Semua Kitab Suci Bias Gender!

Prof Dr Nasarudin Umar:
Semua Kitab Suci Bias Gender!
26/04/2004

Selain diyakini mengandung ajaran-ajaran universal dari Allah, Al-Qur’an juga dianggap berhasil berdamai dengan beberapa tradisi setempat dan ketika itu (tradisi Arab). Persoalan kemudian muncul ketika tradisi tersebut sudah tak sesuai lagi dengan semangat zaman sekarang. Misalnya kita lihat dalam persoalan-persoalan perempuan. Bagaimana mengurai persoalan keterkaitan antara kitab suci dan unsur budaya ini?

Dalam studi Al-Qur’an kontemporer, Al-Qur’an diasumsikan sebagai produk sebuah budaya tertentu (muntâj tsaqâfi). Artinya, beberapa kandungan Al-Qur’an ditegaskan sebagai refleksi atas persentuhannya dengan kondisi sosial-budaya di mana Al-Quran diturunkan. Untuk itu, selain diyakini mengandung ajaran-ajaran universal dari Allah, Al-Qur’an juga dianggap berhasil berdamai dengan beberapa tradisi setempat dan ketika itu (tradisi Arab). Persoalan kemudian muncul ketika tradisi tersebut sudah tak sesuai lagi dengan semangat zaman sekarang. Misalnya kita lihat dalam persoalan-persoalan perempuan. Padahal kitab suci sudah berkompromi, bahkan dalam beberapa hal mengakomodasinya. Bagaimana mengurai persoalan keterkaitan antara kitab suci dan unsur budaya ini?

Pakar ilmu Al-Qur’an, Prof Dr Nasaruddin Umar, yang menjabat Guru Besar Tafsir Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah persoalan-persoalan itu kepada Nong Darol Mahmada dan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL). Berikut paparan lengkapnya:

JIL: Pak Nasar, Anda sangat serius melakukan kajian tentang perempuan dalam teks-teks suci agama, khususnya teks Islam. Baru-baru ini, Anda juga melakukan riset pustaka selama setahun lebih di perpustakaan Universitas di Amerika dan Inggris. Apa temuan terbaru Anda dari riset tersebut? PROF. DR. NASARUDDIN UMAR (NASAR): Pertama, saya ini belum ada apa-apanya. Kajian saya mungkin juga tidak terlalu serius, hanya saja tetap konsisten. Artinya apa yang saya katakan tentang perempuan dan kitab suci, dari dulu sampai sekarang tetap pada pendirian yang semula. Tapi saya akan terus meneliti dan meneliti lagi untuk mengetahui apakah temuan saya –yang akan diperkenalkan kepada masyarakat– mengandung kelemahan, perlu direvisi, dan sebagainya. Di Inggris kemarin, saya mencoba meneliti kitab Talmud, dan kitab-kitab sumber Yahudi lainnya. Di SOAS University of London, literatur-literatur, khususnya tentang Yahudi sangat bagus. Menurut saya kajian literatur Yahudi ini penting untuk menunjang kajian saya tentang perempuan. Saya tidak tahu mengapa di negara-negara Islam, kepustakaan atau literatur Yahudi seperti barang yang haram masuk perpustakaan. Padahal menurut saya, banyak sekali unsur penting yang perlu kita ketahui dari literatur Yahudi. Bagaimanapun juga, persoalan Yahudi ini mendapatkan pengakuan Al-Qur’an sehingga merangsang kita untuk menelitinya. Kata yahûdiyyan berapa kali muncul dalam Al-Qur’an. Makanya, kalau saya ingin mendapat konfirmasi langsung dari teks asli Yahudi, saya harus bekerja keras karena harus belajar bahasa Hebro. Sebab, teks Yahudi pada umumnya menggunakan bahasa Hebro.

JIL: Itu spesifik untuk meneliti topik perempun? NASAR: Ya. Saya konsisten pada bidang itu. Saya mencoba memahami pelbagai kitab suci untuk mengetahui bagaimana pandangan kitab suci-kitab suci terhadap perempuan. Ironisnya, yang saya temukan, bukan hanya di dalam Al-Qur’an yang tidak memberikan tempat yang layak terhadap perempuan, tapi juga Bible dan kitab-kitab suci agama lainnya, seperti kitab Konghucu dan Budha, bahkan kitab klasik seperti Talmud. Makanya, saya berpikir pasti ada yang salah di sini. Saya mencoba melihat akar permasalahannya ada di mana. Dalam buku terakhir saya, Teologi Perempuan: Antara Mitos dan Kitab Suci, saya menemukan dua unsur penting yang berkontribusi dalam pembangunan wacana keagamaan yang bias gender tentang perempuan, yakni faktor teologi dan mitos. Jadi terkadang dasarnya mitos, tapi dianggap kitab suci. Dari sinilah saya mencoba mengklarifikasi yang mana kitab suci dan yang mana mitos; yang mana budaya Arab dan yang mana doktrin Islam. Poin ini kan perlu kita clear-kan.

JIL: Dalam proses pemilahan itu, apakah juga ditemukan kombinasi antara teologi dan mitos yang saling berkaitan dalam kitab suci? NASAR: Betul. Memang problem kita selama ini, bukan hanya pemikir Islam tapi juga para schoolars Kristen dan Yahudi, selalu tentang bagaimana memahami kitab suci, dan bagaimana membersihkan tafsirnya yang telah sekian menyimpang, misalnya. Nah, ini merupakan suatu persoalan tersendiri. Dalam Islam, ada satu hal lagi yang sangat penting untuk kita kenal, yaitu persoalan pergolakan politik. Persoalan politik itu misalnya tentang kenapa Islam yang turun di pusatnya di Mekah dan Madinah, karena persaingan politik antara Ali dan Mu’awiyah justru dipindahkan ke Damaskus? Pada waktu itu, Ali menguasai basis massanya di Mekah dan Madinah, sementara Mu’awiyah yang tidak mendapat basis yang kuat di tempat itu, akhirnya memindahkan ibu kota politik Islam ke Damaskus. Kita tahu peta Damaskus (Syiria sekarang) sangat dipengaruhi kekuatan-kekuatan kultur Yunani-Yahudi, karena daerah ini pernah menjadi wilayah jajahan Romawi-Bizantium. Nah, di sinilah kita mengenal kitab-kitab kuning itu disusun. Jadi kontaminasi local culture (kultur lokal), Hellenisme, budaya Yunani yang termasuk misoginis sangat kuat dalam masyarakat Damaskus ketika itu.

JIL: Apa Anda ingin menegaskan bahwa dalam kitab suci, sebetulnya pandangan yang misoginis atas perempuan itu kurang kuat, tapi karena perbauran dengan budaya tertentu, akhirnya pandangan keagamaan tentang perempuan jadi bertambah buruk? NASAR: Saya kira persis seperti itu. Karena memang tidak ada kita suci yang diturunkan dalam masyarakat yang hampa budaya. Tidak ada kitab suci yang diturunkan di sebuah wilayah geografis tanpa manusia. Semua kitab suci, termasuk Al-Qur’an, diturunkan dalam masyarakat yang sudah syarat dengan ikatan-ikatan primordial dan norma kearabannya. Karena itu, ada pola dialektik tersendiri bagaimana kitab suci menyesuaikan dirinya dengan nilai lokal. Nah, dalam Islam sendiri kita mengenal proses tasyri’ dan tadrîj, yaitu berangusur-angsurnya Tuhan dalam memperkenalkan konsep normatifnya. Ada juga prinsip ‘adamul haraj, atau menghindari ketegangan dan kesulitan; al-taqlîlut taqlîfî, sedikit demi sedikit bukan langsung dibom. Dari sini kita sadar bahwa Allah sadar betul kalau Dia menurunkan Islam dalam masyarakat yang syarat dengan budaya. Maka ada proses sosialisasi yang bertahap. Contohnya, masyarakat Arab adalah masyarakat rentenir. Rentenir itu kan kegiatan yang mengeksploitasi keringat orang lain untuk kepentingan diri sendiri. Maka selama 23 tahun, Tuhan menurunkan lebih dari delapan ayat yang melarangnya untuk sampai pada ayat pemungkas: wa ahallalLâhul bai’ wa harramar ribâ. Pengharaman terhadap riba itu dilakukan secara bertahap. Ini berlaku sama dengan pengharaman minuman keras. Tuhan tahu betul bahwa minuman keras adalah bagian dari budaya masyarakat Arab, makanya setelah melalui penahapan larangan, (ayat) yang keempat baru sampai ke situ (pengharaman). Jadi tidak langsung membongkar nilai-nilai yang ada sebelumnya; tidak ada semacam revolusi di situ. Yang ada merupakan proses evolusi.

JIL: Kalau dalam Al-Qur’an ada proses evolusi, apakah di Talmud juga ada proses seperti itu? NASAR: Pertama-tama, saya ingin jelaskan apa yang dimaksud dengan Talmud. Sebetulnya, Talmud itu bukanlah kitab suci, tapi tafsiran atas Perjanjian Lama. Jadi semacam tafsiran atas Taurat sebagaimana kita mengenal Tafsir Al-Marâghî, Al-Manâr, dan lain sebagainya. Talmud terbagi dua. Pertama Talmud Babilonia yang sangat tebal. Versi yang saya punya berjumlah 20 jilid. Kedua Talmud Palestina yang agak tipis. Nah, beberapa pendapat dalam Talmud, menurut pengamatan saya banyak sekali kemiripannya dengan pendapat beberapa ulama kita dalam kitab fikih. Sebagaimana yang saya katakan dari awal, seandainya literatur-literatur Yahudi ini diperkenankan dalam perpustakaan Islam, mungkin kita akan dapat melihat kedekatan antara literatur Yahudi dan Islam.Tapi sayangnya sampai sekarang kita masih anti-Yahudi, meskipun kita tidak sadar sesungguhnya ada unsur-unsur kitab Yahudi yang ikut dalam alam bawah sadar kita. Misalnya tentang bagaimana perlakuan kita terhadap perempuan. Sejauh ini saya dapat melihat bagimana kosmologi Yahudi terhadap urusan perempuan masuk dalam kosmologi Islam melalui akomodasi budaya seperti di Damaskus tadi; tempat kitab kuning ditulis, kitab-kitab hadis dibukukan, dan kitab tafsir dikompilasi. Mungkin soal politik juga ikut memengaruhi pandangan agama tentang perempuan. Kita tahu, ketika tejadi persaingan politik antara Mu’awiyah dan Ali, ibu kota politik Islam kemudian dipindahkan dari Madinah ke Damaskus. Tapi dalam sejarah berikutnya, Mu’awiyah kalah dari Abbasiyyah. Dan Abbasiyyah juga tidak mengembalikan ibu kota politik ke Mekah atau Madinah, malah menariknya jauh ke timur, tepatnya di Baghdad. Kita tahu, di Baghdad sudah berkembang suatu kekuatan budaya yang tinggi, yaitu Sasania atau Persia. Tradisi Persian ini juga dikenal sangat misoginis, alias anti perempuan. Di situ juga kegiatan penulisan kitab-kitab kuning tetap dilanjutkan. Jadi, pengaruh lokal terhadap wawasan keagamaan, terutama perumusan kitab-kitab kuning memang besar sekali.

JIL: Tadi diandaikan kitab suci selalu mengakomodasi kondisi sosial budaya yang ada. Tapi masalahnya, kalau sebuah budaya sudah diakomodasi dalam pandangan kitab suci, tentu wawasannya akan susah sekali untuk diubah. Misalnya dalam soal akomodasi kitab suci atas budaya poligami. NASAR: Saya kira, kalau agama ingin hidup di suatu masyarakat, maka dia tidak boleh melakukan pengguntingan tradisi secara radikal dalam masyarakat itu sendiri. Kalau itu yang terjadi, agama itu pasti tidak akan laris dalam masyarakat. Saya ingin mencontohkan bagaimana dialektika Islam menghampiri masyarakatnya. Pertama, yang dihampiri Al-Qur’an selalu adalah kaum elite, karena masyarakat Arab bersifat sangat paternalistik. Asumsinya, kalau merangkul golongan elite, otomatis rakyatnya terangkul di situ. Masyarakat di sana juga patriarkis. Asumsinya, jika merangkul kaum laki-laki, otomatis perempuannya tunduk di situ. Inilah siasat sosialisasi Al-Qur’an. Makanya kita jangan menganggap Al-Qur’an itu patriarkis dan paternalistis, melainkan ia hanya mengakomodir kondisi objektif dari kultur masyarakat yang sedemikian. Mungkin ada contoh terbaik juga bagaimana Al-Qur’an memberikan pembebasan terhadap perempuan. Sebelum Al-Qur’an turun, perempuan tidak boleh mendapat warisan sama sekali, bahkan tidak semua laki-laki mendapt warisan. Yang boleh mendapat warisan hanya laki-laki yang kuat mengangkat pedang. Sekalipun laki-laki, tapi masih kanak-kanak atau uzur, maka dia tidak boleh mendapat warisan. Islam datang dengan ajaran, jangankan laki-laki sepun dan kanak-kanak, perempuan pun boleh mewarisi mekipun satu berbanding dua jatah laki-laki. Dulu perempuan jangan bermimpi akan menjadi saksi dalam suatu perkara, karena saksi itu bagian dari dunia publik. Yang bisa menjadi saksi adalah laki-laki saja. Tapi Islam datang membenarkan perempuan menjadi saksi. JIL: Tapi kesadaran akan historisitas Al-Qur’an itu sangat lemah. Bagaimana kita bisa melakukan penasiran ulang atas Al-Qur’an pada zaman kini? NASAR: Itu hanya persoalan metodologi. Artinya, sosulisnya juga adalah metodologi. Misalnya, Islam datang untuk membebaskan kelompok yang tertindas. Dulu anak perempuan tidak pernah diakikahkah, sekarang jadi boleh. Dulu kalau perempuan dibunuh, tidak ada aturan tebusannya. Kalau yang dibunuh laki-laki, tebusannya tergantung stratifikasi sosialnya; kalau golongan bangsawan 100 unta, bukan bangsawan 50 unta. Kemudian Islam datang dengan ketentuan tebusan 50 unta untuk (pembunuhan) perempuan, dan 100 unta untuk laki-laki.

Jadi ada masa transisi yang digagas Islam sebagaimana juga persoalan poligami tadi. Yaitu transisi bagaimana Islam membebaskan umatnya dari masyarakat poligami. Dulu ada orang Arab yang punya istri sepuluh, lalu nabi mensyaratkan untuk memilih empat di antara mereka kalau mau masuk Islam. Kalau nabi mengatakan untuk memilih satu saja, tentu terlalu drastis. Kalau Islam langsung mengharamkan riba begitu ayat pertama turun, maka akan banyak yang berpaling dan Islam akan ditinggalkan.

JIL: Tapi tafsiran yang ortodoks atas ayat-ayat Al-Qur’an itu bisa saja mengatakan, “Inilah kadar terjauh yang bisa diberikan Al-Qur’an untuk perempuan. Dan inilah perkataan Tuhan tentang pokok soal ini!” Bagaimana bisa mengubah pandangan sedemikian? NASAR: Sebetulnya semua ayat-ayat hukum tentang perempuan, sejauh yang saya kenal punya sebab nuzul. Artinya semua punya historical background. Dalam hal ini berlaku pertanyaan: mana yang harus dijadikan pegangan, apakah sebuah teks atau historical background-nya? Ada yang mengatakan al-‘ibrah bi ‘umumil lafadz lâ bi khusûsis sabab, yang dipegang adalah universalitas teks, bukan partikulariltas sebab. Tapi ada juga pendapat lain. Al-Syâtibî mengatakan, al-‘ibrah bi maqâshidis syarî’ah, yang harus dijadikan pegangan adalah apa yang menjadi tujuan dari syari’ah. Inikan pembahasannya sangat ushul fiqh, tapi sangat penting. Menurut saya, dalam Al-Qur’an itu ada persoalan yang dituntaskan, dan ada yang belum tuntas. Misalnya soal riba dan minuman keras. Bahasannya tuntas sampai titik zero: haram bagi riba dan minuman keras. Tapi juga ada persoalan yang bertahap, belum sampai pada titik zero, misalnya soal perbudakan. Sampai nabi meninggal dunia, soal perbudakan masih saja ada. Untungnya sekarang tidak ada lagi sistim itu. Nah, coba bayangkan bagaimana dialektika Al-Qur’an dalam menghapuskan soal perbudakan. Setiap orang yang melakukan pidana tertentu harus membebaskan seorang budak. Sekian banyak tindak kriminal harus ditebus dengan membebaskan budak; sumpah palsu, bersetubuh pada siang hari bulan Ramadan, dan lain-lain.

JIL: Tapi ironisnya mengapa tidak ada ulama Islam yang memelopori perngharaman perbudakan, tapi justru UU Amerika yang pertama kali melarangnya di bawah Lincoln. NASAR: Itulah persoalannya. Kalau kita tarik seperti garis lurus, persoalan ini seperti piramida terbalik. Belum sampai pada ujung persoalan, Al-Qur’an sudah terhenti dengan wafatnya nabi. Tapi kalau logikanya kita tarik ke bawah, kita akan tiba pada sebuah titik di mana sesungguhnya perbudakan itu akan dihapuskan oleh konsep Al-Qur’an. Bisa dibayangkan, tidak mungkin akan ada budak lagi, kalau setiap pelaku kriminal tertentu dalam agama harus membebaskan budak. Itu tadi soal perbudakan yang evolusinya positif. Tapi dalam soal perempuan nampaknya berbeda. Pada periode akhir hidupnya, Nabi malah terlihat sangat protektif terhadap perempuan. Misalnya dengan turunnya ayat-ayat hijab. Kenapa pada masa akhir hidupnya Nabi malah menampilkan proteksi terhadap perempuan? Kita jangan lupa tentang peristiwa yang sangat penting untuk kita kaji dalam konteks ini, yaitu apa yang biasa disebut haditsul ifk, tuduhan bohong. Yaitu tentang tuduhan Aisyah berselingkuh oleh seorang munafik. Jadi, apa yang disebut “skandal Aisyah” menurut versi Barat itu, menyebabkan nabi berindak protektif terhadap perempuan. Sesungguhnya kalau kita lihat di surat Al-Ahzab, proteksinya juga bukan pada semua perempuan, tapi khusus pada keluarga nabi sendiri. Jadi kepada istri dan keluarga dekatnya, ahlul bait, tidak universal berlaku untuk seluruh perempuan. Tapi memang kita perlu akui bahwa kondisis politik setelah nabi wafat dan Islam berada di tangan penguasa Dinasti Umawiyyah maupun Abbasiyyah, membuat kedudukan perempuan kembali ke zaman jahiliyah. Waktu masa nabi sudah tidak populer apa yang disebut dunia pergundikan. Tapi Muawiyah mengintroduser kembali adat lokal yang tidak mengharamkan pergundikan. Malah kalau kita membaca masa Abbasiyyah lebih parah lagi. Menurut penelitian Fatimah Mernissi, hanya empat khalifah Abbasiyyah yang lahir dari istri yang sah sebagai istri pertama khalifah, selebihnya adalah dari gundik-gundik. JIL: Intinya misi pembebasan Islam terhadap perempuan belum tuntas dan mungkin tidak akan pernah tuntas? NASAR: Tergantung apa pengertian kita tentang tuntas. Kalau kita lihat dari dimensi Islam sebagai sistem yang kâffah, sebagai prinsip-prinsip dasar, maka Al-Qur’an sendiri mengatakan “mâ farrathnâ fil kitâb min syai” tak ada yang Kami abaikan dalam AL-Kitab. Semua tercakup dalam Al-Qur’an, dalam pengertian garis-garis dasarnya. Sementara pendetailan hukum kemanusiaan itu merupakan tugas manusia yang punya rasio. Manusia punya kemampuan melakukan sinergi dan berdemokrasi satu sama lain. Nah, dari sini apa yang disepakati oleh mayoritas, dengan standar ayat yang sudah ada tadi, pasti akan bermuara pada sebuah tujuan kemanusiaan yang ideal. Saya optimis, kalau kita mau membaca ulang Al-Qur’an, dengan mengambil pesan umumnya, pasti yang terjadi adalah dunia kemanusiaan yang sangat ideal. JIL: Artinya di sini nalar publik bisa saja menganulir beberapa teks yang misoginis terhadap perempuan? NASAR: Terutama penafsirannya. Jadi bukan teks kitab sucinya, karena teks kitab suci yang sangat rill sebetulnya sangat sedikit. Banyak sekali yang kita sangka kitab suci, padahal sesungguhnya bukan kitab suci. Lain kitab fikih, lain kitab suci. Bahkan lain tafsir, lain pula Al-Qur’an; lain terjemah, lain pula Al-Qurannya. Sebab, potensi reduksi akan selalu ada ketika kita menerjemahkan Al-Qur’an; apakah terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, ataupun bahasa lainnya. JIL: Demi melihat studi-studi Al-Qur’an kontemporer tantang perempuan, bagaimana Anda melihat prospek keadilan gender? NASAR: Sejauh yang saya pelajari, Al-Qur’an memberikan kebebasan luar biasa terhadap perempuan. Makanya dalam beberapa penelitian tentang kitab suci ditegaskan, tidak ada sistem nilai yang memberi pengakuan luar biasa terhadap perempuan selain sistim nilai yang dikandung Al-Qur’an. Itu dikatakan juga oleh teman saya yang sekular dan non-Islam yang bukunya tersohor dimana-mana. Jadi dengan objekitf kalau kita melihat konteksnya, Al-Qur’anlah satu-satunya sistem nilai yang paling pertama memberi pengakuan terhadap hak-hak perempuan. JIL: Dibandingkan dengan kitab-kitab suci lainnya? NASAR: Ya. Mungkin persoalannya karena kita sekarang langsung mengonfirmasikannya dengan persaolan-persoalan seperti warisan perempuan yang satu berbanding dua laki-laki, persaksiannya juga satu banding dua, akikahnya juga satu kambing (untuk perempuan) berbanding dua (untuk laki-laki), ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin, dan soal hak talak yang lebih rumit. Mungkin juga karena kalau kita baca kitab-kitab fikih, perempuan adalah subordinasi laki-laki. Jadi seolah-olah Islam menempatkan perempuan itu di kelas dua. JIL: Mana perbandingannya dengan kitab lain? NASAR: Saya pernah membaca teks suci yang paling tua, yaitu teks hukum Hammurabi (Hammurabi code). Teks ini luar biasa berumur, sejak sekitar 3500 SM. Teks aslinya lalu saya foto copy. Dalam sebuah pasalnya disebutkan, kalau seorang suami meninggal, maka ia harus disusul istrrinya. Perempuan juga tidak berhak melangsungkan akad perjanjian. Hak akad perjanjian hanya ada pada laki-laki, perempuan tidak boleh. Bayangkan saja![]
^ Kembali ke atas

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=548

Menstrual Taboo

Menstrual Taboo

oleh Nasaruddin Umar
Dosen IAIN Jakarta
Redaktur Pelaksana Jurnal Pemikiran Islam Paramadina

Di antara kutukan perempuan yang paling monumental ialah menstruasi. Teologi menstruasi ini kemudian menyatu dengan berbagai mitos yang berkembang dari mulut ke mulut (oral tradition) ke berbagai belahan bumi.

Teologi menstruasi dianggap berkaitan dengan pandangan kosmopolitan terhadap tubuh wanita yang sedang menstruasi. Perilaku perempuan di alam mikrokosmos diyakini mempunyai hubungan kausalitas dengan alam makrokosmos. Peristiwa-peristiwa alam seperti bencana alam, kemarau panjang dan berkembangnya hama penyebab gagalnya panen petani dihubungkan dengan adanya yang salah dalam diri perempuan.

Darah menstruasi (menstrual blood) dianggap darah tabu (menstrual taboo) dan perempuan yang sedang menstruasi menurut kepercayaan agama Yahudi harus hidup dalam gubuk khusus (menstrual huts), suatu gubuk khusus dirancang untuk tempat hunian para perempuan menstruasi atau mengasingkan diri di dalam goa-goa, tidak boleh bercampur dengan keluarganya, tidak boleh berhubungan seks, dan tidak boleh menyentuh jenis masakan tertentu. Yang lebih penting ialah tatapan mata (menstrual gaze) dari mata wanita sedang menstruasi yang biasa disebut dengan “mata iblis” (evil eye) harus diwaspadai, karena diyakini bisa menimbulkan berbagai bencana. Perempuan harus mengenakan identitas diri sebagai isyarat tanda bahaya (signals of warning) manakala sedang menstruasi, supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap menstrual taboo.143 Dari sinilah asal-usul penggunaan kosmetik144 yang semula hanya diperuntukkan kepada perempuan sedang menstruasi. Barang-barang perhiasan seperti cincin, gelang, kalung, giwang, anting-anting, sandal, selop, lipstik, shadow, celak, termasuk cadar/jilbab ternyata adalah menstrual creations.145

Upaya lain dalam mengamankan tatapan “mata iblis” ialah dengan menggunakan kerudung/cadar (hoods/veils) yang dapat menghalangi tatapan mata tersebut. Kalangan antropolog berpendapat menstrual taboo inilah yang menjadi asal-usul penggunaan kerudung atau cadar. Cadar atau semacamnya bukan berawal dan diperkenalkan oleh Agama Islam dengan mengutip “ayat-ayat jilbab”146 dan hadits-hadits tentang aurat. Jauh sebelumnya sudah ada konsep kerudung/cadar yang diperkenalkan dalam Kitab Tawrat147 dan Kitab Injil.148 Bahkan menurut Epstein, ketentuan penggunaan cadar sudah dikenal dalam Hukum Kekeluargaan Asyiria (Assyrian Code):

The tradition that women veil themselves when they go out in public a very old in the orient. Probably the first reference is to be found in the Assyirian Code, where it a ruled that wives, daughters, widows, when, going out in public, must be veiled.149(Tradisi penggunaan kerudung ke tempat-tempat umum sudah berlangsung sejak dahulu kala di Timur. Kemungkinan referensi paling pertama ditemukan ialah di dalam hukum Asyiria, yang mengatur bahwa: isteri, anak perempuan, janda, bilamana pergi ke tempat-tempat umum harus menggunakan kerudung).

Asal-usul penggunaan cadar atau kerudung dan berbagai macam kosmetik lainnya, menurut kalangan antropologis, berawal dari mitos menstrual taboo, yaitu untuk mencegah “si mata Iblis” dalam melakukan aksinya.150

Penggunaan cadar/kerudung (hood)151 pertama kali dikenal sebagai pakaian perempuan menstruasi. Kerudung dan semacamnya semula bertujuan untuk menutupi tatapan mata terhadap cahaya matahari dan sinar bulan, karena hal itu dianggap tabu dan dapat menimbulkan bencana di dalam masyarakat dan lingkungan alam.

Kerudung dari semacamnya semula dimaksudkan sebagai pengganti “gubuk pengasingan” bagi keluarga raja atau bangsawan. Keluarga bangsawan tidak perlu lagi mengasingan diri di dalam gubuk pengasingan tetapi cukup menggunakan pakaian khusus yang dapat menutupi anggota badan yang dianggap sensitif. Dahulu kala perempuan yang menggunakan cadar hanya dari keluarga bangsawan atau orang-orang yang terhormat, kemudian diikuti oleh perempuan non-bangsawan. Peralihan dan modifikasi dari gubuk pengasingan menstrual hut menjadi cadar (menstrual hood) juga dilakukan di New Guinea, British Columbia, Asia, dan Afrika bagian Tengah, Amerika bagian Tengah, dan lain sebagainya. Bentuk dan bahan cadar juga berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Bentuk cadar di Asia agak lonjong menutupi kepala sampai pinggang dan bahannya juga bermacam-macam; ada yang dari serat kayu yang ditenun khusus dan ada yang dari wol yang berasal dari bulu domba.152

Selain mengenakan cadar perempuan haid juga menggunakan cat pewarna hitam (cilla’) di daerah sekitar mata guna mengurangi ketajaman pandangan matanya. Ada lagi yang menambahkan dengan memakai kalung dari bahan-bahan tertentu seperti dari logam, manik-manik, dan bahan dari tengkorak kepala manusia.

Diskursus mengenai cadar, jilbab, kerudung dan semacamnya, sesungguhnya bukan persoalan baru dalam sejarah kaum perempuan. Masyarakat tradisional dahulu kala sudah pernah muncul perdebatan seru. Apakah boleh perempuan yang bukan bangsawan menggunakan cadar/kerudung sebagai pengganti pengasingan di gubuk menstruasi. Agama Yahudi dan selanjutnya dalam agama Kristen, dua agama besar sebelum Islam juga telah mewajibkan penggunaan kerudung bagi kaum perempuan. Yang jelas tradisi penggunaan kerudung, jilbab, dan cadar sudah ada jauh sebelum ayat-ayat jilbab diturunkan.

3. Haydl dalam Islam

Istilah menstruasi dalam literatur Islam disebut haydl.153 Dalam al-Qur’an hanya disebutkan empat kali dalam dua ayat; sekali dalam bentuk fi’l mudlari/present and future (yahidl) dan tiga kali dalam bentuk ism mashdar (al-mahidl).154

Dari segi penamaan saja, kata haydl sudah lepas dari konotasi teologis seperti agama-agama dan kepercayaan sebelumnya. Masalah haydl dijelaskan dalam Q., s. al-Baqarah/1:222:

Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah: “Haydl itu adalah ‘kotoran’ oleh karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haydl; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

Sebab turunnya ayat itu dijelaskan dalam hadits riwayat Imam Ahmad dari Anas, bahwa bilamana perempuan Yahudi sedang haydl, masakannya tidak dimakan dan tidak boleh berkumpul bersama keluarga di rumahnya. Salah seorang sahabat menanyakan hal itu kepada Nabi, kemudian Nabi berdiam sementara maka turunlah ayat tersebut di atas. Setelah ayat itu turun, Rasulullah bersabda “lakukanlah segala sesuatu (kepada isteri yang sedang haydl) kecuali bersetubuh”. Pernyataan Rasulullah ini sampai kepada orang-orang Yahudi, lalu orang-orang Yahudi dan mantan penganut Yahudi seperti shock mendengarkan pernyataan tersebut. Apa yang selama ini dianggap tabu tiba-tiba dianggap sebagai “hal yang alami” (adzan). Kalangan mereka bereaksi dengan mengatakan apa yang disampaikan oleh laki-laki itu (Rasulullah) adalah suatu penyimpangan dari tradisi besar kita. Usayd ibn Hudlayr dan Ubbad ibn Basyr melaporkan reaksi tersebut kepada Rasulullah; lalu wajah Rasulullah berubah karena merasa kurang enak terhadap reaksi tersebut.155

Rasulullah dalam banyak kesempatan menegaskan kebolehan melakukan kontak sosial dengan wanita haid. Rasulullah kembali menegaskan bahwa: “Segala sesuatu dibolehkan untuknya kecuali kemaluannya (faraj)”, “Segala sesuatu boleh untuknya kecuali bersetubuh (al-jima’)”. Bahkan Rasulullah seringkali mengamalkan kebolehan itu dalam bentuk praktek. Riwayat lain yang secara demonstratif disampaikan ‘A’isyah, antara lain, ‘A’isyah pernah minum dalam satu bejana yang sama dalam keadaan haydl, juga pernah menceritakan Rasulullah melakukan segala sesuatu selain bersetubuh (jima’) sementara dirinya dalam keadaan haid, juga darah haydl dan bekasnya yang terdapat dalam pakaian ‘A’isyah; sama sekali Rasulullah tidak memperlihatkan perlakuan taboo terhadapnya.156 Jika diteliti lebih cermat, meanstream ayat di atas sesungguhnya bukan lagi haydl-nya itu sendiri tetapi pada al-mahidl-nya atau “tempat” keluarnya darah itu (mawdhi ‘al-haydl), karena Tuhan menggunakan kata al-mahidl, bukan al-haydl. Walaupun kedua kata itu sama-sama dalam bentuk mashdar/verbal noun tetapi yang pertama menekankan “tempat” haid (mawdhi ‘al-haydl) sedangkan yang kedua menekankan “waktu” dan “zat” haid (‘ayn al-haydl) itu sendiri.

Banyak mufassir menyamakan atau tidak menegaskan perbedaan pengertian kedua istilah tersebut. Pada hal menyamakan atau membedakan pengertian tersebut masing-masing mempunyai makna yang berbeda, bahkan lebih jauh akan berimplementasi kepada persoalan hukum. Kalau al-mahidl diartikan sama dengan al-haydl, maka ayat tersebut berarti jauhilah perempuan itu pada waktu haydl artinya dilarang bergaul dan bersenang-senang, dan ini jelas menyalahi struktur makna yang dikehendaki Sang Mukhathab. Akan tetapi kalau yang dimaksud ayat itu ialah al-mahidl dalam arti mawdhi ‘al-haydl, maka ayat itu berarti jauhilah tempat haydl dari perempuan itu. Penggunaan logika yang kedua ini menjadi jelas tanpa harus lagi ada “penghapusan” (nasakh) atau pengkhususan (takhshish). Kalau yang dimaksud al-mahidl yakni al-haydl maka akan menimbulkan kejanggalan dalam pengertian, karena yang bermasalah (adzan)157 dalam lanjutan ayat itu ialah waktu haid (zaman al-haydl), bukan tempat haid (mawdhi’ al-haydl), jadinya tidak logis dalam pengertian (ghayr ma’qul al-ma’na) karena sesungguhnya yang bermasalah (adzan) ialah mawdhu’-nya. Haydl itu sendiri bukan adzan karena haydl hanya di-‘ibirah-kan dengan darah yang khusus.

Al-Razi dalam tafsirnya memberikan alternatif lain dengan mengatakan bahwa kalimat al-mahidl yang pertama berarti al-haydl, sedangkan yang kedua berarti tempat haid.158 Implementasi dari pengertian ini ialah persoalan haid sebagaimana yang ditanyakan sahabat Nabi dan sekaligus menjadi sabab nuzul ayat itu hanyalah persoalan fisik-biologis, tempat keluarnya darah haidh itu bukan persoalan tabunya darah haid seperti yang dipersepsikan oleh umat-umat terdahulu.

Perintah untuk “menjauhi” (fa’tazilu) dalam ayat di atas bukan berarti menjauhi secara fisik (li al-tab’id) tetapi memisahkan atau menghindarkan diri untuk tidak berhubungan langsung (i’tizal). Sedangkan darah haid disebut al-adzan karena darah tersebut adalah darah tidak sehat dan tidak diperlukan lagi oleh organ tubuh wanita. Bahkan kalau darah itu tinggal di dalam perut akan menimbulkan masalah, karena itulah disebut adzan.

Mengenai pembersihan diri (thaharah)159 dari haydl, dalam Islam tidak pula dikenal adanya upacara ritual khusus seperti dalam agama Yahudi dan kepercayaan-kepercayaan sebelumnya. Jumhur ulama berpendapat bahwa sesudah hari ketujuh160 ia sudah dapat dianggap bersih setelah mandi, kecuali Abu Hanifah berpendapat tidak harus mandi tapi cukup membersihkan tempat keluarnya darah haid dan juga tidak perlu menunggu tujuh hari. Sekalipun kurang tujuh hari kalau sudah merasa bersih sudah dapat melakukan ibadah secara rutin.161 Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Auza’i dan Ibn Hazm.162

Dari gambaran tersebut di atas dapat dipahami bahwa ajaran Islam tidak menganut faham menstrual taboo, sebaliknya berupaya mengikis tradisi dan mitos masyarakat sebelumnya yang memberikan beban berat terhadap kaum wanita. Seperti mitos tentang wanita haid seolah-olah ia tidak dipandang dan diperlakukan sebagai manusia, karena selain harus diasingkan juga harus melakukan berbagai kegiatan ritual yang berat.

E. Penutup

Banyak hal yang perlu diluruskan dalam persepsi masyarakat tentang perempuan. Terutama anggapan sadar dan bawah sadar bahwa kaum laki-laki lebih utama dari pada kaum prempuan. Semenjak dahulu kala, orang banyak berbicara tentang ketimpangan sosial berdasarkan jenis kelamin tetapi hasilnya belum banyak mengalami kemajuan. Persepsi itu memang sulit dihilangkan karena berakar dari atau didukung oleh ajaran teologi. Padahal Max Weber pernah menegaskan bahwa tidak mungkin mengubah perilaku masyarakat tanpa mengubah sistem etika, dan tidak mungkin mengubah etika tanpa meninjau sistem teologi dalam masyarakat.

Diskursus mengenai perempuan seringkali terlalu tematis, sehingga dilupakan persoalan asasinya. Para feminis telah banyak mencurahkan perhatian untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan, tetapi tidak sedikit perempuan merasa enjoy di atas keprihatinan para feminis tersebut. Mereka percaya bahwa perempuan ideal ialah mereka yang bisa hidup di atas kodratnya sebagai perempuan, dan kodrat itu dipahami sebagai takdir (divine creation), bukan konstruksi masyarakat (social consttuction).

Dalam praktek terkadang sulit dibedakan mana pesan yang bersumber dari doktrin agama dan mana yang bersumber dari mitos. Agama pada hakekatnya menjadikan manusia sebagai subjek dan sekaligus sebagai objek. Pesan-pesan agama untuk kemaslahatan manusia mestinya dapat dijangkau oleh umat (mukallaf). Sedangkan pesan yang lahir dari mitos seringkali memberikan muatan lebih (over loads). Untuk itu, perlu adanya reidentifikasi masalah dan reinterpretasi sumber-sumber ajaran agama.

Islam tidak sejalan dengan faham patriarki mutlak, yang tidak memberikan peluang kepada perempuan untuk berkarya lebih besar, baik di dalam maupun di luar rumah. Al-Qur’an tidak memberikan penegasan tentang unsur dan asal-usul kejadian laki-laki dan perempuan, tidak juga mengenal konsep dosa warisan, dan skandal buah terlarang adalah tanggung jawab bersama Adam dan Hawa. Perbedaan anatomi fisik-biologis antara laki-laki dan perempuan tidak mengharuskan adanya perbedaan status dan kedudukan.

Praktek Kesetaraan Jender pada Masa Nabi

Praktek Kesetaraan Jender pada Masa Nabi

oleh Nasaruddin Umar
Dosen IAIN Jakarta
Redaktur Pelaksana Jurnal Pemikiran Islam Paramadina

Kehidupan perempuan di masa Nabi perlahan-lahan sudah mengarah kepada keadilan jender. Akan tetapi setelah beliau wafat dan wilayah Islam semakin meluas, kondisi ideal yang mulai diterapkan Nabi kembali mengalami kemunduran. Dunia Islam mengalami enkulturasi dengan mengadopsi kultur-kultur androsentris (untuk tidak menyebut kultur misogyny). Wilayah Islam bertambah luas ke bekas wilayah jajahan Persia di Timur, bekas jajahan Romawi dengan pengaruh kebudayaan Yunaninya di Barat, dan ke Afrika, seperti Mesir dengan sisa-sisa kebudayaan Mesir Kunonya di bagian Selatan. Pusat-pusat kebudayaan tua tersebut memperlakukan kaum perempuan sebagai the second sex. Para ulama yang berasal dari wilayah tersebut sulit melepaskan diri dari kebudayaan lokalnya di dalam menafsirkan sumber-sumber ajaran Islam. Akibatnya, fiqh yang berkembang di dalam sejarah Islam adalah fiqh patriarki. Dapat dimaklumi, komunitas Islam yang semakin jauh dari pusat kotanya (heartland), akan semakin kuat mengalami proses enkulturasi.

Di dalam memposisikan keberadaan perempuan, kita tidak bisa sepenuhnya merujuk kepada pengalaman di masa Nabi. Meskipun Nabi telah berupaya semaksimal mungkin untuk mewujudkan gender equality, tetapi kultur masyarakat belum kondusif untuk mewujudkan hal itu. Seperti diketahui bahwa wahyu baru saja selesai turun Nabi keburu wafat, maka wajar kalau Nabi tidak sempat menyaksikan blueprint ajaran itu sepenuhnya terwujud didalam masyarakat. Terlebih kedudukan perempuan yang berkembang dalam dunia Islam pasca Nabi tidak bisa dijadikan rujukan, karena bukannya semakin mendekati kondisi ideal tetapi malah semakin jauh.

Jika dilihat sejarah perkembangan karier kenabian Muhammad, maka kebijakan rekayasa sosialnya semakin mengarah kepada prinsip-prinsip kesetaraan gender (gender equality/al-musawa al-jinsi). Perempuan dan anak-anak di bawah umur semula tidak bisa mendapatkan harta warisan atau hak-hak kebendaan, karena yang bersangkutan oleh hukum adat jahiliyah dianggap tidak cakap untuk mempertahankan qabilah, kemudian al-Qur’an secara bertahap memberikan hak-hak kebendaan kepada mereka (Q., s. al-Nisa’/4:12). Semula laki-laki bebas mengawini perempuan tanpa batas, kemudian dibatasi menjadi empat, itupun dengan syarat yang sangat ketat (Q., s. al-Nisa’/4:3). Semula perempuan tidak boleh menjadi saksi kemudian diberikan kesempatan untuk itu, meskipun dalam beberapa kasus masih dibatasi satu berbanding dua dengan laki-laki (Q., s. al-Baqarah/2:228 dan s. al-Nisa’/4:34).

Pola dialektis ajaran Islam menganut asas penerapan bertahap (relatifering process/al-tadrij fi al-tasyri). Di sinilah perlunya mengkaji al-Qur’an secara hermeneutik, guna memahami suasana psikologis latar belakang turunnya sebuah ayat (sabab nuzul) atau munculnya sebuah hadis (sabab wurud).

Kedudukan perempuan pada masa Nabi sering dilukiskan dalam syair sebagai dunia mimpi (the dream of woman). Kaum perempuan dalam semua kelas sama-sama mempunyai hak dalam mengembangkan profesinya. Seperti dalam karier politik, ekonomi, dan pendidikan, suatu kejadian yang sangat langka sebelum Islam.

Tidak ditemukan ayat atau hadits yang melarang kaum perempuan aktif dalam dunia politik. Sebaliknya al-Qur’an dan hadits banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif menekuni berbagai profesi.

Dalam Q., s. al-Tawbah/9:71 dinyatakan:

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah auliya bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat dari Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Kata awliya’ dalam ayat tersebut di atas menurut Quraish Shihab mencakup kerjasama, bantuan, dari penguasaan; sedangkan “menyuruh mengerjakan yang ma’ruf” mencakup segala segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa.135

Dalam beberapa riwayat disebutkan betapa kaum perempuan dipermulaan Islam memegang peranan penting dalam kegiatan politik. Q., s. al-Mumtahanah/60:12 melegalisir kegiatan politik kaum wanita:

“Wahai Nabi, jika datang kepadamu kaum wanita beriman untuk melakukan bai’at dari mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dari kaki mereka dari tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia (bay’at) mereka dari mohonkanlah ampun kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Istri-istri Nabi terutama ‘A’isyah telah menjalankan peran politik penting. Selain ‘A’isyah, juga banyak wanita lain yang terlibat dalam urusan politik, mereka banyak terlibat dalam medan perang, dari tidak sedikit di antara mereka gugur di medan perang, seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyyah, Laylah al-Ghaffariyah, Ummu Sinam al-Aslamiyah.

Sedangkan kaum perempuan yang aktif di dunia politik dikenal misalnya: Fathimah binti Rasulullah, ‘A’isyah binti Abu Bakar, ‘Atika binti Yazid ibn Mu”awiyah, Ummu Salamah binti Ya’qub, Al-Khayzaran binti ‘Athok, dan lain sebagainya.

Dalam bidang ekonomi wanita bebas memilih pekerjaan yang halal, baik di dalam atau di luar rumah, mandiri atau kolektif, di lembaga pemerintah atau swasta, selama pekerjaan itu dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, dari tetap menghormati ajaran agamanya. Hal ini dibuktikan oleh sejumlah nama penting seperti Khadijah binti Khuwaylid (istri Nabi) yang dikenal sebagai komisaris perusahaan, Zaynab binti Jahsy, profesinya sebagai penyamak kulit binatang, Ummu Salim binti Malhan yang berprofesi sebagai tukang rias pengantin, istri Abdullah ibn Mas’ud dan Qilat Ummi Bani Anmar dikenal sebagai wiraswastawan yang sukses, al-Syifa’ yang berprofesi sebagai sekretaris dan pernah ditugasi oleh Khalifah ‘Umar sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah. Begitu aktif kaum wanita pada masa Nabi, maka ‘A’isyah pernah mengemukakan suatu riwayat “Alat pemintal di tangan wanita lebih baik dari pada tombak di tangan kaum laki-laki.” Dalam riwayat lain Nabi pernah mengatakan “Sebaik-baik permainan seorang wanita muslimah di dalam rumahnya adalah memintal/menenun.”136

Jabatan kontroversi bagi kaum wanita adalah menjadi Kepala Negara. Sebagian ulama masih menganggap jabatan ini tidak layak bagi seorang wanita, namun perkembangan masyarakat dari zaman ke zaman pendukung pendapat ini mulai berkurang. Bahkan al-Mawdudi yang dikenal sebagai ulama yang secara lebih tekstual mempertahankan ajaran Islam sudah memberikan dukungan kepada Fatimah Jinnah sebagai orang nomor satu di Pakistan.137

Dalam bidang pendidikan tidak perlu diragukan lagi, Al-Qur’an dan Hadits banyak memberikan pujian kepada perempuan yang mempunyai prestasi dalam ilmu pengetahuan. Al-Qur’an menyinggung sejumlah tokoh perempuan yang berprestasi tinggi, seperti Ratu Balqis, Maryam, istri Fir’awn, dari sejumlah istri Nabi.

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Nabi pernah didatangi kelompok kaum perempuan yang memohon kesediaan Nabi untuk menyisihkan waktunya guna mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah Islam klasik ditemukan beberapa nama perempuan menguasai ilmu pengetahuan penting seperti ‘A’isyah isteri Nabi, Sayyidah Sakinah, putri Husayn ibn ‘Ali ibn Abi Thalib, Al-Syekhah Syuhrah yang digelari dengan “Fikhr al-Nisa” (kebanggaan kaum perempuan), adalah salah seorang guru Imam Syafi’i, Mu’nisat al-Ayyubi (saudara Salahuddin al-Ayyubi), Syamiyat al-Taymi’yah, Zaynab, putri sejarawan al-Bagdadi, Rabi’ah al-Adaw’iyah, dan lain sebagainya.

Kemerdekaan perempuan dalam menuntut ilmu pengetahuan banyak dijelaskan dalam beberapa hadits, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bahwa Rasulullah melaknat wanita yang membuat keserupaan diri dengan kaum laki-laki, demikian pula sebaliknya, tetapi tidak dilarang mengadakan perserupaan dalam hal kecerdasan dan amal ma’ruf.138

Peran sosial perempuan dalam lintasan sejarah Islam mengalami kemerosotan di abad kedua, setelah para penguasa muslim kembali mengintrodusir tradisi hellenistik di dalam dunia politik. Tradisi hellenistik banyak mengakomodir ajaran Yahudi yang menempatkan kedudukan perempuan hampir tidak ada perannya dalam kehidupan masyarakat. Di samping itu, para ulama –diantaranya dengan sponsor pemerintah– sedang giat-giatnya melakukan standarisasi hukum dengan melaksanakan kodifikasi kitab-kitab fiqh dan kitab-kitab hadits. Apakah ada kaitan antara pembukuan dan pembakuan kitab fiqh dan proses penurunan peran perempuan, masih perlu diteliti lebih jauh.

D. Perempuan dan Dosa Warisan

Konsep teologi yang juga memberikan citra negatif kepada kaum perempuan ialah anggapan bahwa Hawa menjadi penyebab tergelincirnya Adam dari Sorga ke planet bumi. Karena rayuannya, Adam lengah lalu memakan buah terlarang menyebabkannya terlempar ke bumi. Akhirnya, kaum perempuan harus menanggung akibat lebih besar, seperti yang dapat dilihat dalam Kitab Talmud dan Bibel.

Dalam Agama Yahudi, asal-usul terjadinya dosa asal (original sin) juga lebih banyak dipersalahkan kaum perempuan. Bahkan kalangan misogyny menganggap perempuan sebagai “setan betina” (female demon) yang harus selalu diwaspadai.

1. Kutukan terhadap Hawa dan Adam

Dalam Kitab Talmud (Eruvin 100b) disebutkan bahwa akibat pelanggaran Hawa/Eva di Sorga maka kaum perempuan secara keseluruhan akan menanggung 10 beban penderitaan:

  1. Perempuan akan mengalami siklus menstruasi, yang sebelumnya Hawa/ Eva tidak pernah mengalaminya.
  2. Perempuan yang pertama kali melakukan persetubuhan akan mengalami rasa sakit.
  3. Perempuan akan mengalami penderitaan dalam mengasuh dan memelihara anak-anaknya. Anak-anak membutuhkan perawatan, pakaian, kebersihan, dan pengasuhan sampai dewasa. Ibu merasa risih manakala pertumbuhan anak-anaknya tidak seperti yang diharapkan.
  4. Perempuan akan merasa malu terhadap tubuhnya sendiri.
  5. Perempuan akan merasa tidak leluasa bergerak ketika kandungannya berumur tua.
  6. Perempuan akan merasa sakit pada waktu melahirkan.
  7. Perempuan tidak boleh mengawini lebih dari satu laki-laki.
  8. Perempuan masih akan merasakan hubungan seks lebih lama sementara suaminya sudah tidak kuat lagi.
  9. Perempuan sangat berhasrat melakukan hubungan seks terhadap suaminya, tetapi amat berat menyampaikan hasrat itu kepadanya.
  10. Perempuan lebih suka tinggal di rumah.139

Mungkin banyak kaum perempuan dewasa ini tidak sadar kalau poin pertama sampai terakhir bukan sekedar peristiwa alami, tetapi oleh orang-orang yang mempercayai kitab itu diyakini sebagai bagian dari “kutukan” Tuhan terhadap kesalahan Hawa.

Sedangkan kutukan yang ditimpakan kepada laki-laki, dan ini menarik untuk diperhatikan, adalah sebagai berikut:

  1. Sebelum terjadi kasus pelanggaran (spiritual decline) postur tubuh laki-laki lebih tinggi dari pada bentuk normal sesudahnya.
  2. Laki-laki akan merasa lemah ketika ejakulasi.
  3. Bumi akan ditumbuhi banyak pohon berduri.
  4. Laki-laki akan merasa susah dalam memperoleh mata pencaharian.
  5. Laki-laki pernah makan rumput di lapangan rumput bersama binatang ternak, tetapi Adam memohon kepada Tuhan agar kutukan yang satu ini dihilangkan.
  6. Laki-laki akan makan makanan dengan mengeluarkan keringat di alisnya.
  7. Adam kehilangan ketampanan menakjubkan yang telah diberikan oleh Tuhan kepadanya.
  8. Ditinggalkan oleh ular yang sebelumnya telah menjadi pembantu setia laki-laki.
  9. Adam dibuang dari taman sorga dan kehilangan status sebagai penguasa jagat raya.
  10. Laki-laki diciptakan dari debu dan akan kembali menjadi debu. Ia ditakdirkan untuk mati dan dikubur.140

Kutukan yang ditimpakan kepada kaum laki-laki, selain lebih lunak kutukan itu juga langsung atau tidak langsung menimpa kaum perempuan. Sebaliknya, kutukan terhadap perempuan lebih berat dan monumental serta hanya dialaminya sendiri, tidak dialami kaum laki-laki.

Dalam Bibel juga dipersepsikan bahwa kaum laki-laki pantas memiliki superioritas di atas perempuan, sebaliknya kaum perempuan pada tempatnyalah mengabdikan diri kepada kaum laki-laki, karena selain diciptakan dari tulang rusuk Adam dan untuk melengkapi kesenangan Adam, juga dianggap penyebab langsung jatuhnya Adam dari syorga, seperti diungkapkan dalam Kitab Kejadian (3:12):

“Manusia itu menjawab: “Perempuan yang kamu tempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan”.141

Sebagai sanksi terhadap kaum perempuan antara lain dikatakan dalam Kitab Kejadian (3:16)

“FirmanNya kepada perempuan itu: “Susah payahmu waktu mengandung akan kubuat sangat banyak, dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu.”142

Jika doktrin-doktrin tersebut dilihat dalam perspektif sejarah, maka Islam adalah suatu sistem nilai yang progressif pada zamannya. Ajaran-ajarannya yang kontroversi ketika itu tidak hanya dapat ditawarkan (accessible) tetapi juga dapat diterima (acceptable) dalam kurun waktu yang singkat. Dapat dibandingkan ajaran Bibel baru populer setelah ‘Isa/Yesus meninggal, sedangkan Nabi Muhammad sempat menyaksikan ajarannya dianut di sekitar Timur-Tengah.

Misteri Nafs al-Wahidah

Misteri Nafs al-Wahidah

oleh Nasaruddin Umar
Dosen IAIN Jakarta
Redaktur Pelaksana Jurnal Pemikiran Islam Paramadina

Dalam al-Qur’an tidak dijumpai ayat-ayat secara rinci menceritakan asal-usul kejadian perempuan. Kata Hawa yang selama ini dipersepsikan sebagai perempuan yang menjadi isteri Adam sama sekali tidak pernah ditemukan dalam al-Qur’an, bahkan keberadaan Adam sebagai manusia pertama dan berjenis kelamin laki-laki masih dipermasalahkan.116

Satu-satunya ayat yang mengisyaratkan asal usul kejadian perempuan yaitu Q., s. al-Nisa’/4:1 sebagai berikut:

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari “diri” yang satu (a single self), dan dari padanya Allah menciptakan pasangan (pair)-nya, dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.

Akan tetapi maksud ayat ini masih terbuka peluang untuk didiskusikan, karena ayat tersebut menggunakan kata-kata bersayap. Para mufassir juga masih berbeda pendapat, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan “diri yang satu” (nafs al-wahidah), siapa yang ditunjuk pada kata ganti (dhamir) “dari padanya” (minha), dan apa yang dimaksud “pasangan” (zawy) pada ayat tersebut?

Kitab-kitab tafsir mu’tabar dari kalangan jumhur seperti Tafsir al-Qurthubi, Tafsir al-Mizan, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir al-Bahr al-Muhith, Tafsir Ruh al-Bayan, Tafsir al-Kasysyaf, Tafsir al-Sa’ud, Tafsir Jami al-Bayan an Tafsir al-Maraghi, semuanya menafsirkan kata nafs al-wahidah dengan Adam, dan dhamir minha ditafsirkan dengan “dari bagian tubuh Adam”, dan kata zawj ditafsirkan dengan Hawa, isteri Adam. Ulama lain seperti Abu Muslim al-Isfahani, sebagaimana dikutip al-Razi dalam tafsirnya (Tafsir al-Razi), mengatakan bahwa dlamir “ha” pada kata minha bukan dari bagian tubuh Adam tetapi “dari jins (gen), unsur pembentuk Adam”.117 Pendapat lain dikemukakan oleh ulama Syi’ah yang mengartikan al-nafs al-wahidah dengan “roh” (soul).118

Kedua pendapat terakhir yang berbeda dengan pendapat jumhur ulama cukup beralasan pula. Jika diteliti secara cermat penggunaan kata nafs yang terulang 295 kali dalam berbagai bentuknya dalam al-Qur’an, tidak satupun dengan tegas menunjuk kepada Adam. Kata nafs kadang-kadang berarti “jiwa” (Q., s. al-Ma’idah/5:32), “nafsu” (Q., s. al-Fajr/89:27), “nyawa/roh” (Q., s. al-‘Ankabut/29:57). Kata al-nafs al-wahidah sebagai “asal-usul kejadian” terulang lima kali tetapi itu semua tidak mesti berarti Adam, karena pada ayat lain, seperti Q., s. al-Syu’ra/42:11, nafs itu juga menjadi asal-usul binatang.119 Kalau dikatakan al-nafs al-wahidah ialah Adam, berarti Adam juga menjadi asal-usul kejadian hewan dan tumbuh-tumbuhan?

Perhatikan sekali lagi ayat ini menggunakan bentuk nakirah/indefinite “dari satu diri” (min nafsin), bukan dalam bentuk ma’rifah/definite (min al-nafs), berarti menunjukkan kekhususan (yufid al-takhshish) lalu diperkuat (ta’kid) dengan kata “yang satu” (wahidah) sebagai shifat dari min nafsin. Semuanya ini menunjukkan kepada substansi utama (the first resource), yakni asal (unsur) kejadian Adam, bukan Adam-nya sendiri sebagai secondary resources. Di samping itu, seandainya yang dimaksud pada kata nafs ialah Adam, mengapa tidak digunakan kata wahidin dengan bentuk gender laki-laki (mudzakkar), tetapi yang digunakan kata wahidah dalam bentuk perempuan (mu’annats). Walaupun kita tahu bahwa kata nafs120 masuk kategori mu’annats sebagaimana beberapa ism ‘alam lainnya tetapi dalam al-Qur’an sering dijumpai shifat itu menyalahi bentuk mawshuf-nya kemudian merujuk ke hakekat yang di-shifat-i, jika yang di-shifat-i itu hendak ditekankan oleh Si Pembicara (Mukhathab).121

Kata al-nafs al-wahidah dalam ayat itu boleh jadi suatu genus dan salah satu speciesnya ialah Adam dan pasangannya (pair/zawj-nya) (Q., s. al-A’raf/7:189), sedangkan species lainnya ialah binatang dan pasangannya (Q., s. al-Syura/42:11) serta tumbuh-tumbuhan dan pasangannya (Q., s. Thaha/20:53).

Surah al-Nisa’ di atas agaknya kurang relevan dijadikan dasar dalam menerangkan asal-usul kejadian manusia secara biologis, karena dilihat dari konteks (munasabah), ayat itu berbicara tentang tanggung jawab para wali terhadap orang di bawah perwaliannya. Ada ayat-ayat lain lebih khusus berbicara tentang asal-usul kejadian, seperti asal-usul manusia dari “air”/al-ma’ (Q., s. al-Furqan/25:54), “air hina”/ma’in mahin (Q., s. al-Mursalat/77:20), dan “air yang terpancar”/ma’in dafiq (Q., s. al-Thariq/86:6), “darah”/’alaq (Q., s. al-‘Alaq/96:2), “saripati tanah”/sulalatin min thin (Q., s. al-Mu’minun/23:12), “tanah liat yang kering”/shalshalin min hama’in mahan (Q., s. al–Hijr/ 15:28), “tanah yang kering seperti tembikar”/shalshalin ka ‘l-fakhkhar (Q., s. al-Rahman/55:15), “dari tanah”/min thin (Q., s. al-Sajdah/32:7), dan “diri yang satu” (nafs al-Wahidah (Q., s. al-Nisa’/4: 1). Akan tetapi asal-usul kejadian manusia masih perlu diteliti lebih lanjut, yang mana asal-usul dalam arti ciptaan awal (production) dan mana asal-usul dalam arti ciptaan lanjutan (reproduction).

Ada kesulitan dalam memahami kisah asal-usul kejadian manusia dalam al-Qur’an karena ada loncatan atau semacam missing link dalam kisah-kisah tersebut. Al-Qur’an tidak menerangkan secara runtut dari A sampai Z, tetapi dari A meloncat ke X dan Z. Apa yang terjadi antara A dan X atau Z tidak dijelaskan. Al-Qur’an bercerita tentang asal-usul sumber manusia pertama dari “gen yang satu” (nafs al-wahidah), Gen yang melahirkan species makhluk biologis seperti jenis manusia, jenis binatang, dan jenis tumbuh-tumbuhan. Dalam komponen lain ayat-ayat berbicara tentang asal-usul manusia dalam konteks reproduksi, seperti pada Q., s. al-Mu’minun/23:12-14.

Ayat-ayat kejadian manusia dalam al-Qur’an tidak cukup kuat dijadikan alasan untuk menolak atau mendukung teori evolusi dan untuk hal ini masih perlu penelitian lebih lanjut. Terdapat beberapa ayat mengisyaratkan adanya makhluk sejenis manusia selain dan sebelum Adam; seperti pertanyaan malaikat yang bernada protes terhadap keinginan Tuhan untuk menciptakan khalifah di bumi yang mengkhawatirkan terjadinya pengulangan sejarah pertumpahan darah (Q.,s. al-Baqarah/2:30) dan penggunaan dlamir plural (khalaqa-kum) pada penciptaan manusia awal (Q., s. al-A’raf/7:11). Ayat-ayat itu dapat dihubungkan dengan kemungkinan adanya makhluk sejenis Adam pra Adam. Sementara banyak ayat mengisyaratkan manusia sebagai ciptaan yang unik the unical creation, sebagaimana diuraikan terdahulu.

Konsep teologi yang menganggap Hawa/Eva berasal usul dari tulang rusuk Adam membawa implikasi psikologis, sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Informasi dari sumber-sumber ajaran agama mengenai asal usul kejadian wanita belum bisa dijelaskan secara tuntas oleh ilmu pengetahuan. Kalangan feminis Yahudi dan Kristen cenderung mengartikan kisah-kisah itu sebagai simbolis yang perlu diberikan muatan makna lain.122 Sedangkan Feminis Muslimah seperti Mernissi123 cenderung melakukan kritik terhadap jalur riwayat (sanad), materi hadits (matan), asal-usul (sabab wurud) terhadap beberapa hadits yang memojokkan kaum perempuan, yang diistilahkannya dengan hadits-hadits misogyny, disamping melakukan kajian semantik dan sabab nuzul terhadap beberapa ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan perempuan.

Pemahaman yang keliru mengenai asal-usul kejadian tersebut bisa melahirkan sikap ambivalensi di kalangan perempuan; di satu pihak ditantang untuk berprestasi dan mengembangkan karier agar tidak selalu menjadi beban laki-laki tetapi di lain pihak, ketika seorang perempuan mencapai karier puncak, keberadaannya sebagai perempuan shaleh dipertanyakan. Seolah-olah keberhasilan dan prestasi perempuan tidak cukup hanya diukur oleh suatu standar profesional tetapi juga seberapa jauh hal itu direlakan kaum laki-laki. Kondisi yang demikian ini tidak mendukung terwujudnya khalifat-un fi ‘l-ardl yang ideal, karena itu persoalan ini perlu diadakan klarifikasi.

C. Fungsi Keberadaan Laki-laki dan Perempuan

Keberadaan Hawa untuk melengkapi salah satu hasrat Adam. Anggapan seperti ini dapat dilihat dalam Kitab Tawrat dan Kitab Injil, seperti dalam Genesis/2:18-19 ditegaskan bahwa tidak baik seorang laki-laki sendirian dan karenanya Eva diciptakan sebagai pelayan yang tepat untuk Adam (a helper suitable for him).124

Dari pasal-pasal tersebut secara teologis mengesankan kedudukan perempuan, bukan saja sebagai subordinasi laki-laki, tetapi juga memberikan kedudukan yang inferior di dalam masyarakat. Dalam sumber Yahudi, yakni dalam Midras dijelaskan bahwa secara substansial penciptaan perempuan dibedakan dengan laki-laki. Laki-laki diciptakan dengan kognitif intelektual (cognition-by-intellect/hokhmah), sedangkan perempuan diciptakan dengan kognitif instink (cognition-by-instinct/ binah).125 Jika diperhatikan secara cermat beberapa pernyataan dalam Bible, terutama dalam Kitab Kejadian, pernyataan-pernyataan itu dengan jelas menunjukkan bahwa kedudukan perempuan sangat timpang dibanding kedudukan laki-laki. Persoalan ini menjadi sangat fundamental karena tersurat di dalam Kitab Suci yang harus diyakini oleh pemeluknya. Hal yang seperti ini sering dijumpai dalam masyarakat, misalnya beberapa mitos destruktif tetap lestari hingga sekarang karena dianggap sebagai bagian dari doktrin agama.

Problem teologis seperti ini menjadi hambatan terberat dialami kalangan feminis. Carmody mengungkapkan bahwa, sejumlah mitos tidak dapat ditolak karena sudah menjadi bagian dari kepercayaan berbagai agama, misalnya tidak bisa menolak mitos di sekitar Mary (Maryam) tanpa melepaskan kepercayaan, karena dalam kepercayaan Kristen, cerita tentang Jesus dan Mary dianggap sebagai nonmythologual aspects.126

Dalam al-Qur’an, tidak ditemukan suatu ayat yang menyebutkan cerita tentang asal-usul kejadian perempuan. Yang ada hanya cerita tentang kesombongan Iblis yang berdampak pada Adam dan pasangannya, harus meninggalkan sorga.127 Hanya ada beberapa riwayat yang kontroversi menceritakan asal-usul keberadaan kejadian perempuan, yang redaksinya hampir sama dengan cerita yang ada dalam Kitab Kejadian, seperti dalam hadits:

“Ketika Allah mengusir Iblis keluar dari Taman lalu di dalamnya ditempatkan Adam. Karena ia tidak mempunyai teman bermain maka Allah menidurkannya kemudian mengambil unsur dari tulang rusuk kirinya lalu Ia mengganti daging di tempat semula kemudian Ia menciptakan Hawa dari padanya. Ketika bangun, Adam menemukan seorang perempuan duduk di dekat kepalanya. Adam bertanya: Siapa anda? Hawa menjawab: perempuan. Adam kembali bertanya: Kenapa engkau diciptakan? Hawa menjawab: Supaya engkau mendapatkan kesenangan dari diri saya. Para malaikat berkata: Siapa namanya? Dijawab: Hawwa. Mereka bertanya: mengapa dipanggil Hawa? dijawab: Karena diciptakan dari sebuah benda hidup”.128

Redaksi riwayat di atas sangat mirip dengan redaksi Kitab Genesis, khususnya Pasal 21-23. Riwayat-riwayat semacam ini diragukan keabsahannya oleh, bukan saja dari kalangan feminis muslimah seperti Riffat Hasan tetapi juga kalangan ulama seperti Muhammad Rasyid Ridla. Dalam Tafsir al-Manar, Rasyid Ridla mengesankan bahwa tradisi pemahaman yang mempersepsikan Hawa dari tulang rusuk kiri Adam, bukan bersumber dari al-Qur’an tetapi pengaruh ajaran Kitab Suci sebelumnya, “Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalamKitab Perjanjian Lama (Kejadian 2:21) niscaya pendapat yang keliru tidak pernah terlintas dalam benak seorang muslim”.129

Wibke Walther mendukung pendapat tersebut dengan mengemukakan beberapa bukti sejarah bahwa pada era awal Islam, yakni pada masa Nabi, kaum perempuan mendapatkan kemerdekaan sangat berbeda dengan yang pernah membudaya sebelumnya. Belakangan setelah wilayah Islam meluas dan bersentuhan dengan budaya lain, khususnya faham asketisme Kristen kedudukan perempuan dalam dunia Islam mengalami dekadensi.130 Pendapat yang sama juga diungkapkan Fatima Mernissi dan Muhammad Iqbal.

1. Konsep Kesetaraan Jender dalam al-Qur’an

Al-Qur’an memberikan pandangan optimistis terhadap kedudukan dan keberadaan perempuan. Semua ayat yang membicarakan tentang Adam dan pasangannya, sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (dlamir mutsanna), seperti kata huma, misalnya keduanya memanfaatkan fasilitas sorga (Q., s. al-Baqarah/2:35), mendapat kualitas godaan yang sama dari setan (Q., s. al-A’rif/7:20), sama-sama memakan buah khuldi dan keduanya menerima akibat terbuang ke bumi (7:22), sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni.Tuhan (7:23). Setelah di bumi, antara satu dengan lainnya saling melengkapi, “mereka adalah pakaian bagimu dan kamu juga adalah pakaian bagi mereka” (Q., s. al-Baqarah/2:187).

Secara ontologis, masalah-masalah substansial manusia tidak diuraikan panjang lebar di dalam al-Qur’an. Seperti mengenai roh, tidak dijelaskan karena hal itu dianggap “urusan Tuhan” (Q., s. al-Isr’a’/17:85). Yang ditekankan ialah eksistensi manusia sebagai hamba/’abid (Q., s. al-Dzariyat/51:56) dan sebagai wakil Tuhan di bumi/khalifah fi al-ardl (Q., s. al-An’am/6:165). Manusia adalah satu-satunya makhluk eksistensialis, karena hanya makhluk ini yang bisa turun naik derajatnya di sisi Tuhan. Sekalipun manusia ciptaan terbaik (ahsan taqwim/Q., s. al-Thin/95:4) tetapi tidak mustahil akan turun ke derajat “paling rendah” (asfala safilin/Q., s. al-Tin/95:5), bahkan bisa lebih rendah dari pada binatang (Q., s. al-A’raf/7:179).

Ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin (Q., s. al-Hujurat/49:13). Al-Qur’an tidak menganut faham the second sex yang memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu, atau the first ethnic, yang mengistimewakan suku tertentu. Pria dan wanita dan suku bangsa manapun mempunyai potensi yang sama untuk menjadi ‘abid dan khalifah (Q., s. al-Nisa’/4:124 dan s. al-Nahl/16:97).

Sosok ideal, perempuan muslimah (syakhshiyah al-ma’rah) digambarkan sebagai kaum yang memiliki kemandirian politik/al-istiqlal al-siyasah (Q., s. al-Mumtahanah/60:12), seperti sosok Ratu Balqis yang mempunyai kerajaan “superpower”/’arsyun ‘azhim (Q., s. al-Naml/27:23); memiliki kemandirian ekonomi/al-istiqlal al-iqtishadi (Q., s. al-Nahl/16:97), seperti pemandangan yang disaksikan Nabi Musa di Madyan, wanita mengelola peternakan (Q., s. al-Qashash/28:23), kemandirian di dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi/al-istiqlal al-syakhshi yang diyakini kebenarannya, sekalipun harus berhadapan dengan suami bagi wanita yang sudah kawin (Q., s. al-Tahrim/66:11) atau menentang pendapat orang banyak (public opinion) bagi perempuan yang belum kawin (Q., s. al-Tahrim/66:12). Al-Qur’an mengizinkan kaum perempuan untuk melakukan gerakan “oposisi” terhadap berbagai kebobrokan dan menyampaikan kebenaran (Q., s. al-Tawbah/9:71). Bahkan al-Qur’an menyerukan perang terhadap suatu negeri yang menindas kaum perempuan (Q., s. al-Nisa’/4:75).

Gambaran yang sedemikian ini tidak ditemukan di dalam kitab-kitab suci lain. Tidaklah mengherankan jika pada masa Nabi ditemukan sejumlah perempuan memiliki kemampuan dan prestasi besar sebagaimana layaknya kaum laki-laki.

2. Penafsiran Berwawasan Jender

Hampir semua tafsir yang ada mengalami gender bias. Hal itu antara lain disebabkan karena pengaruh budaya Timur-Tengah yang androcentris. Bukan hanya kitab-kitab Tafsir tetapi juga kamus. Sebagai salah satu contoh, al-dzakar/mudzakkar (laki-laki) seakar kata dengan al-dzikr berarti mengingat. Kata khalifah di dalam kamus Arab paling standar, Lisan al-Arab, menyatakan bahwa: “khalifah hanya digunakan di dalam bentuk maskulin” (al-khalifah la yakun illa al-dzakar).

Ada beberapa ayat sering dipermasalahkan karena cenderung memberikan keutamaan kepada laki-laki, seperti dalam ayat warisan (Q., s. al-Nis’a’/4: 11), persaksian (Q., s. al-Baqarah/2:228, s. al-Nisa’/4:34), dan laki-laki sebagai “pemimpin”/qawwamah (Q., s. al-Nisa’/4:34), akan tetapi ayat-ayat itu tidak bermaksud merendahkan kaum perempuan. Ayat-ayat itu boleh jadi merujuk kepada fungsi dan peran sosial berdasarkan jenis kelamin (gender roles) ketika itu. Seperti diketahui ayat-ayat mengenai perempuan umumnya mempunyai riwayat sabab nuzul jadi sifatnya sangat historical. Lagi pula ayat-ayat tersebut berbicara tentang persoalan detail (muayyidat). Umumnya ayat-ayat seperti itu dimaksudkan untuk mendukung dan mewujudkan tujuan umum (maqashid) ayat-ayat essensial,131 yang juga menjadi tema sentral al-Qur’an.

Ayat-ayat yang diturunkan dalam suatu sebab khusus (sabab nuzul) terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, a) apakah ayat-ayat itu berlaku secara universal tanpa memperhatikan kasus turunnya (yufid al-‘alm), atau b) berlaku universal dengan syarat memperhatikan persamaan karakteristik illat (khushush al-‘illah), yang meliputi empat unsur yaitu peristiwa, pelaku, tempat, dan waktu, atau c) hanya mengikat peristiwa khusus yang menjadi sebab (khushush al-sabab) turunnya ayat, dengan demikian ayat-ayat tersebut tidak mengcover secara langsung peristiwa-peristiwa lain.132

Al-Qur’an dan Nabi Muhammad telah melakukan proses awal dalam membebaskan manusia, khususnya kaum perempuan, dari cengkeraman teologi, mitos, dan budaya jahiliyah. Al-Qur’an dan hadits yang berbicara tentang beberapa kasus tertentu, hendaknya dilihat sebagi suatu proses yang mengarah kepada suatu tujuan umum (maqashid al-syari’ah). Al-Qur’an mempunyai seni tersendiri dalam memperkenalkan dan menyampaikan ide-idenya, misalnya dengan: a) disampaikan secara bertahap (al-tadrij fi al-tasyri), b) berangsur (taqlil al-taklif), dan c) tanpa memberatkan (a’dam al-haraj). Sebagai contoh, upaya menghapuskan minuman yang memabukkan (iskar), diperlukan empat ayat turun secara bertahap. Jika kita perhatikan ayat-ayat yang turun berkenaan dengan persoalan perbudakan, kewarisan, dan poligami, runtut turunnya ayat-ayat tersebut mengarah kepada suatu tujuan, yaitu mewujudkan keadilan dan menegakkan amanah dalam masyarakat.133

Dalam melihat hak asasi perempuan dalam Islam, kiranya kita tidak hanya memusatkan perhatian kepada peraturan-peraturan yang ada dalam kitab-kitab Fiqh. Mestinya juga dilihat dan dibandingkan bagaimana status dan kedudukan perempuan sebelum Islam. Misalnya dalam soal warisan; anak perempuan mendapat separoh bagian dari yang didapat anak laki-laki (Q., s. al-Nisa’/4:11). Ketika ayat ini memberikan bagian kepada anak perempuan, meskipun itu hanya separoh, tanggapan masyarakat ketika itu sama ketika ayat haid diturunkan (akan diuraikan tersendiri), yaitu menimbulkan kekagetan (shock) dalam masyarakat, karena ketentuan baru itu dianggap menyimpang dari tradisi besar (great tradition) mereka. Ketentuan sebelumnya harta warisan itu jatuh kepada anggota keluarga yang bisa mempertahankan clan atau qabilah, dalam hal ini menjadi tugas laki-laki. Sekalipun laki-laki tetapi belum dewasa maka dihukum sama dengan perempuan. Itulah sebabnya Nabi Muhammad tidak memperoleh harta warisan dari bapak dan neneknya karena ia masih belum dewasa.

Bagaimana jadinya seandainya pembagian warisan ketika itu ditetapkan sama rata kepada anggota keluarga tanpa membedakan peran jenis kelamin (gender role), sementara peran sosial berdasarkan peran jenis kelamin ketika itu sangat menentukan. Mencari titik temu antara wahyu (revelation) dan budaya lokal adalah tugas para ulama. Para ulama berusaha merumuskan suatu pranata –kemudian lebih dikenal dengan Fiqh Islam– dengan melakukan sintesa antara kultur Arab dan prinsip-prinsip dasar al-Qur’an.

Meskipun laki-laki dalam Fiqh Islam masih terkesan dominan tetapi martabat perempuan sudah diakui, bahkan perempuan selalu di bawah perlindungan laki-laki. Kalau ia sebagai isteri dipertanggung jawabkan oleh suami, sebagai anak dipertanggung jawabkan oleh Bapak, sebagai saudara dipertanggungjawabkan oleh saudara laki-laki, meskipun ia lebih tua, dan menerima mahar dari laki-laki. Kaum laki-lakilah yang bertanggung jawab terhadap seluruh anggota keluarga clan dan/kabilah yang ketika itu sangat rawan.

Tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada para fuqaha’, memang ada beberapa hal dalam kitab Fiqh dinilai telah selesai memenuhi tugas historisnya. Jika kita konsisten terhadap kaidah al-hukmu yadur ma’a al-illah (hukum mengikuti perkembangan zamannya) maka fiqh Islam sudah semestinya diadakan berbagai penyesuaian.

Salah satu upaya al-Qur’an dalam menghilangkan ketimpangan peran jender tersebut ialah dengan merombak struktur masyarat qabilah yang berciri patriarki paternalistik menjadi masyarakat ummah yang berciri bilateral-demokratis. Promosi karier kelompok masyarakat qabilah hanya bergulir di kalangan laki-laki, sedangkan kelompok masyarakat ummah ukurannya adalah prestasi dan kualitas, tanpa membedakan jenis kelamin dan suku bangsa. Itulah sebabnya Rasulullah sejak awal mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah,134 karena Yatsrib terlalu berbau etnik (syu’ubiyah), sedangkan Madinah terkesan lebih kosmopolitan.

Pengertian Gender

Perspektif Jender Dalam Islam

oleh Nasaruddin Umar
Dosen IAIN Jakarta
Redaktur Pelaksana Jurnal Pemikiran Islam Paramadina

A. Pendahuluan

Isu jender akhir-akhir ini semakin ramai dibicarakan, walaupun jender itu sendiri tidak jarang diartikan secara keliru. Jender adalah suatu istilah yang relatif masih baru. Menurut Shorwalter, wacana jender mulai ramai dibicarakan pada awal tahun 1977, ketika sekelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist, tetapi menggantinya dengan isu Jender (gender discourse).99 Sebelumnya istilah sex dan gender digunakan secara rancu.

Dimensi teologi jender masih belum banyak dibicarakan, padahal persepsi masyarakat terhadap jender banyak bersumber dari tradisi keagamaan. Ketimpangan peran sosial berdasarkan jender (gender inequality) dianggap sebagai divine creation, segalanya bersumber dari Tuhan. Berbeda dengan persepsi para feminis yang menganggap ketimpangan itu semata-mata sebagai konstruksi masyarakat (social construction).

Menurut penelitian para antropolog, masyarakat pra-primitif, yang biasa juga disebut dengan masyarakat liar (savage society) sekitar sejuta tahun lalu, menganut pola keibuan (maternal system). Perempuan lebih dominan dari pada laki-laki di dalam pembentukan suku dan ikatan kekeluargaan. Pada masa ini terjadi keadilan sosial dan kesetaraan jender.100

Proses peralihan masyarakat dari matriarchal dan ke patriarchal family telah dijelaskan oleh beberapa teori. Satu di antara teori itu ialah teori Marxis yang dilanjutkan oleh Engels yang mengemukakan bahwa perkembangan masyarakat yang beralih dari collective production ke private property dan sistem exchange yang semakin berkembang, menyebabkan perempuan tergeser, karena fungsi reproduksi perempuan diperhadapkan dengan faktor produksi.101

Ada suatu pendekatan lain yang menganggap agama, khususnya agama-agama Ibrahimiah (Abrahamic religions) sebagai salah satu faktor menancapnya faham patriarki di dalam masyarakat, karena agama-agama itu memberikan justifikasi terhadap faham patriarki. Lebih dari itu, agama Yahudi dan Kristen dianggap mentolerir faham misogyny, suatu faham yang menganggap perempuan sebagai sumber malapetaka, bermula ketika Adam jatuh dari sorga karena rayuan Hawa. Pendapat lain mengatakan bahwa peralihan masyarakat matriarki ke masyarakat patriarki erat kaitannya dengan proses peralihan The Mother God ke The Father God di dalam mitologi Yunani.

Kajian-kajian tentang jender memang tidak bisa dilepaskan dari kajian teologis. Hampir semua agama mempunyai perlakuan-perlakuan khusus terhadap kaum perempuan. Posisi perempuan di dalam beberapa agama dan kepercayaan ditempatkan sebagai the second sex, dan kalau agama mempersepsikan sesuatu biasanya dianggap sebagai “as it should be” (keadaan sebenarnya), bukannya “as it is” (apa adanya).

Ketimpangan peran sosial berdasarkan jender masih tetap dipertahankan dengan dalih doktrin agama. Agama dilibatkan untuk melestarikan kondisi di mana kaum perempuan tidak menganggap dirinya sejajar dengan laki-laki. Tidak mustahil di balik “kesadaran” teologis ini terjadi manipulasi antropologis bertujuan untuk memapankan struktur patriarki, yang secara umum merugikan kaum perempuan dan hanya menguntungkan kelas-kelas tertentu dalam masyarakat.

Pandangan di sekitar teologi jender berkisar pada tiga hal pokok: pertama, asal-usul kejadian laki-laki dan perempuan, kedua, fungsi keberadaan laki-laki dan perempuan, ketiga, persoalan perempuan dan dosa warisan. Ketiga hal ini memang dibahas secara panjang lebar dalam Kitab Suci beberapa agama. Mitos-mitos tentang asal-usul kejadian perempuan yang berkembang dalam sejarah umat manusia sejalan dengan apa yang tertera di dalam Kitab Suci tersebut. Mungkin itulah sebabnya kaum perempuan kebanyakan menerima kenyataan dirinya sebagai given dari Tuhan. Bahkan tidak sedikit dari mereka merasa happy jika mengabdi sepenuhnya tanpa reserve kepada suami.

Tidaklah heran jika para feminis –sebagaimana dapat dilihat dalam buku-buku yang bercorak feminis– memulai pembahasan dan kajiannya dengan menyorot aspek-aspek teologi, seperti cerita tentang tulang rusuk, perempuan sebagai helper Adam, dan pelanggaran Hawa dihubungkan dengan dosa warisan (original sin).

1. Pengertian Gender

Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin”.102 Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.103

Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.104

Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men).105 Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminin is a component of gender).106

H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan.107 Agak sejalan dengan pendapat yang dikutip Showalter yang mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender sebagai konsep analisa dalam mana kita dapat menggunakannya untuk menjelaskan sesuatu (Gender is an analityc concept whose meanings we work to elucidate, and a subject matter we proceed to study as we try to define it).108

Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan istilah “jender”. Jender diartikan sebagai “interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan”.109

Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.

2. Perbedaan Sex dengan Gender

Kalau gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, maka sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi.

Istilah sex (dalam kamus bahasa Indonesia juga berarti “jenis kelamin”) lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sedangkan gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya.

Studi gender lebih menekankan pada aspek maskulinitas (masculinity) atau feminitas (femininity) seseorang. Berbeda dengan studi sex yang lebih menekankan kepada aspek anatomi biologi dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness) dan perempuan (femaleness). Proses pertumbuhan anak (child) menjadi seorang laki-laki (being a man) atau menjadi seorang perempuan (being a woman), lebih banyak digunakan istilah gender dari pada istilah sex. Istilah sex umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan aktivitas seksual (love-making activities), selebihnya digunakan istilah gender.

B. Pangkal Stereotip Jender: Asal-usul Kejadian Manusia

Hampir semua agama dan kepercayaan membedakan asal-usul kejadian laki-laki dan perempuan. Agama-agama yang termasuk di dalam kelompok Abrahamic religions, yaitu Agama Yahudi, Agama Kristen, dan Agama Islam menyatakan bahwa laki-laki (Adam) diciptakan lebih awal dari pada perempuan. Di Dalam Bibel ditegaskan bahwa perempuan (Hawwa/Eva)110 diciptakan dari tulang rusuk Adam,111 seperti dapat dilihat pada Kitab Kejadian (Genesis) 1:26-27, 2:18-24, Tradisi Imamat 2:7, 5:1-2. Tradisi Yahwis 2:18-24. Di antaranya yang paling jelas ialah Kitab Kejadian 2:21-23:

“21 Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. 22 Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangunNyalah seorang perempuan, lalu dibawaNya kepada manusia itu”.112

Berbeda dengan Bibel, al-Qur’an menerangkan asal-usul kejadian tersebut di dalam satu ayat pendek (Q., s. al-Nisa’/4: 1) sebagaimana akan diuraikan lebih lanjut. Cerita tentang asal-usul kejadian itu hanya ditemukan di dalam beberapa hadits.

Keterangan dari Bibel dan hadits-hadits mengilhami para exegesist, mufassir, penyair, dan novelis menerbitkan berbagai karya. Karya-karya tersebut dapat mengalihkan pandangan bahwa seolah-olah manusia, terutama laki-laki, secara biologis adalah makhluk supernatural, terlepas sama sekali dengan makhluk biologis lainnya, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan. Tidak heran kalau Darwin dengan teori evolusinya dianggap “murtad” di kalangan kaum agamawan, karena mengembangkan faham yang bertentangan dengan teks Kitab Suci.

1. Hawa dan Lillith

Ada informasi menarik dalam literatur Yahudi bahwa Hawwa (Eva) adalah pasangan kedua (the second wive). Pasangan pertama Adam ialah Lillith.113 Ia diciptakan dari tanah bersama-sama dengan Adam dalam waktu bersamaan. Lillith tidak mau menjadi pelayan (helper) Adam lalu ia meninggalkan Adam. Adam kemudian merasa sepi di sorga lalu Tuhan menciptakan pasangan barunya, Hawa dari tulang rusuknya sebagai pelayan baru (the new helper).114

Makhluk misterius Lillith juga dihubungkan dengan salah satu pasal dalam Kitab Perjanjian Lama (Issalah/34:14).115

Dalam literatur klasik Islam, Lillith atau nama-nama lainnya tidak pernah dikenal. Dalam hadits hanya dikenal nama Hawa sebagai satu-satunya isteri Adam. Dari pasangan Adam dan Hawa lahir beberapa putra-putri yang kemudian dikawinkan secara silang. Dari pasangan-pasangan baru inilah populasi manusia menjadi berkembang.

Dalam al-Qur’an memang diisyaratkan kemungkinan adanya makhluk sebangsa manusia pra Adam, sebagaimana yang akan diuraikan nanti, tetapi makhluk itu tidak dihubungkan dengan pribadi Adam, melainkan Adam sebagai species manusia. Lagi pula, kalau makhluk yang bernama Lillith itu diciptakan untuk menjadi pelayan Adam lalu menolak untuk menjalankan tugasnya, berarti ada makhluk pembangkang lain selain Iblis. Padahal dikenal sebagai pembangkang selama ini hanya Iblis.

Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174