksara […]


Leave a reply to baguswahyudixiips1 Cancel reply