Kelas Menengah, Baru Sebatas Jumlah

Kelas Menengah, Baru Sebatas Jumlah

KOMPAS,14 Januari 2011

Ninuk M Pambudy Seandainya pertunjukan ”Musikal Laskar Pelangi”, 17 Desember 2010 hingga 9 Januari 2011, di Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki, Jakarta, bisa menjadi indikator kelas menengah Indonesia, gambar yang terpampang adalah optimisme. Tiket pertunjukan musikal berdurasi tiga jam itu terjual habis. Penonton berlaku tertib saat antre masuk ataupun keluar dan selama pertunjukan. Sesekali terdengar tawa menyambut dialog pemain, tetapi tidak teriakan. Pertunjukan musikal masih langka digelar di Indonesia. Toh, penonton membayar karcis tak murah pada ”Musikal Laskar Pelangi”, dari Rp 100.000 untuk kelas 3 hingga Rp 750.000 untuk kelas VVIP. Melihat harga tiket, jenis pertunjukan, dan penuhnya tempat parkir oleh mobil pribadi, inilah gambaran terkini kelas menengah Indonesia.

Di sisi lain, rencana Menkominfo memblokir layanan pencarian internet BlackBerry jika produsennya, Research in Motion, tidak menutup situs-situs pornografi mengundang komentar ramai di media sosial, seperti Facebook dan Twitter. Diskusinya lebih riuh daripada pernyataan tokoh agama yang menagih kejujuran pemerintah dalam penanganan beragam persoalan dasar bangsa.

Siapakah kelas menengah?

Ir Sutarum Wiryono, MSc (50), officer bidang pendidikan di Bank Pembangunan Asia (ADB) di Jakarta, misalnya, mengaku belum tertarik pada politik meski pernah ditawari mencalonkan diri menjadi wakil bupati di Yogyakarta. Dia lebih tertarik aktif di masjid dan ikut menyumbang pada kegiatan ekonomi di situ selain aktif dalam kelompok kecil profesi. ”Ngapain cari penyakit (dengan masuk ke politik), nanti ujungnya masuk penjara,” kata dia. Perhatian pada masalah bangsa disalurkan melalui kerja profesionalnya dalam bidang pendidikan. ”Saya berbuat melalui sisi profesi, misalnya ikut membuat kajian dan standar pelayanan pendidikan,” tutur dia.

Kualitas Pemerintah mengklaim ekonomi RI sebagai terbesar ke-16 di dunia dan produk domestik bruto (PDB) 3.000 dollar AS per kapita. Tahun ini target pertumbuhan ekonomi 6,4 persen, lebih tinggi dari tahun 2010 yang 5,9 persen, meski dibayangi inflasi oleh harga pangan karena cuaca buruk dan bahan bakar minyak yang subsidinya dibatasi. Kajian ADB pertengahan 2010 juga menunjukkan bertambahnya jumlah kelas menengah di Asia. Ada banyak definisi kelas menengah. Anthony Giddens, misalnya, menyebut kelas menengah sebagai mereka yang karena pendidikan dan kualifikasi teknisnya dapat menjual tenaga serta pikirannya untuk mencari penghidupan yang hasilnya secara materi dan budaya jauh di atas buruh (Sociology, 2001). ADB dalam laporan pertengahan 2010 mengukur besarnya kelas menengah di Asia berdasarkan tingkat pengeluaran, 2-20 dollar AS per kapita per hari. Kelas menengah-bawah berpengeluaran 2-4 dollar AS (sekitar Rp 540.000-Rp 1,1 juta/orang/bulan atau Rp 2,16 juta-Rp 4,4 juta per keluarga dengan 4 anggota); kelas menengah-tengah 4-10 dollar AS (Rp 1,1 juta-Rp 2,7 juta/orang/bulan); dan kelas menengah-atas 10-20 dollar AS (Rp 2,7 juta-Rp 5,4 juta/orang/bulan).

Meski total kelas menengah Indonesia meningkat, dari 45 juta orang pada tahun 1999 menjadi 93 juta orang pada 2009, jumlah kelas menengah-bawahnya 74 persen. Kelas menengah-bawah ini rawan tergelincir jadi miskin kembali. Artinya, sebagian besar kelas menengah belum mampu menciptakan pembentukan modal yang juga penting untuk mengakses teknologi modern. Kelas menengah-tengah dan ataslah yang dapat hidup di atas garis subsisten, bahkan menabung dan membeli barang di luar kebutuhan dasar. Data ADB memperlihatkan, pembentukan modal Indonesia jauh di bawah China dan India sehingga dalam jangka panjang PDB kedua negara itu tetap tak terkejar negara ”pesaingnya” di Asia, termasuk Indonesia.

Kritis Jajak pendapat Litbang Kompas di 10 kota besar di Indonesia memperlihatkan, kelas menengah-bawah tidak tertarik membahas persoalan di tingkat kota/wilayah, apalagi nasional. Mereka juga tidak tertarik pada organisasi politik dan lebih memilih organisasi profesi atau keagamaan. Dr Yanuar Nugroho, pengajar di Manchester Business School, Inggris, yang meneliti media sosial dan kelas menengah di Indonesia, berpendapat, di Indonesia belum terbentuk kelas menengah sesungguhnya. Antara yang dicitakan dan yang dilakukan tidak berhubungan. Mereka percaya ide-ide demokrasi, tetapi tidak mau terlibat aktif dalam politik atau memengaruhi keputusan publik. ”Paling ramai di Facebook atau Twitter,” kata dia.

Direktur Eksekutif Econit Hendri Saparini berpendapat, di Indonesia yang pemerintahnya tidak memberi jaminan sosial untuk seluruh rakyatnya, ukuran 2 dollar AS/hari akan sangat tidak memadai untuk menjadi ukuran kelas menengah. Pengeluaran tingkat menengah-bawah yang sebetulnya berada dalam keadaan hampir miskin sebagian besar habis untuk pangan. Hendri melihat, yang masuk dalam kategori kelas menengah Indonesia adalah yang dalam data statistik bekerja dalam bidang jasa kemasyarakatan; bukan tak mungkin termasuk tukang reparasi di pinggir jalan dan tukang jahit keliling. Sistem pemilihan langsung kepala daerah dan presiden menurut Hendri juga menyumbang lahirnya ”kelas menengah”, selain karena program pemerintah seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat yang membagi-bagi uang pembangunan ke desa. Saat ini, menurut Yanuar, kelas menengah Indonesia lebih bersikap apolitis, tetapi mudah digerakkan sentimennya, terutama yang pengeluarannya 2 dollar AS/hari. Itu menjelaskan mengapa bertambahnya kelas menengah tak diikuti menurunnya perilaku kekerasan dan fundamentalis. ”Ini tak akan terjadi pada kelas menengah sesungguhnya. Mereka pasti melawan tindak kekerasan atau fundamentalisme karena itu membahayakan posisi ekonomi mereka,” kata Yanuar.

Membangun kelas menengah yang berkualitas adalah tantangan pemerintah saat ini, bukan sekadar membanggakan angka-angka kualitatif.

Beda Hadits dan Sunnah

Beda Hadits dan Sunnah

Orang sering menyamakan antara hadits dan sunnah,padahal 2 hal
ini berbeda.Nabi bersabda :”Aku tinggalkan diantara kalian 2
perkara yang kamu tidak sesat selama berpegang pada keduanya:
Kitab suci dan sunnah Rasul-Nya”.
Jadi yang disebut di atas bukan hadits tapi sunnah,lalu apa bedanya?

1. Sunnah
Pengertian sunnah lebih luas dari hadits termasuk hadits yang
shahih sekalipun.Sunnah adalah segala tindakan dan contoh yang
dilakukan Nabi dalam menerjemahkan ayat AQ dalam menghadapi
kasus-kasus ketika di masa hidup beliau dan ini jauh lebih
akurat dipelajari dari kitab tentang sejarah biografi Nabi
Muhammad seperti yang telah ditulis oleh Ibnu Ishaq (wafat 151
H) yang kemudian disunting oleh Ibnu Hisyam (wafat 219 H).
Tapi tentu saja kita tidak bisa mencontoh tindakan Nabi ini
bulat-bulat tanpa memahami konteks kejadiannya waktu itu,untuk
itulah memahami teladan Nabi juga harus paham sejarah,budaya
arab masa itu,bahasa arab,dan proses penerjemahan bahasa arab ke indonesia.
Akan banyak keanehan kalo kita meniru bulat-bulat sunnah Nabi
tanpa memahami prinsip besarnya,kalo memang harus niru bulat-bulat kenapa tidak
sekalian aja kita naik onta saja daripada mobil,kan mobil buatan orang non
muslim kan.

2. Hadits
Pengertian hadits kebanyakan ditujukan pada kitab hadits yang
ditulis oleh Al Bukhari dan Muslim yang kadang juga merujuk ke
kitab-kitab koleksi Ibnu Majah,Abu Dawud,Al Turmudzi dan Al
Nasa’i,dll.Pembukuan hadits baru dimulai di awal abad ke-2
Hijriah hingga pertengahan abad ke-3 Hijriah.
AL Bukhari membukukan hadits dengan metode yang dibuat oleh
Imam Syafii.Jarak penulisan yang panjang dari masa hidup Nabi
inilah yang membuat banyak kontroversi dalam isi hadits,tapi bukan berarti kita
lantas tidak mempercayai 100% sebuah
hadits,tapi alangkah lebih baiknya kita merujuk ke AQ dulu jika
ada hadits yang kontroversial,apakah sesuai dengan semangat
dasar AQ.Bahkan sampai sekarang pun kita tetap perlu meneliti hadits-hadits Nabi
tersebut dengan metode yang bisa jadi lebih canggih daripada Al Bukhari dan
ulama lain dengan sumber-sumber yang lebih lengkap karena perkembangan teknologi
dan ilmu pengetahuan.

(Disarikan dan ditulis kembali dengan harapan agar lebih mudah dipahami dari artikel Cak Nur berjudul : “Pergeseran Pengertian Sunnah ke Hadits: Implikasinya dalam Pengembangan Syari’ah”)

Iman dan Sikap Terbuka

Dalam Kitab Suci terbaca firman yang artinya kurang lebih demikian: ” …. Maka berilah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku. Yaitu mereka yang mendengarkan perkataan, kemudian mengikuti mana yang terbaik. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Alloh, dan mereka itulah orang-orang yang berakal budi ( “ulu al-albab” ) (QS. Al-Zumar/39:17).

Jadi dalam firman itu dijelaskan bahwa salah satu orang yang memperoleh petunjuk atau hidayah Alloh ialah bahwa ia suka belajar mendengarkan perkataan ( al-qawl )- yang kata al Razi dan al-Thabari dapat meliputi sabda-sabda Nabi dan firman Ilahi , serta pendapat sesama manusia, kemudian dia berusaha memahami apa yang dia dengar itu   dan mengikuti mana yang terbaik. Disebutkan pula dalam firman itu bahwa orang-orang yang berperilaku demikian itu orang-orang yang berakal budi.

Ajaran yang terkandung dalam firman itu sejalan dengan beberapa nilai yang lain, yang kesemuanya itu dapat disebut sebagai nilai keterbukaan. Nabi sendiri sebagai teladan kaum beriman, dipuji Alloh sebagai orang yang lapang dada, karena memang dijadikan demikian, seperti difirmankan dalam Alquran surat Al- Insyirah. Dan sejalan itu pula maka Alquran mengkritik orang-orang kafir yang salah satu ciri mereka ialah , jika mereka diingatkan akan suatu kebenaran, mereka berkata, hati kami telah tertutup, jadi tidak lagi sanggup mendengarkan sabda Alloh atau pendapat orang lain. Padahal yang terjadi ialah bahwa Alloh mengutuk mereka karena sikap mereka yang menolak kebernaran itu, sehingga mereka pun   memang sedikit sekali kemungkinan untuk beriman ( lihat QS.alBaqarah/2:88)

Semangat ajaran-ajaran kitab suci itu dipertegas lagi dengan firman Alloh, “Dan barang siapa Alloh menghendaki untuk diberikanNya hidayah, maka Dia lapangkan dada orang itu untuk ( atau karena ) islam; dan barang siapa Alloh menghendakinya sesat, maka Dia jadikan dada orang itu sempit dan sesak, seolah-olah naik ke langit” (QS.al-An’am/6:125). Oleh karena itu jelas sekali bahwa sikap terbuka adalah bagian dari pada iman. Sebab seseorang, seperti ternyata dari firman berkenaan dengan sikap kaum kafir tersebut diatas, tidak mungkin menerima kebenaran jika dia tidak terbuka. Karena itu difirmankan bahwa sikap tertutup, yang diibaratkan dada yang sempit dan sesak, adalah indikasi kesesatan.

Sedangkan sikap terbuka itu sendiri adalah bagian dari sikap”tahu diri”, yaitu tahu bahwa diri sendir mustahil mampu meliputi seluruh pengetahuan akan kebenaran. Sikap “tahu diri” dalam makna yang seluas-luasnya adalah kualitas pribadi yang amat terpuji, sehingga ada ungkapan  bijaksana bahwa ” Barang siapa yang tahu  dirinya maka dia akan tahu Tuhannya.” Artinya, kesadaran orang akan keterbatasan dirinya adalah akibat kesadarannya akan ketidak terbatasan dan kemutlakan Tuhan. Jadi tahu diri sebgai terbatas adalah isyarat tahu tentang Tuhan sebagai Yang Tak Terbatas, yang bersifat serba Maha.

Dalam tingkah laku nyata, “tahu diri” itulah yang membuat orang juga rendah hati       ( harap jangan dicampuraduk dengan “rendah diri”). Dan sikap rendah hati itu adalah permulaan adanya sikap jiwa yang suka menerima atau receptive terhadap kebenaran. Inilah pangkal iman dan jalan menuju Kebenaran.
Sumber : PINTU-PINTU MENUJU TUHAN karya Nurcholish Madjid

Kebebasan Nurani

Karena ada yang japri nanya maka  biar ga bingung argumen kebebasan nurani ini akan saya detilkan :

Argumen ini saya ambil dari buku PESAN PESAN TAKWA karya Nurcholish Madjid.

Argumen ini akan saya sederhanakan agar mudah dipahami dengan struktur logika sbb:

  1. Sunnatullah bahwa manusia itu plural,memiliki potensi dan peran beraneka ragam sesuai karunia Allah sebagai hak preogatifnya

Hal ini didukung dengan ayat-ayat sbb :

“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri)yang ia menghadap kepadanya.Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan.Dimana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat).Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Q 2:148)

“Dan setiap kelompok itu telah kami ciptakan untuk mereka itu jalan menuju kebenaran dan metoda” (Q 5:48)

“Setiap orang itu dibuat mudah untuk melakukan sesuatu yang diciptakan untuk dia” (HR Bukhari)

Ayat-ayat di atas mengindikasikan ttg adanya pluralitas dalam kehidupan manusia baik itu pluralitas berdasarkan agama,suku bangsa,potensi diri.Dan masih ada ayat yang lain yang berisi semacam itu.

  1. Jalan menuju Tuhan itu BANYAK sesuai dengan peran manusia di dunia

Bukti ayatnya ada di AQ di :

Pada ayat 48 Surat AL Maidah di atas kata al-khayrat dalam kalimat fastabiq-u `l-khayrat berbentuk jamak,ini menunjukkan kebaikan tidak hanya satu,begitu pula jalan menuju Tuhan tidak hanya satu tapi BANYAK karena itu disebut subul-un seperti pada ayat berikut :

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridlaan) Kami,benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (Q 29:69)

Dan juga pada ayat ini :

“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridlaanNya ke jalan keselamatan dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orag-orang itudari gelap gulita kepada cahaya terang benderan dengan seizinNya dan menunjuki mereka jalan yang lurus (Q 5:16)

Kata yang digunakan Allah di atas adalah subul-u `l-salam bukan subil-u `l-salam,bukan dengan bentuk tunggal tapi bentuk jamak.

Dengan kenyataan di atas oleh karena itu kita harus menghormati kebebasan nurani setiap orang untuk memilih segala sesuatu berdasarkan nuraninya mengenai pahamnya….karena apa?

Karena eh karena :

    1. Peranggungjawaban manusia di akhirat adalah pertanggungjawaban individu

Ini ditunjukkan di AQ dengan bunyi :

“Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu,dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafaat yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan diantara kamu.Sungguh telah terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah)” (Q 6:94)

    1. Perintah Allah utk mengajak orang ke Jalan Allah dg tanpa paksaan

Argumentasi ayatnya ada di :

“Maka berilah peringatan,karena sesugguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka” (Q 88:21-22)

Suatu ketika Rasulullah saw pernah tergoda untuk menggunakan kekuasaannya yang sudah di tangannya untuk lebih keras memaksa orang mengikuti beliau yang kemudian diikuti dengan turunnya firman Allah :

“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki,tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya.Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”(Q 10:99)

Dengan sendirinya manusia harus menanggung resiko masing-masing,itulah kenapa ada ayat yang sangat terkenal :

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam),sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah,maka sesungguhnya ia berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q 2:256)

Dengan ayat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia dipercaya Tuhan untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk.

Satu hal lagi yang menarik dari ayat di atas adalah penyebutan taghut (tirani) yang dilawankan dengan iman kepada Allah.Jadi bisa aja disimpulkan sikap tirani adalah sama dengan bagian dari kekafiran kan.

Meredefinisi Hubungan Agama dan Negara

MEREDEFINISI HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA
Masdar F. Mas’udi

Seperti diketahui, dinamika hubungan agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam sejarah peradaban/kebiadaban umat manusia. Di samping dapat melahirkan kemajuan besar, hubungan antara keduanya juga telah menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada bedanya, baik ketika negara bertahta di atas agama (pra abad pertengahan), ketika negara di bawah agama (di abad pertengahan) atau ketika negara terpisah dari agama (pasca abad pertengahan, atau di abad modern sekarang ini).

Pola hubungan ronde pertama dan kedua sudah lewat. Bahwa masih ada sisa sisa masa lalu, dalam urusan apa pun termasuk hubungan negara agama, bisa terjadi. Tapi, sekurang kurangnya secara teori, kini kita telah merasa cocok di ronde ketiga, ronde sekular, di mana agama dan negara harus terpisah, dengan wilayah jurisdiksinya masing masing. Agama untuk urusan pribadi, negara untuk urusan publik.

Sejauh ini kita beranggapan hubungan sekularistik untuk agama negara merupakan opsi yang terbaik. Dalam pola hubungan ini, agama tidak lagi bisa memperalat negara untuk melakukan kedzaliman atas nama Tuhan; demikian pula negara tidak lagi bisa memperalat agama untuk kepentingan penguasa.

Tapi apakah persoalan hubungan agama-negara sesederhana itu? Bahwa pola hubungan sekularistik pada mulanya merupakan “wisdom” yang didapat oleh masyarakat Barat dari sejarah panjang hubungan raja dan gereja, kiranya jelas. Bagi umat Islam sendiri, Barat atau Timur sesungguhnya bukan merupakan kategori benar salah atau baik buruk. Barat bisa benar, Timur bisa salah; tapi juga bisa sebaliknya. “Kebaikan bukan soal Barat atau di Timur, melainkan soal ketakwaan” (Q: Al Baqarah/176).

Tapi memang, sejak gagasan sekularisme ini didakwahkan ke Timur, umat Islam menjadi terbelah antara yang menerima dan yang menolak. Yang menolak umumnya karena kecurigaan terhadap apa saja yang datang dari Barat. Tanpa mencoba mengerti kesulitan masyarakat Barat sendiri selama bera¬bad abad dalam menata hubungan agama negara, mereka mencurigai sekularisme sebagai gagasan untuk memarjinalkan Islam dari kehidupan nyata.

Sementara itu, kelompok yang menerima berargumen bahwa seperti umumnya agama, Islam pun terbatas jangkaunnya pada urusan pribadi. Jika ia ditarik ke ruang publik (negara) akan membawa petaka seperti yang pernah terjadi di Barat. Sekularisme adalah pilihan terbaik jika kita ingin membiarkan negara dan agama dalam kewajarannya. Biarlah mereka mengurus tugasnya masing-masing; agama di wilayah privat, negara untuk wilayah publik.

***

Mencoba memahami konteks sekularisme di Barat dan konteks Islam di Timur mungkin dapat membantu kita keluar dari cara pikir dokotomis yang naif. Pertama, dalam konteks Barat sekularisme adalah modus penyelesaian konflik antara otoritas lembaga negara di satu pihak versus otoritas lembaga agama dalam tubuh Gereja di lain pihak. Dalam Islam, otoritas keagamaan seperti gereja, lebih lebih gereja abad per¬tengahan yang monolitik dan sentralistik, tidak diketemukan.

Bukan tidak ada otoritas sama sekali, akan tetapi dalam mainstream Islam otoritas itu terdesentrali¬sasi sedemikian rupa pada pribadi pribadi tokoh (ulama) atau pada organisasi-organisasi keagamaan yang satu sama lain bisa berbeda fatwa atau bahkan saling menolak. Oleh sebab itu tidak pernah bisa dikatakan bahwa ada satu masa dalam sejarah Islam dimana negara (sultan) sepenuhnya berhadapan dengan otoritas agama (ulama); Juga tidak pernah terjadi sebaliknya, otoritas agama sepenuhnya ditaklukkan oleh otoritas negara.

Kedua, dalam konteks Barat abad pertengahan, sekularisme yang berkonotasi menghukum otoritas agama dan mengurungnya di ruang privat, memang beralasan. Pada waktu itu, agama (baca: Gere¬ja) telah menjadi instrumen dominatif bagi elite politik maupun ekonomi untuk mempertahankan previlagenya. Pada saat yang sama, agama telah kehilangan watak profetiknya sebagai pembela masyarakat, khususnya petani dan buruh yang tertindas.

Jujur saja, dosa-dosa agama (gereja) yang terjadi di Barat tersebut juga terdapat dalam Islam. Akan tetapi ada beberapa hal penting yang membedakan. Dalam Islam, seperti dikatakan di atas, tidak ada otoritas tunggal yang telah memainkan dosa dosa itu secara utuh dan terpusat. Pada saat seba¬gian ulama Islam berkolusi dengan penguasa, mayoritas ulama tetap setia hidup di tengah tengah dan bersama rakyat. Di antara mereka ada yang sekadar apatis (uzlah) dari politik kekuasaan, sebagian terus melancarkan kritik, bahkan beberapa dengan tinda¬kan, gerakan.

Ketiga, dalam konteks kelahiran negara modern, ada juga fakta yang tidak boleh dilupakan. Di Barat negara modern lahir dari atau bebarengan dengan gerakan pemakzulan terhadap otoritas agama (gereja). Di Timur, di dunia Islam termasuk Indone¬sia, negara modern lahir justru dari semangat heroisme keagamaan (kesyahidan) untuk memerdekaan bangsanya dari tirani penjajahan, yang nota bene adalah Barat.

Itulah sebabnya hubungan agama negara dalam abad modern di Timur umumnya dan di dunia Islam khususnya, tidak bisa begitu saja diacukan kepada pengalaman Barat dan dipecahkan dengan resep Barat, sekularisme itu. Tapi jangan salah. Dengan mengatakan begitu bukan berarti sekularisme musti kita tolak mentah dan kita kembali ke teokratisme, seperti usul kaum revivalis-fundamentalis. Kita tahu bahwa dalam teokratisme, secara formal negara ditaklukkan pada kepentingan agama, padahal kenyataannya ia ditaklukkan pada kepentingan elitenya belaka.

Dengan demikian, mematrik negara hanya dalam kolom sekularis atau teokratis, kiranya terlalu menyederhanakan masalah. Lebih-lebih dalam konteks Islam, hubungan agama negara terlalu komopleks untuk dilihat secara hitam putih begitu saja. Disamping karena faktor kesejarahan yang berbeda dengan Barat, dalam konteks ajaran (normatif) mengkotakkan agama hanya pada ruang privat dan negara pada urusan publik juga mengandung mafsadah tersendiri.

Bahkan di Barat pun sekularisme yang secara ketat memenjarakan agama di ruang privat sudah dikritik. Sikap cuci tangan agama terhadap derita kemanusiaan yang terjadi di ruang publik akibat kesewenang-wenangan negara (state) secara moral jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan. Telah muncul opsi baru yang oleh Jose Casanova disebut deprivatisasi agama. Gerakan teologi pembebasan di Amerika Latin maupun Political Theology di Eropa bagaimana pun merupakan refleksi dari kritik tersebut.

***

Jika di Barat sendiri sekularisme mulai dipersoalkan, maka bagaimana dalam Islam? Dari struktur internal ajaran Islam kita bisa membuat pemilahan beberapa tingkatan yang berimplikasi pada pola hubungan agama-negara yang berbeda.

Pertama, ajaran yang bersifat privat, semisal soal keyakinan (akidah) kepada Allah, malaikat, takdir dan hari akhir. Keyaki¬nan keyakinan seperti ini adalah perkara yang benar benar pribadi; apa yang diyakini sesama muslim tentang Tuhan atau hari akhir, misalnya, tidak mungkin bisa diseragamkan antara satu orang dengan yang lain. Dalam hal ini negara bukan saja tidak punya kewenangan untuk mengintervensi, bahkan tidak punya kemampuan apa pun untuk menjangkaunya.

Kedua, ajaran keagamaan yang bersifat komunal-keumatan seperti soal-soal peribadatan (doa, salat, pusa, haji dan yang terkait dengannya). Masuk dalam kategori ini adalah hukum agama tentang keluarga (al ahwal al syahsiyat). Dengan dalih apa pun, negara tidak borhak mengerahkan polisi untuk, misalnya, memaksa seseorang menjalankan salat atau puasa. Bahkan intervensi negara atau pemerintah yang selama ini terjadi dalam urusan penyeragaman hari raya atau soal keabsahan suatu perni¬kahan, adalah salah kaprah yang perlu segera diakhiri.

Ketiga, ajaran keagaman (Islam) yang bersifat publik, misalnya ajaran ajaran Islam tentang muamalat (etika perdata), jinayat (pidana) dan siyasah (etika mengelola kekuasaan dan kekayaan negara). Pada tingkat ajaran kategori inilah terbuka proses pengkayaan (enrichment) dan substansiasi hukum agama terhadap hukum negara.

Tidak bisa dikatakan bahwa dalam negara kebangsaan hukum agama haram ikut memperkaya bangunan hukum publik dari negara yang bersangkutan. Jangankah hukum agama yang dianut oleh masyarakat di negeri itu; hukum warisan penjajah yang telah memeras kita ratusan tahun dan kita usir dengan darah para syuhada pun bisa diusung menjadi hukum di negeri kita.

Akan tetapi kita semua harus menyadari bahwa sesuci dan sekuat apa pun tawaran-tawaran hukum (syariat) keagamaan tersebut tidak dapat diberlakukan begitu saja sebagai hukum positif. Dalam konteks negara kebangsaan hukum agama, termasuk yang dianut oleh mayoritas sekalipun, baru merupakan bahan mentah (row material) seperti halnya hukum adat (adat manapun) atau hukum hukum yang dicomot dari bangsa lain.

Untuk bisa menjadi bagian dari hukum publik, maka hukum-hukum tersbut harus memenuhi dua syarat. Pertama, syarat substansial menyangkut isi hukum yang harus beroreintasi pada kepentingan publik, bukan hanya kepentingan kelompok tertentu. Kedua, syarat prosedural artinya hukum itu dapat meyakinkan nalar publik untuk diterima melalui prosedur penetapan hukum secara demokratis yang juga disepakati oleh publik. Hukum apapun yang memenuhi kedua syarat ini berhak mengisi bangunan hukum positif dan perundang-undangan suatau negara. Tidak terkecuali hukum yang berbasis agama.

Bahkan untuk negara modern yang kini telah menjadi semakin repressif, koruptif, ekploitatif dan tidak perduli dengan nasib masyarakat lemah, maka kontribusi agama-agama dengan kekayaan nilai-nilai etik dan moralnya sangatlah diperlukan. Kita butuh sekali kontribusi etika sosial Kristiani dengan basis kasih-nya terutama bagi mereka yang terpinggirkan. Kita butuh sentuhan etika Hinduisme dengan semangat ahimsa (non-violence)-nya; etika Budhis dengan etos kesederhanaannya; dan etika Islam dengan spirit keadilan-nya. Juga dari agama-agama lain

Oleh sebab itu, tidak ada manfaat apa pun bagi umat Islam untuk meributkan nasib 7 kata yang terbuang, kecuali sekedar untuk trik-trik politik belaka. Jika memang sungguh-sungguh ingin memberikan kontribusi kepada negara yakinkanlah nalar publik bangsa ini bahwa syariat agama yang mereka yakini dapat lebih menjamin pemenuhan hak dan kemaslahatan rakyat banyak, apa pun agama, suku, etniknya; bukan hanya untuk kepentingan kelompok sendiri semata. *

Masdar F. Mas’udi
Katib Syuriah PBNU

PKS, DARI DAKWAH KE POLITIK

PKS, DARI DAKWAH KE POLITIK *)

 

Oleh Irfan Mohamad**)

Fenemona munculnya PK (Partai Keadilan) pada 1998 yang berganti nama menjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) pada 2004 adalah peristiwa unik dan menarik berhubung telah memberikan warna dan harapan baru bagi pergerakan Islam politik di Indonesia. Bahkan cendekiawan (alm) Nurcholish Madjid mendukung keberadaan PKS dan berharap bahwa PKS adalah partai masa depan. Untuk mendapatkan gambaran analitik tentang PKS dilihat dari perspektif teori gerakan sosial, diacu 3 pendekatan sintetiknya yaitu (1) Struktur kesempatan dan hambatan politik yang dihadapi para resurgen (2) Bentuk-bentuk organisasi (formal maupun) tidak formal yang tersedia bagi resurgen dan (3) Proses framing, yaitu proses kolektif menafsirkan, mengatribusikan, dan kontruksi sosial yang memerantarai aksi. Berikut ini disajikan 3 pendekatan itu secara interaktif dan integratif.

Pertama-tama yang perlu diketahui bahwa PKS lahir dari gerakan Tarbiyah. Gerakan Tarbiyah sendiri awalnya lebih berfokus sebagai gerakan dakwah yang muncul di awal 1980-an di era Orde Baru. Gerakan Tarbiyah bisa difahami sebagai alternatif dari berbagai gerakan Islam saat itu. Untuk memahami dimana letak PKS dalam peta gerakan Islam lain maka setting politik saat itu perlu dicermati. Disini perlu diingat bahwa penguasa (Orde Baru) saat itu melakukan represi (hambatan) terhadap aktivitas Islam politik. Islam politik adalah kecenderungan (sebagian) muslim yang aktif di sektor politik dengan membawa aspirasi agamanya.

Karena represi itulah timbul perlawanan dari kalangan Islam politik tersebut yang dipicu beberapa sebab. Sebab atau motif tersebut dapat dikategorikan dalam beberapa motif utama seperti (1) Aspirasi pendirian negara Islam, (2) Kekecewaan politik dan (3) Anti Azas Tunggal Pancasila. Tiga persoalan utama tersebut pada akhirnya membuat sebagian dari umat Islam mengalami penindasan dan tekanan politik yang kuat. Bahkan semua bentuk aktifitas Islam politik selalu mendapatkan hambatan politik dari pemerintah Orba.

Aspirasi mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) adalah gerakan yang secara frontal menentang pemerintahan Republik Indonesia. Gerakan NII juga biasa disebut Darul Islam (DI) ini mendirikan NII yang dipimpin oleh Imam Kartosuwiryo di Jawa Barat tahun 1949. Mempelajari dinamika gerakan ini bukanlah hal mudah karena melibatkan berbagai variabel yang saling mempengaruhi, baik dari organisasi itu sendiri maupun pemerintah.

Pemerintah Indonesia secara resmi berhasil menghancurkan DI dan menghukum mati pemimpinnya, Kartosuwiryo. Kemudian hampir semua jajaran DI telah mendatangi pernyataan bersama untuk setia kepada Republik Indonesia pada tanggal 1 Agustus 1962. Tetapi bukan berarti gerakan ini telah hancur dan tidak berkembang. Salah satu satu tokoh berpengaruh DI yang dianggap masih setia terhadap perjuangan DI adalah Abdul Fatah Wirananggapati (wafat 2004), salah satu seorang anggota Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi (KUKT) yang secara de facto dapat menggantikan posisi imam apabila presiden NII (yakni Kartosuwiryo) itu tidak ada. Dia dianggap masih setia terhadap perjuangan DI karena tidak menyerah kepada pemerintah untuk menandatangani pernyataan kesetiaan. Karenanya setelah dibebaskan dari tahanan, ia mencoba mengkonsolidasikan kekuatan DI walaupun hanya sebagai kelompok pecahan.

Kelompok-kelompok yang menganggap memiliki keterkaitan dengan perjuangan DI memang telah terpecah-pecah dalam berbagai kepemimpinan. Diantara mereka ada yang memang secara ideologis meneruskan perjuangan DI, tetapi ada yang sekedar rekayasa dan bentukan intelijen pada saat itu. Aktivitas DI/NII adakalanya berkaitan dengan beberapa tindakan kekerasan di Indonesia, tapi bukan berarti semua kelompok NII mendukung aksi kekerasan. oleh Hanya saja karena mereka dianggap memperjuangkan sebuah cita-cita yang membahayakan keberlangsungan negara Republik Indonesia, akhirnya semuanya ikut dihancurkan. Karena secara mendasar, persoalan negara Indonesia bagi NII adalah karena Indonesia bukan negara Islam, sehingga untuk menyelesaikan persoalan itu harus dijadikan negara Islam. Akibatnya, mereka ini terus diburu oleh pemerintah dan dihancurkan sampai akar-akarnya.

Dalam perkembangannya salah satu pecahan DI/NII di bawah kepemimpinan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir belakangan menjelma atau bergabung menjadi JI (Jamaah Islamiyah). JI dianggap lebih mewakili Islam berhubung sifatnya yang universal (internasional) sedangkan DI/NII hanya untuk wilayah indonesia. Kiprah JI dari segi kecenderungan pada kekerasan dapat dipilah dua, yang dekat dengan kekerasan/terorisme dan yang jauh dari kekerasan. JI yang dekat dengan kekerasan melakukan aksi-aksi teror belakangan ini. Penangkapan para teroris dari kalangan JI seperti Imam Samudra, dan kawan-kawan belakangan ini adalah bagian JI yang dekat dengan kekerasan.

Pada segmen yang lain, sebagian umat Islam Indonesia pun mengalami kekecewaan terhadap rezim Orba dan kemudian melakukan oposisi atau perlawanan. Perlawanan itu bermula dari kekecewaan mereka terhadap pembubaran partai Masyumi oleh Presiden Soekarno. Setelah rezim itu digantikan oleh Soeharto, Masyumi tidak juga direhabilitasi. Bahkan pemerintah pada waktu itu sengaja menghalang-halangi kembalinya tokoh-tokoh Masyumi tampil di pentas politik. Ditambah keterlibatan mereka mendukung gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958-1961, membuat kelompok militer semakin membenci pendukung Masyumi.

Akibatnya, sikap pemerintah yang cenderung represif terhadap mantan aktifis-aktifis Masyumi telah menciptakan perasaan sakit hati mendalam bagi mereka. Hanya saja kekecewaan itu tidak disalurkan melalui kekerasan tetapi diekspresikan dengan kritik-kritik dan sikap oposisi. Bagi mereka, perubahan akan terjadi apabila ada perubahan kepemimpinan nasional. Sumber utama masalah menurut mereka adalah Soeharto. Oleh karena itu, kritik-kritik mereka utamanya ditujukan kepada rezim Soeharto untuk melemahkan kedudukannya di mata rakyat Indonesia.

Mirip dengan nasib para pendukung ideologi DI, aktifis dari keluarga Masyumi (Bulan Bintang) ini pun mendapatkan perlakuan keras dari pemerintah. Oleh karena itu, khutbah-khutbah yang mereka sampaikan, misalnya, banyak berisi kritik dan hujatan keras kepada pemerintah. Akibatnya, rezim Soeharto pun tidak segan-segan untuk menekan jaringan Masyumi ini. Bahkan pada akhirnya, banyak dari aktifis-aktifisnya yang dipenjara tanpa proses peradilan.

Pada saat yang hampir sama, kebijakan pemerintah dalam memaksakan penerapan Azas Tunggal Pancasila pada 1984 juga mengundang perlawanan di kalangan umat Islam. Perlawanan ini terutama dilakukan oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan antara lain organisasi Islam ekstra kampus, Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) dan Pelajar Islam Indonesia (PII). Dengan penerapan Azas Tunggal ini pemerintah memaksakan sebuah identitas kolektif, yaitu Pancasila sebagai satu-satunya identitas resmi yang harus dipakai oleh semua rakyat Indonesia. Konsekuensinya organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga yang ada harus mengadopsi kebijakan ini dan kemudian menghilangkan karakter khusus mereka. Kebijakan seperti ini tentu mengundang reaksi dan perlawanan dari umat Islam yang mengacu bahwa Islam itu adalah pedoman mereka di segala aspek hidup secara total.

Reaksi pemerintah terhadap penolakan Azas Tunggal sangat tegas. PII sendiri akhirnya dinyatakan sebagai organisasi terlarang tahun 1987 dan terpaksa harus menjalankan aktifitas-aktifitasnya secara sembunyi-sembunyi. Sementara HMI MPO walaupun sejak awal tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah tetap bisa menjalankan aktifitasnya, tetapi selalu dalam pengawasan dan tekanan pihak berwajib.

Perjuangan model DI maupun perlawanan-perlawanan yang dilakukan sebagai umat Islam, yang disebabkan oleh kekecewaan politik maupun penentangan Azas Tunggal ternyata semuanya “gagal”. Pemerintah tetap kuat bahkan terus berusaha menghancurkan tiap potensi oposisi yang dianggap mengancam keberadaannya. Sedangkan kelompok-kelompok Islam mainstream seperti NU dan Muhammadiyah, dianggap terlalu tunduk pada keinginan pemerintah.

Mencermati “kegagalan” itulah maka sekelompok orang melahirkan model baru sebagai upaya menyelesaikan problematika umat Islam dengan pola yang lebih terstruktur. Sekelompok orang tersebut adalah kebanyakan alumni beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam di Timur Tengah. Mereka melahirkan model Tarbiyah tersebut dari inspirasi atau hasil interaksi mereka dengan gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang juga menyebar sampai semenanjung Arabia.

Lahirnya model baru gerakan itu yang ternyata mendapat sambutan besar terutama di kalangan mahasiswa. Pendekatan ini kemudian juga menarik banyak pihak dalam menyalurkan kekecewaan terhadap pemerintah secara lebih konstruktif. Logikanya, pemerintah tidak mungkin dilawan dengan kekerasan tetapi harus dipengaruhi melalui dakwah yang bertahap. Disinilah muncul model Gerakan Tarbiyah yang menjadi salah satu alternatif yang baru diantara kebekuan sarana dan aktivitas berbagai gerakan dan organisasi Islam yang ada pada waktu itu.

Gerakan Tarbiyah melakukan strategi menarik diri dari hiruk-pikuk politik dan menggantinya dengan kajian-kajian Islam yang fokus pada pendalaman ajaran-ajaran Islam yang praktis pun mulai diminati kalangan mahasiswa di kampus-kampus. Energi yang dulunya dihabiskan untuk melawan dan menghujat pemerintah pun mulai diarahkan untuk mendalami Islam. Kondisi semacam ini terjadi hampir merata di berbagai kampus negeri di Indonesia.

Model Gerakan Tarbiyah ini dirancang terstruktrur (terorganisasi), berjenjang secara rapih. Rekrutmen anggota amat selektif untuk dibina menjadi kader potensial. Disana dilakukan pembinaan berupa pertemuan/pengajian mingguan, training berkala, diskusi buku, tugas-tugas hafalan ayat, bermalam bersama, wirausaha, silaturahmi tokoh, dan sebagainya. Pengorganisasian dan pembentukan faham Gerakan Tarbiyah mengacu pada apa yang pernah dilakukan organisasi Ikhwanul Muslimin, Mesir.

Hanya perlu dicatat kelompok Tarbiyah ini lebih condong pada sayap moderat Ikhwan. Biasanya yang jadi rujukan adalah pemikiran Hasan Al Banna, Ismail Hasan Hudhaibi, dan Yusuf Qardhawy. Buku Hudhaibi “Kami Mengajak Dan Bukan Menghakimi”, serta buku Qardhawy “Islam Ekstrim” menjadi rujukan setelah buku-buku Al Banna. Para elit Tarbiyah dalam pengajian-pengajian internalnya adakalanya menegaskan bahwa gerakan Tarbiyah bukanlah jamaah al muslimin, melainkan jamaah minal muslimin, penegasan itu untuk merupakan kesadaran mereka bahwa gerakan Tarbiyah bukanlah jamaah satu-satunya kaum muslimin karenanya tidak berhak mengklaim (merasa) mutlak benar. Kesadaran ini sesungguhnya mirip dengan konsep relatifisme internal yang digagas Nurcholish Madjid.

Momen keterbukaan politik yang diawali sejak dekade 1990-an telah menjadikan dakwah model Tarbiyah ini semakin luas. Keterbukaan poltik yang diawali pemerintah ini, ditambah dengan kecenderungannya mengakomodasi kepentingan umat Islam telah membawa angin segar bagi dakwah-dakwah di kampus. Kelompok- kelompok yang berlawanan dengan pemerintah, baik itu karena kekecewaan politik maupun anti Azas Tunggal mulai terakomodasi di ICMI. ICMI dipergunakan sebagai menjadi sarana merubah (baca : “islamisasi”) dari dalam. Di tingkat kampus, kebijakan pemerintah ini berimbas dengan semakin mudahnya penyelenggaraan kegiatan-kegiatan dan training-training keislaman yang dulunya sering dihambat dan diawasi secara ketat. Bahkan kegiatanya yang diselenggarakan oleh HMI MPO pun tidak lagi dihalang-halangi walaupun tetap tidak diijinkan memasang spanduk organisasi dalam setiap kegiatan.

Dukungan pemerintah pun semakin akomodatif terhadap kegiatan-kegiatan keislaman. Pada tahun 1993 secara resmi presiden Soeharto mencanangkan program Pesantren Kilat (Sanlat) untuk diselenggarakan di seluruh Indonesia dan mendapatkan dukungan penuh dari pejabat-pejabat di daerah-daerah. Tentu saja, keinginan baik pemerintah dalam mengakomodasi kepentingan umat Islam tidak serta merta dilihat sebagai perubahan sikap rezim terhadap umat Islam. Paling tidak ada dua sebab terjadinya kebijakan akomodasi di era 1990-an ini. Pertama, Soeharto memiliki agenda sendiri untuk melanggengkan kekuasaannya karena kekuatan ABRI tidak sepenuhnya bisa dikendalikan. Kedua, kebijakan ini merupakan desakan secara alamiah karena semakin menguatnya posisi umat Islam dalam pemerintahan dan sektor profesional lainnya akibat dari keberhasilan santrinisasi di tingkat kelas menengah ke atas.

Khusus bagi Gerakan Tarbiyah, era keterbukaan ini membawa berkah yang luar biasa untuk ekspansi gerakan di kampus-kampus. Pola penarikan diri yang dimulai pertengahan era 1980-an tidak lagi dilakukan. Sebaliknya, usaha-usaha untuk kembali berpartisipasi dalam dinamika politik dan sosial Indonesia semakin terbuka. Aktifis-aktifis gerakan ini pun mulai meluaskan sayap-sayap dengan menguasai puncak kepemimpinan organisasi senat mahasiswa. Satu persatu organisasi eksekutif mahasiswa pun dikuasai oleh komunitas Tarbiyah ini. Di mulai dari Universitas Bandung (ITB) dan Universitas Gajah Mada (UGM), kemudian meluas sampai ke kampus-kampus lainnya di Jawa dan luar Jawa.

Bisa disimpulkan salah satu faktor bertahannya Gerakan Tarbiyah di era Orba adalah strategi perlawanan dari dalam. Represi rezim tidak perlu disikapi secara frontal tetapi dilawan melalui pembinaan diri. Gerakan-gerakan lain era 1970-an dan 1980-an banyak mengalami kegagalan dan bahkan dihancurkan oleh rezim Orba karena sifat perlawanannya radikal dan frontal. Aktifis-aktifis mereka dipenjara tanpa melalui proses pengadilan dan aktifis-aktifisnya diberangus. Sebaliknya, gerakan Tarbiyah dengan gaya perlawanan yang pasif justru tidak pernah mendapatkan penindasan secara langsung dari rezim. Ekspresi-ekspresi melawan pemerintah dan keinginan untuk menjatuhkan rezim dijauhkan dan kemudian diarahkan pada usaha-usaha untuk menjadi muslim yang baik melalui training-training moral dan mental. Sejak munculnya di Indonesia pertengahan 80-an hingga saat ini, para aktifis Gerakan Tarbiyah yang kini menempati jajaran-jajaran elit PK(S) tidak ada yang pernah ditahan ataupun di penjara karena kasus subversi.

Perlawanan Gerakan Tarbiyah yang dilakukan dari dalam ini memiliki dua tujuan yaitu, melawan (diam-diam) hegemoni ideologi rezim dan konsolidasi gerakan. Dengan konsolidasi maka dilakukan pembinaan yang intensif, ketidaksetujuan terhadap hegemoni rezim dimanifestasikan dalam bentuk pendalaman prinsip-prinsip Islam pada diri para kader yang secara tidak langsung telah melemahkan kebijaksanaan Azas Tunggal itu tanpa harus menentang secara frontal. Bahkan pada isu-isu lain, para aktifis Gerakan Tarbiyah itu sengaja menghindari metode konfrontasi itu.

Pada sisi yang lain, pendekatan yang mengedepankan pembentukan dan penguatan diri dari dalam ini ternyata juga mampu meredam sifat-sifat konfrontatif dalam diri kader. Kemampuan Gerakan Tarbiyah dalam merekrut kader secara masif di kampus-kampus tidak hanya menambah jumlah kader dan simpatisan PKS saat ini, tetapi sebenarnya juga telah mengeliminasi berkembangnya gerakan-gerakan anti pemerintah yang keras, serta faham Islam yang ekstrim. Mereka kemudian diberi pemahaman tentang Islam dan dibimbing menuju peningkatan kualitas spiritual dan perilaku. Gerakan Tarbiyah diyakini pendukungnya sebagai model yang terbaik dalam meningkatkan pemahaman Islam dan mengubah perilaku mereka ke arah yang lebih Islami.

Bertahannya Gerakan Tarbiyah diantara himpitan dan tekanan politik yang begitu kuat pada masa yang panjang membuat beberapa kalangan mencurigai hubungan gerakan ini dengan rezim penguasa (termasuk dengan intelejen). Hal itu mungkin saja, tetapi secara faktual konsep dakwah model Tarbiyah yang bersifat non konfrontasi dan jauh dari isu-isu politik inilah yang lebih melindungi dan menjauhkan mereka dari tangan-tangan opresif pemerintah.

Demikian juga, banyak yang tidak memahami bahwa sebenarnya Gerakan Tarbiyah memiliki sistim imunitas yang begitu melembaga untuk menjauhkan kader-kader mereka dari aktivitas yang kontra produktif, seperti tindak kekerasan dari pecahan NII. Usaha untuk menjauhkan diri dari kelompok-kelompok beraliran keras bukanlah alasan. Hal ini dilakukan agar model islamisasi yang gradual dan mudah diterima oleh masyarakat tidak terhambat oleh tindakan-tindakan yang kontra produktif. Disamping itu gerakan Tarbiyah juga menolak model-model pelarian kearah faham sufisme (yang negatif).

Kesempatan untuk berpartisipasi langsung dalam kancah politik nasional menjadi terbuka setelah rezim Orba yang berkuasa 32 tahun dan tidak dilawan itu kemudian mengalami keruntuhan. Gerakan Tarbiyah sebagai gerakan yang awalnya lebih berfokus di bidang dakwah kini meluaskan diri ke politik. Bagi mereka nilai-nilai dakwah harus masuk mewarnai arena politik. Maka kesempatan di era reformasi ini, tepatnya tanggal 9 Agustus 1998, bertempat di halaman masjid Al Azhar, Kebayoran Baru, para pimpinan/elit gerakan Tarbiyah bersepakat dengan mendeklarasikan berdirinya Partai Keadilan (PK), PK adalah partai politik yang pertama mencantumkan Islam sebagai azas partainya. Pada 2004 PK kemudian berganti nama menjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) agar masih tetap dapat ikut pemilu.

What Next ?

Kehadiran PKS -bagi sebagian orang- telah memberi secercah harapan bagi rakyat Indonesia bahwa ada partai yang bermoral (bersih), anti korupsi, dan peduli pada rakyat. PKS juga dinilai mampu menumbuhkan kembali kepercayaan orang pada partai Islam. Indikatornya adalah meningkatnya jumlah konstituten mereka di Pemilu 2004 lalu. Kini masyarakat tidak lagi risih menyalurkan aspirasinya lewat partai Islam (seperti PKS), hal yang berbeda dengan era Orde Baru dimana partai yang condong ke Islam dianggap “haram”, serta kalangan Islam politik (seperti eks Masyumi) dimusuhi pemerintah.

Akan tetapi hal tersebut di atas tidak menjamin PKS akan berjalan mulus ke depan. Banyak pengamat politik yang masih mempertanyakan apa sebenarnya “jenis kelamin” PKS. Bergandengan dengan itu PKS perlu menjawab isu-isu seperti apa komitmen PKS terhadap sistem demokrasi, serta masalah penerapan syariat Islam dalam hubungannya dengan praksis politiknya. Jawaban tentu terpulang pada para elit/pimpinan PKS. Disini saran atau pertimbangan telah tersedia (seperti dari pemikiran Nurcholish Madjid) yang berpendapat Islam kompatibel dengan sistem demokrasi, serta masalah penerapan syariat Islam sekedar masalah simbol yang tidak perlu secara formal diperjuangkan. Dukungan dan kedekatan Nurcholish pada PKS dapat dibaca sebagai upaya sosialisasi pemikirannya. Masa depan PKS kiranya masih panjang, disini wawasan yang luas, sikap yang arif bijaksana dan moderat, mungkin perlu menjadi pertimbangan pilihan.

*) Makalah presentasi pembanding untuk Kursus “Teori Gerakan Sosial” di Paramadina, Jakarta, 23 Juni 2007, hasil ramuan beberapa bacaan disertai pengamatan lapangan

**) Penulis anggota KKA Paramadina sejak 1989, alumni S1 UIN Jakarta, dan S2 UHAMKA, Jakarta

KEKERASAN DALAM GERAKAN-GERAKAN ISLAM

Kursus ‘Islam and Civil Society’

KEKERASAN DALAM GERAKAN-GERAKAN ISLAM:

SEJARAH, DOKTRIN, DAN (PENGHANCURAN) PERADABAN

Mulai 23 Desember 2006 s/d 10 Maret 2007 (12 Pertemuan)

Waktu : Setiap Sabtu, Pukul 10.00-12.00

Tempat : Aula Mushalla Rahardja Paramadina

Pondok Indah Plaza I kav. UA 20-21

Jl. Metro Pondok Indah Jakarta Selatan.Tlp. (021) 7501969

Narasumber : Ihsan Ali Fauzi dan Samsu Rizal Panggabean

Pembuka KATA

Kursus ini ingin memperkenalkan sejarah, doktrin dan konteks global munculnya aksi-aksi kekerasan oleh beragam gerakan Islam. Penekanan pertama-tama akan diberikan kepada doktrin dan gerakan Wahhabisme, yang dikenal puritan dan ekstremis, yang pertamakali tumbuh di Semenanjung Arabia pada pertengahan abad kedelapanbelas, dan ekspansinya ke seluruh dunia Islam pada abad keduapuluh. Kemudian akan disajikan paparan dan analisis mengenai hubungan antara ekspansi Wahhabisme dan keterkaitannya dengan gerakan-gerakan Islamis. Selanjutnya, bagian ketiga kursus ini akan menyajikan konteks global tumbuhnya gerakan-gerakan Islam yang menghalalkan penggunaan cara-cara kekerasan: bagaimana hubungannya dengan Perang Dingin, keterkaitannya dengan aliansi antara pemerintahan Amerika Serikat dan Arab Saudi; upayanya untuk merumuskan kembali doktrin jihad; dan kaitannya dengan pertumbuhan gerakan terorisme global. Akhirnya, kursus ini akan ditutup dengan melihat jejak-langkah Wahhabisme di Indonesia dan refleksi mengenai alternatif-alternatifnya.

Berbagai bentuk kekerasan apa pun –yang terjadi di Indonesia dan dunia pada umumnya–adalah sesuatu yang tidak sehat bagi penguatan civil society. Sementara aransemen civil society berangkat dari pengakuan akan terdapatnya beragam kepentingan dalam masyarakat, pertumbuhan civil society yang kuat dan sehat mempersyaratkan disalurkannya kepentingan-kepentingan itu dengan cara-cara damai. Maka fenomena gerakan Islam yang menghalalkan penggunaan cara-cara kekerasan adalah tantangan berat bagi pertumbuhan civil society di mana pun. Hal ini perlu dimengerti secara baik, agar respons terhadapnya juga memadai, dan dunia yang beradab bisa dicoba-tegakkan.

Tujuan

Secara garis besar, tujuan kursus ini adalah untuk memperluas wawasan peserta mengenai akar-akar doktrinal dan empirik menguatnya kampanye penggunaan kekerasan oleh gerakan-gerakan Islam kontemporer, yang mengancam perkembangan civil society yang sehat dan kuat terutama di negeri-negeri Muslim.

Materi Kursus

Sesi 1: Pengantar Umum dan Sejarah Ringkas Tumbuhnya Wahhabisme

Sesi 2: Doktrin Wahhabisme dan Implikasi Sosial-Politiknya

Sesi 3: Ekspansi Wahhabisme, Pengaruh, dan Dampaknya di Dunia Islam

Sesi 4: Wahhabisme, Salafisme, dan Islamisme: Ketika Kekerasan Mulai Dibolehkan

Sesi 5: Aliansi yang Tak-Suci: Perang Dingin dan Kerjasama AS, Arab Saudi, Wahhabisme

Sesi 6: Pukulan Balik I: Menjelaskan Osama bin Laden

Sesi 8: Pukulan Balik II: Naik dan Jatuhnya Rezim Taliban

Sesi 9: Menafsirkan kembali Doktrin Jihad, Kekerasan, Terorisme

Sesi 10: Wahhabisme dan Islam di Indonesia

Sesi 11: Konteks lokal dan Global Radikalisme Islam di Indonesia

Sesi 12: Penutup: Seminar Wahhabisme dan alternatif-alternatifnya

Tenaga Pengajar

Kursus ini akan disampaikan oleh Ihsan Ali-Fauzi, mahasiswa pascasarjana ilmu politik Ohio State University dan staf peneliti Yayasan Paramadina dan Samsu Rizal Panggabean, Direktur Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada.

WAHHABISME SEBAGAI “ISLAM PURITAN”

Pointers Diskusi “Wahhabisme” Paramadina 2 (5 Januari 2007)

 

WAHHABISME SEBAGAI “ISLAM PURITAN”:

TENTANG IBN AL-WAHHAB, AJARAN WAHHABISME,

DAN AWAL PERSEKUTUANNYA DENGAN DINASTI IBN SAUD

Ihsan Ali-Fauzi

 

Nama dan Penyebutan: Wahhabisme dan Puritanisme Islam

 

Aliran Islam yang akan dibicarakan di bawah dikenal dengan beberapa nama: Wahhabiyah, al-Muwahhidun, Ahl al-Tawhid, Salafiyah, dan Islam Puritan.  Semua nama ini mengandung bias masing-masing.

 

·        Wahhabiyah, dari nama pendirinya, Muhammad ibn `abd al-Wahhab (netral?)

·        Al-Muwahhidun dan Ahl al-Tawhid (penyebutan-diri – kritik banyak orang)

·        Salafiyah (claiming – tidak semua Salafi setuju, “mengerdilkan” Salafiyah)

·        Sunni yang “keras” (penulis Barat – kritik Algar: 2-3; bukan bagian dari Aswaja, praktis “non-Syi`ah”)

·        “Islam Puritan” (Khaled Abou el-Fadl, 16-19): versus “Islam moderat.”  Alasan: “The distinguishing characteristic of this group is the absolutist and uncompromising nature of its beliefs.  In many ways, this orientation tends to be purist, in the sense that it is intolerant of competing points of view and considers pluralist realities to be a form of contamination of the unadultered truth” (p. 18).

 

Insert: Ibn `Abd al-Wahhab dan Ibn Taymiyyah (Algar)

Karena ketertarikan yang ditunjukkan Muhamad b. ‘Abd al-Wahhab pada karya-karya Ibn Taymiyah, Wahhabisme senantiasa diklaim mencerminkan kemunculan yang tertunda dari warisan Ibn Taymiyah.  Klaim ini sulit dipertahankan, kendati tidak lebih tidak beralasan daripada upaya untuk mengaitkan pendiri Wahhabisme dengan Syah Waliyullah.  Oleh sebab itu, bukan tanpa alasan jika Donald P. Little pernah menulis sebuah artikel berjudul “Apakah Ibn Taymiyah have a screw loose?”6  Namun demikian, apapun pendapat orang tentang posisi atau sikap Ibn Taymiyah, tidak diragukan bahwa ia adalah pemikir yang jauh lebih telaten dan teliti dan seorang sarjana yang jauh lebih produktif dibandingkan dengan Muhammad b. ‘Abd al-Wahhab.  Lebih dari itu, perbedaan kunci antara kedua orang ini adalah bahwa kendati Ibn Taymiyah menentang aspek-aspek tertentu Sufisme pada zamannya yang ia pandang keliru atau menyimpang, namun ia tidak menolak Sufisme secara keseluruhan.  Ia sendiri adalah pelopor tarikat Qadiriyyah.  Sebaliknya, Muhammad b. ‘Abd al-Wahhab menolak tasawuf secara lebih luas, akar maupun cabangnya, bukan hanya beberapa manifestasi tertentu dari tasawuf. Wahhabisme pada dasarnya adalah sebuah gerakan tanpa preseden. Gerakan ini lahir dari dunia antah-berantah, dalam arti bukan hanya muncul dari wilayah gersang Najad, tetapi juga tidak memiliki preseden yang penting dalam sejarah Islam.  (Algar, 9-10)

 

Muhamad Ibn `Abd al-Wahhab

 

Wahhabisme atau Wahhabiyah diambil dari Syeikh Muhammad ibn `Abd al-Wahhab (1703-1792), pendiri gerakan puritanisme keagamaan di Semenanjung Arabia yang pada akhirnya berujung pada pembentukan negara Islam Arab Saudi.  Ia dilahirkan pada tahun 1703 di Uyaina, sebuah kota yang sekarang ini sudah tidak ada lagi, di wilayah Najd, Arabia.  Ia memperoleh pendidikan agama, dan pernah belajar di Madinah.  Ia kemudian berkelana ke mana-mana, berkunjung dan belajar ke tempat-tempat seperti Syria, Irak, Kurdistan, dan Persia.  Ketika kembali ke Arabia, ia mulai mengajarkan bentuk Islam yang puritan, yang menyerukan kaum Muslim untuk kembali kepada dasar-dasar Islam seperti yang dikemukakan dalam al-Qur’an dan hadis, tentunya sebagaimana yang ia sendiri pahami dan tafsirkan.

 

Pada sekitar tahun 1777, ia tinggal di Dariyah, Arabia, dan di sana ibn al-Wahhab menjadi “pemimpin spiritual” keluarga besar Sa`ud.  Pada masa itu, klan Sa`ud adalah sebuah kelompok pembesar atau elite lokal yang sedang berusaha untuk memperluas pengaruh dan wewenang.  Wahhab lalu menandatangani semacam “perjanjian kerja sama” dengan Muhammad ibn Sa`ud, pemimpin klan di atas.  Ibn al-Wahhab dan pengikut-pengikutnya akan mendukung upaya-upaya keluarga ibn al-Sa`ud untuk memperluas pengaruh dan wewenang mereka, dan keluarga al-Sa`ud – sebagai konpensasinya – akan menyebarkan versi Islam Wahhabi yang puritan itu.

 

Tentang pertemuan keduanya di Oasis Dir`iyyah.  Menurut Abu Hakimah, salah satu penulis sejarah ibn al-Wahhab:

Muhammad ibn Sa`ud menyambut Muhammad ibn al-Wahhab dan berkata, “Oasis ini milikmu, dan jangan takut kepada musuh-musuhmu.  Dengan nama Allah, bahkan jika semua [orang] Najd dipanggil untuk menyingkirkan kamu, kami tidak akan pernah setuju untuk mengusirmu.”  Muhammad ibn `Abd al-Wahhab menjawab, “Anda adalah pemimpin mereka yang menetap di sini dan Anda adalah seorang yang bijak.  Saya ingin Anda menyatakan sumpah Anda kepada saya bahwa Anda akan melaksanakan jihad (perang suci) terhadap orang-orang kafir.  Sebagai imbalannya, Anda akan menjadi imam, pemimpin masyarakat Muslim, dan saya akan menjadi pemimpin dalam masalah-masalah keagamaan.  (dikutip dalam al-Rasheed, 2002: 17).

 

Dengan terbentuknya koalisi antara Ibn Sa`ud dan `Abd al-Wahhab, Wahhabiyah menjadi ideologi keagamaan bagi suatu unifikasi antarsuku di Arabia Tengah dan apa yang dapat disebut sebagai gerakan Wahhabiyah pun dimulai.  Sebagai imam kembar gerakan Wahhabiyah, Ibn Sa`ud dan `Abd al-Wahhab menjadi pemimpin spiritual dan temporal wilayah itu.

 

Banyak deskripsi mengenai keberhasilan ekspansi Wahhabi-Saudi yang awal menekankan fakta bahwa raid (apa sih terjemahannya???) sejalan dengan praktik-praktik kesukuan yang dominan kala itu.  Sekalipun mengandung kebenaran, hal ini menyepelekan pentingnya dimensi spiritual koalisi itu, yang menjadi daya tarik sedikitnya bagi sebagian pengikut Wahhabi yang awal.  Selain keuntungan material, Wahhabisme juga menawarkan penyelamatan bukan saja di dunia ini, melainkan juga di akhirat kelak.  Menurut sejarawan Madawi al-Rasheed (2002: 20), al-Wahhab membawa sesuatu yang baru, yakni pentingnya tawhid, ke dalam tradisi keislaman Najd yang sebelumnya didominasi fiqh.

 

Insert: Karya-karya Tipis ibn al-Wahhab (Algar)

Seluruh karya Muhammd b. ‘Abd al-Wahhab sangat tipis, baik dari segi isi maupun ukurannya. Dalam rangka menjustifikasi pujiannya bagi Muhammd b. ‘Abd al-Wahhab, al-Faruqi menambahkan daftar “isu-isu lebih lanjut” yang ia susun sendiri pada terjemahan-Inggrisnya atas setiap bab Kitab al-Tauhid. Hal ini menyiratkan bahwa seolah-olah sang pengarang, yakni Muhammd b. ‘Abd al-Wahhab, pada mulanya telah mendiskusikan sejumlah “isu” yang muncul dari hadis-hadis di buku itu, yang sebenarnya tidak ia lakukan. Demikian pula, sebuah edisi Kasyf al-Syubuhat karya Muhammd b. ‘Abd al-Wahhab yang diterbitkan di Riyadh pada 1388 H/1968 M memiliki catatan pada halaman judulnya, “dijelaskan secara lebih terperinci (qama bi tafsilihi) oleh ‘Ali al-Hamad al-Salihi.” Sebuah buku lain yang dinisbatkan kepada Muhammd b. ‘Abd al-Wahhab, Masa’il al-Jahiliyyah (Madinah: al-Jami’ah al-Islamiyah, 1395/1975), memuat keterangan “diperluas oleh (tawassa’a fiha) al-Sayyid Mahmud Syukri al-Alusi”. Di dalam kedua karya yang terakhir disebutkan itu, tidak ada petunjuk di mana kontribusi Muhammd b. ‘Abd al-Wahhab berakhir, dan di mana kontribusi para pengurai atau pemberi syarah itu bermula. Tampaknya para pelindung Wahhabisme merasa malu dengan ketipisan karya Muhammd b. ‘Abd al-Wahhab, sehingga mereka memandang karya itu perlu dipertebal ukurannya.  (14-15)

 

Insert: Tentang `Abd al-Wahhab, dari sumber-sumber Arab:

·        Mendasarkan diri pada Abu Bakar untuk membakar hidup-hidup mereka yang ketahuan melakukan syirik atau bersikap munafik (p. 54-55).  Pengaruhnya terhadap Omar Abd Rahman di Afghanistan dan Irak (website mengenai penganiayaan terhadap tentara AS)

·        Mengenai pribadi `Abd al-Wahhab.  Adiknya sendiri, Sulayman ibn `Abd al-Wahhab, menulis risalah (al-Sawa’iq al-Ilahiyyah) yang mengecam kepribadian, pendidikan, dan ajaran-ajaran abangnya.  Misalnya tentang taqlid, yang sifatnya tebang pilih: ia juga taqlid kepada Ibn Taymiyah, hanya bagian-bagiannya yang keras.  Juga dalam hal al-muwahhidun (the monotheist).

 

Insert: Muthawwa`a dan Ikhwan

·        Sekalipun sekarang istilah muthawwa`a mengacu kepada profesi khusus tertentu di dalam lembaga keagamaan, pada awal pembentukannya di awal abad keduapuluh istilah ini memiliki makna yang lebih luas.  Pada 1900, seorang muthawwa` adalah anggota kelompok elite yang telah berhasil menyelesaikan pendidikan keagamaan selama periode tertentu kepada seorang ulama, khususnya di kota Najd (terutama Riyadh) dan Qasim (terutama `Unayzah), yang karenanya ia kemudian menjadi spesialis dalam hukum Islam dan soal-soal yang terkait dengan ibadah ritual.  Istilah muthawwa` mengandung makna ketundukan dan pemaksaan.  Seorang muthawwa` adalah seorang yang secara sukarela mengawasi ketaatan kepada Islam dan pelaksanaan ibadah-ibadah ritual.[1]

·        Dalam proses pembentukan negara Wahhabi, peran essensial muthawa`a adalah di dalam pengawasan terhadap dilaksanakannya ritual-ritual Islam, menjadikan rezim Wahhabi sebagai rezim “discipline and punish.”  Mereka memastikan tunduk dan penerimaan penduduk Arabia terhadap otoritas politik Ibn Sa`ud.  Pendidikan mereka di madrasah-madrasah Wahhabi mengantarkan mereka kepada keyakinan tentang negara sebagai partnership antara imam yang simbolik, sebagai “pemimpin masyarakat,” dan para spesialis keagamaan.  Mereka berbagi tugas: yang pertama memberi dukungan politik bagi tugas pengawasan agama oleh kelompok yang terakhir.

·        Selain itu, peran essensial dalam pembentukan negara Wahhabi juga dimainkan oleh kelompok yang disebut Ikhwan, kekuatan militer yang dibentuk dari unsur-unsur suku, dan yang dengannya `Abd al-`Aziz berhasil menduduki Hasa.  Seorang sejarawan mendefinisikan Ikhwan sebagai: “[orang-orang] Badui yang menerima ajaran-ajaran pokok ortodoksi Islam aliran Hanbali yang disampaikan kepada mereka oleh `Abd al-Wahhab yang sudah dilupakan atau tidak lagi diacuhkan oleh bapak atau kakek mereka.  Mereka juga adalah orang-orang Badui yang, melalui pendekatan persuasif pada missionaris agama dan karena bantuan material yang disediakan untuk mereka oleh `Abd al-`Aziz, bersedia meninggalkan cara hidup nomadik mereka untuk tinggal di Hijrah yang dibangun oleh `Abd al-`Aziz khusus untuk mereka” (dikutip dalam al-Rasheed, 2002: 59)

 

Beberapa Ajaran Pokok Wahhabisme

 

1.      Kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang asli, seperti yang ada dalam al-Qur’an dan hadis;

2.      Kebutuhan untuk menyatukan iman dan perbuatan;

3.      Pelarangan atas semua pandangan dan praktik yang tidak ortodoks.  Hal ini menyebabkan Wahhab untuk sepanjang hidupnya memerangi praktik-praktik seperti penyembahan kepada para wali dan ziarah ke makam-makam dan tempat-tempat keramat untuk memperoleh berkah;

4.      Pembentukan sebuah negara Islam yang secara khusus akan didasarkan kepada penerapan hukum-hukum agama.  Sejauh keluarga Sa`ud berhasil memperluas pengaruh dan wewenangnya di Arabia, sesuatu yang mendekati sebuah negara Islam sudah terbentuk.

 

Muhammad ibn `Abd al-Wahhab membentuk sebuah gerakan yang pengaruhnya lebih besar dari sekadar berdirinya Arab Saudi sekarang ini.  Pengaruh Wahhabi telah menyebar ke seluruh dunia Islam bahkan hanya lewat ekspose versi Islam ini kepada jutaan jamaah haji yang pergi ke Mekkah setiap tahunnya.  Wahhabi mengajarkan bahwa kaum Muslim yang benar harus memiliki kepedulian terhadap politik dan jalannya pemerintahan di sebuah negara.  Jika para penguasa mereka gagal bertindak dan berperilaku sebagai Muslim yang baik, jika mereka gagal membangun suatu negara di mana hukum-hukum Syari`ah dilembagakan dan dijalankan, maka setiap Muslim memiliki kewajiban keagamaan untuk menggantikan penguasa itu dan pemerintahannya yang tidak Islami.  Sekalipun corak khusus keislaman versi al-Wahhab yang puritan itu bukan merupakan tujuan akhir semua pembaru Muslim dewasa ini, pesan-pesannya mengenai aktivisme politik dan kaitan antara iman dan perbuatan jelas sudah tertanam dalam.

 

Insert: Beberapa Ciri Wahhabisme (el-Fadl)

·        Islam yang sederhana; warna Arab (suku badui) yang kuat: mencurigai apa saja yang tidak datang dari Arab: filsafat (Yunani); mistisisme (Persia); praktik sufi dan silsilah (Turki);

·        Pluralisme sebagai sebab perpecahan umat Islam; atau Islam atau kafir, tidak ada Islam yang tengah; Muslim yang dianggap bukan Muslim dikafirkan, dan darahnya dianggap halal

·        Penafsiran literal terhadap sumber agama: penggunaan pikiran dicerca; Fakhruddin al-Razi, misalnya, masuk ke dalam kelompok kuffar.

·        Pemiskinan intelektual karena kembali ke al-Qur’an dan Sunnah: anti-fikih klasih dan tidak ada apresiasi terhadap sejarah Islam;

·        Kreativitas dan kesenangan pada musik atau puisi, misalnya, dianggap bagian dari praktik menyekutukan Tuhan.  Implikasi paling akhir: penghancuran patung-patung Budha di Bamiyan oleh pemerintahan Taliban.

·        Doktrin al-wara’ wa al-bara’ (loyalitas dan disosiasi): jangan berteman, berskutu dan meniru musuh non-Islam dan Muslim heretik, musyrik. Sampai yang kecil-kecil: tidak boleh menjawab salam; menyebut panggilan “saudara” dan lainnya.  Pengaruh belakangan: pandangan Sayyid Quthb bahwa sekarang adalah jahiliyah qarn al-`isyrin.

·        Anti Kekaisaran Turki Utsmani; karena alasan etnosentrisme

·        Kesederhanaan, ketegasan, dan absolutisme: attraktif bagi pola hidup suku Badui

 

Insert: Beberapa contoh inkonsistensi, menurut el-Fadl (p. 53)

·        While condemning all cultural practices and insisting on strict submission to Islam, in reality Wahhabism was thoroughly a construct of its own culture – that is, the Bedouin culture of the Najd region of Arabia (part of the modern-day Saudi Arabia).

·        While insisting that there was only one true Islam, in reality Wahhabism universalized its own culture and declared it to be the one true Islam.

·        While consistently condemning non-Muslim influences and rejecting any form of cooperation with the West, in reality Wahhabis were incited and supported by English colonialists to rebel against the Ottomans, which effectively meant that Wahhabis side with non-Muslim Englishmen against their Muslim Ottoman enemies.

·        Moreover, while condemning all forms of nationalism as an evil Western invention, in reality Wahhabism was a pro-Arab nationalistic movement that rejected Turkish dominance over Arabs under the guise of defending the one true Islam.

·        Fundamentally, while the Wahhabis of the eighteenth century took the culture of the Bedouin od Najd and universalized it into the Islam, the Wahhabis of today take the culture of Saudi Arabia and universalize it into the singularly true Islam.

 


 

 

NAMA WAHHABISME: “Apa yang disajikan ke hadapan pembaca ini adalah semacam survei terbatas menegnai sejarah, doktrin dan arti penting Wahhabisme dewasa ini.  Orang-orang yang bersimpati pada ajaran-ajaran yang disebut sebagai Wahhabisme di sini tentu mungkin keberatan dengan penggunaan penamaan tersebut, karena istilah itu diberikan oleh orang-orang yang berada di luar gerakan tersebut, dan kerap kali dengan makna yang terkesan buruk.  Kaum Wahhabi sendiri lebih memilih istilah al-Muwahhidun atau Ahl al-Tawhid untuk menamakan kelompok mereka.  Namun, nama yang mereka gunakan sendiri itu justru mencerminkan keinginan untuk menggunakan secara eksklusif prinsip tawhid, yang merupakan landasan Islam itu sendiri.  Hal ini menyiratkan pengabaian terhadap seluruh kaum Muslim yang lain, yang mereka cap telah melakukan syirik.  Tidak ada alasan untuk menerima monopoli atas prinsip tawhid tersebtu, dan karena gerakan yang menjadi pokok pembahasan ini merupakan karya seorang manusia, yakni Muhammad b. ‘Abd al-Wahhab, maka cukup beralasan dan lazim untuk menyebut mereka “Wahhbisme” dan “kaum Wahhabi”.  (Algar, 2003: 1-2)

 

GERAKAN MARGINAL/BUKAN SUNNI: Ada dua catatan pendahuluan lainnya.  Pertama, dalam sejarah pemikiran Islam yang telah berlangsung lama dan sangat kaya, Wahhabisme tidak menempati tempat yang khususnya penting.  Secara intelektual marjinal, gerakan Wahhabi memiliki nasib baik muncul di Semenanjung Arab (meski di Najad, sebuah tempat yang relativ jauh dari semenanjung itu) dan karena itu dekat dengan Haramayn, yang secara geografis merupakan jantung dunia Muslim.  Keluarga Saudi, yang menjadi patron gerakan Wahhabisme, bernasib baik ketika pada abad keduapuluh mereka memperoleh kekayaan minyak yang luar biasa, yang sebagiannya telah digunakan untuk menyebarluaskan Wahhabisme di dunia Muslim dan lainnya. Jika tidak ada dua faktor tersebut, Wahhabisme mungkin saja hanya dicatat dalam sejarah sebagai gerakan sektarian yang marjinal dan berumur pendek.  Kedua faktor yang sama pula, yang diperkuat dengan adanya sejumlah kesamaan dengan kecenderungan-kecenderungan kontemporer lainnya di dunia Islam, telah menyebabkan Wahhabisme dapat bertahan lama.  (Algar, 2003: 2)

 

BUKAN SUNNI: Kedua, Wahhabisme adalah sebuah fenomena yang sepenuhnya unik, yang perlu disebut sebagai suatu aliran pemikiran atau bahkan sekte tersendiri.  Kadang kaum Wahhabi dicirikan, khususnya oleh para pengamat non-Muslim yang mencari deskripsi ringkas mengenainya, sebagai kaum Sunni yang “ekstrem” atau sebagai kaum Sunni yang “konservatif,” dengan kata-kata sifat seperti “stern” atau “austere” ditambahkan di belakangnya, untuk memberi ukuran yang lebih pasti.  Namun, kalangan Sunni yang jauh lebih dikenal sudah lama mengamati bahwa kaum Wahhabi, sejak pertamakali aliran mereka dikumandangkan, tidak bisa dimasukkan sebagai bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah.  Hal itu karena hampir semua praktik, tradisi dan keyakinan yang dikecam oleh Muhammad b. `Abd al-Wahhab sudah lama diakui sebagai bagian integral dari Islam Sunni, diuraikan dalam banyak sekali literatur dan diterima oleh sebagian besar kaum Muslim.  Persis karena alasan ini, maka banyak ulama yang hidup pada masa ketika Wahhabisme pertamakali dikampanyekan mengecam pendukungnya sebagai bukan bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah.  Bahwa sekarang Wahhabisme dipandang sebagai bagian dari Sunni, hal itu menunjukkan bahwa istilah “Sunni” mulai memperoleh makna yang luar biasa loose…. (Algar, 2003: 2-3)

 

Pembentukan Negara Wahhabiyah

 

TIGA PERIODE PEMBENTUKAN NEGARA WAHHABI:

Negara Wahhabi pertama (1745-1818) yang gagal;

negara Wahhabi yang kedua yang juga gagal (1824-1891);

pembentukan negara Saudi yang bertahan hingga sekarang (berdiri pada 1902 dan terus hingga 1932)

 

 

Mereka dengan sengaja mengaitkan gerakan mereka dengan kaum Khawarij, kelompok puritan dan ekstremis pertama dalam sejarah Islam, dan seperti kelompok pendahulunya yang fanatik itu, mereka memfokuskan kemarahan mereka pertama-tama ke dalam, untuk menghancurkan apa yang mereka pandang sebagai sebab-sebab kemunduran kaum Muslim.  Karena itu, mereka mulai memerangi suku-suku yang ada di sekeliling mereka dan memaksa suku-suku tersebut untuk mengikuti versi Islam mereka.

 

Di bawah kepemimpinan militer `Abd al-`Aziz, anak Muhammad ibn Sa`ud, mereka mulai ekspansi mereka ke Riyadh, Kharj, dan Qasim di wilayah Arabia Tengah pada 1792.  Setelah berhasil menduduki wilayah itu, mereka melanjutkan ekspansi ke timur ke Hasa, dan menghancurkan kekuasaan Banu Khalid di wilayah itu.  Para pengikut Syi`ah di kawasan ini, yang jumlahnya cukup banyak, dipaksa untuk menyerah dan mengikuti Wahhabisme atau dibunuh.  Lalu, ekspansi dilanjutkan ke Teluk Persia dan Oman: Qatar mengakui kekuasaan Saud-Wahhabi pada 1797, dan Bahrain menyusul tak lama kemudian.  Mereka semua diwajibkan untuk membayar zakat ke Dir`iyyah.

 

Ekspansi awal Wahhabi-Saudi yang menentukan berlangsung ke barat, khususnya ke Hijaz, di mana dua kota suci Islam, Mekkah dan Madinah, berada.  Dalam ekspansi ini mereka berhadapan dengan otoritas keagamaan yang lain, yakni Syarif Mekkah, yang memperoleh legitimasinya dari Khalifah Turki Usmani.  Terlepas dari upaya keras orang-orang Hijaz untuk bertahan, koalisi Wahhabi-Saud berhasil memantapkan hegemoni mereka di Ta’if pada 1802, Mekkah pada 1803, dan Madinah setahun kemudian.  Setelah kemenangan itu, para ulama Wahhabi memerintahkan penghancuran kubah yang ada di makam-makam Nabi Muhammad dan para sahabatnya di Madinah.

           

Kemenangan di Hijaz mendorong koalisi Wahhabi-Sa`ud untuk meneruskan ekspansi ke wilayah selatan ke `Asir, di mana para pemimpin lokalnya segera memeluk Wahhabisme dan ikut serta dalam ekspansi selanjutnya ke Yaman.  Kuatnya pertahanan orang-orang Yaman, ditambah dengan kondisi geografis yang kurang dikuasai pasukan Wahhabi, membuat Yaman tidak berhasil ditundukkan sepenuhnya.

 

Ekspansi lain mencapai ladang subur Mesopotamia, sekaligus mengancam bagian-bagian penting daerah kekuasaan Turki Usmani, Pada 1802, di hari suci `Asyura, mereka melabrak tembok Karbala dan membunuh 2.000-an pengikut Syi`ah yang sedang bersehbahyang sambil merayakan Muharram.  Dengan kemarahan yang tak terkontrol, mereka menghancurkan makam-makam Ali, Husayn, imam-imam Syi`ah, dan khususnya kepada makam puteri Nabi Fatimah.

 

KEBRUTALAN SA’UD DI KARBALA: Laporan hidup mengenai kebrutalan tersebut, yang diberikan oleh pencatat sejarah Saudi, ‘Utsman b. ‘Abdullah b. Bisyr, dalam `Unwan al-Majd fi Tarikh Najd:

Pada tahun 1216 Sa’ud [anak ‘Abd al-‘Aziz] mulai bergerak dengan dukungan tentara dan pasukan kavaleri yang direkrutnya dari kalangan penduduk kota maupun suku-suku nomaden di Najad, dari wilayah selatan, dari Hijaz, Tihama dan tempat-tempat lainnya.  Ia mencapai Karbala dan mulai memerangi penduduk kota al-Husayn itu.  Ini terjadi pada bulan Dzu’l-Qa’da.  Kaum Muslim [yakni, kaum Wahhabi] menaiki tembok, memasuki kota secara paksa, dan membunuh mayoritas penduduknya di pasar-pasar maupun di rumah-rumah mereka.  Lalu mereka menghancurkan kubah di atas makam al-Husayn yang dibangun oleh orang-orang yang percaya dengan hal-hal semacam itu.  Mereka mengambil apa saja yang ada di dalam kubah itu dan di sekelilingnya.  Mereka mengambil pagar-pagar teralis di sekeliling kubah itu, yang dihiasai dengan batu emerald, batu ruby dan batu-batu permata lainnya.  Mereka menjarah apa saja yang ada di kota itu: berbagai macam harta-benda, senjata, pakaian, karpet, emas, perak, salinan-salinan al-Quran yang indah, dan benda-benda lainnya yang tak terbilang.  Mereka tinggal di Karbala hingga pagi hari, dan pada siang harinya mereka pergi dengan membawa segala macam harta-benda yang telah mereka kumpulkan, dan mereka telah membunuh sekitar dua ribu orang.  Lalu Sa’ud pergi meninggalkan kota itu melewati jalan Ma’ al-Abyad.  Di hadapan Sa’ud terkumpul harta jarahan.  Ia mengambil untuk dirinya sendiri seperlima bagian dari harta jarahan tersebut, lalu membagikan sisanya di antara kaum Muslim [yakni, kaum Wahhabi], dengan satu bagian untuk para prajurit pejalan kaki dan dua bagian bagi para prajurit berkuda.  Lalu ia pulang ke rumah. (Dikutip dalam Algar, 2003: 24-25)

 

Hal ini membuat marah pengikut Syi`ah, dan pada 1803, pemimpin klan Saudi `Abd al-`Aziz dibunuh oleh seorang pengikut Syi`ah di sebuah masjid di Dir`iyyah (al-Rasheed, 2002: 22).

 

Terlepas dari itu, kaum Wahhabi terus melanjutkan gerakan mereka ke utara menuju Mesopotamia dan jantung Kekaisaran Turki Usmani.  Baru pada titik inilah mereka memperoleh perhatian dari Khalifah Turki Usmani.  Pada 1818, Perdana Menteri Mesir, Muhammad Ali (1769-1849), atas persetujuan Khalifah Usmani, mengirim pasukannya ke Semenanjung Arabia.  Tentara Mesir ini dengan mudah mengalahkan kaum Wahhabi yang sebenarnya miskin peralatan perang dan kurang terlatih.  Kedua kota suci Mekkah dan Madinah kembali berada di bawah kekuasaan Syarif dan kaum Wahhabi dipaksa untuk mundur ke Najd, menandai berakhirnya upaya pembentukan negara Wahhabi yang pertama.

 

Setelah tentara Mesir mundur, upaya pembentukan negara Wahhabi kembali dilakukan koalisi Wahhabi-Saud pada 1824, ketika Turki ibn `Abdullah, anak penguasa Sa`udi yang dihukum mati oleh Khalifah Usmani, kembali ke Riyadh.  Setelah menduduki Riyadh, ekspansinya berlanjut ke `Arid, Kharj, Hutah, Mahmal, dan daerah-daerah lain sekitar itu.  Pada 1830, ia berhasil memapankan otoritasnya di wilayah Hasa.

 

Sekalipun seorang imam Wahhabi tulen, Turki sebenarnya cukup hati-hati untuk tidak mengganggu otoritas Usmani-Mesir dalam mengelola jamaah haji di Hijaz.  Upayanya untuk kembali membentuk sebuah negara Wahhabi gagal bukan karena serangan Turki Usmani, melainkan karena konflik-konflik internal di antara para pemimpin klan Sa`ud sendiri.  Karena alasan ini, otoritas mereka dikalahkan oleh klan Rasyidi.

 

Upaya untuk kembali mendirikan sebuah negara Wahhabi, dan kali kini berhasil, berlangsung di awal abad keduapuluh, persisnya di tahun 1902, di bawah komando Abd al-Aziz (1880-1953), anak Ibn Saud yang sebelumnya mengasingkan diri ke Kuwait.  Sekali lagi, sebuah aliansi antara keluarga kerajaan dan para ulama Wahhabi menjadi kunci keberhasilannya.  Dalam konteks ini, dua institusi esensial harus disebutkan: muthawwa`a dan Ikhwan.

 

Sekalipun sekarang istilah muthawwa`a mengacu kepada profesi khusus tertentu di dalam lembaga keagamaan, pada awal pembentukannya di awal abad keduapuluh istilah ini memiliki makna yang lebih luas.  Pada 1900, seorang muthawwa` adalah anggota kelompok elite yang telah berhasil menyelesaikan pendidikan keagamaan selama periode tertentu kepada seorang ulama, khususnya di kota Najd (terutama Riyadh) dan Qasim (terutama `Unayzah), yang karenanya ia kemudian menjadi spesialis dalam hukum Islam dan soal-soal yang terkait dengan ibadah ritual.  Istilah muthawwa` mengandung makna ketundukan dan pemaksaan.  Seorang muthawwa` adalah seorang yang secara sukarela mengawasi ketaatan kepada Islam dan pelaksanaan ibadah-ibadah ritual.[2]

 

Dalam proses pembentukan negara Wahhabi, peran essensial muthawa`a adalah di dalam pengawasan terhadap dilaksanakannya ritual-ritual Islam, menjadikan rezim Wahhabi sebagai rezim “discipline and punish.”  Mereka memastikan tunduk dan penerimaan penduduk Arabia terhadap otoritas politik Ibn Sa`ud.  Pendidikan mereka di madrasah-madrasah Wahhabi mengantarkan mereka kepada keyakinan tentang negara sebagai partnership antara imam yang simbolik, sebagai “pemimpin masyarakat,” dan para spesialis keagamaan.  Mereka berbagi tugas: yang pertama memberi dukungan politik bagi tugas pengawasan agama oleh kelompok yang terakhir.

 

Selain itu, peran essensial dalam pembentukan negara Wahhabi juga dimainkan oleh kelompok yang disebut Ikhwan, kekuatan militer yang dibentuk dari unsur-unsur suku, dan yang dengannya `Abd al-`Aziz berhasil menduduki Hasa.  Seorang sejarawan mendefinisikan Ikhwan sebagai:

 

[orang-orang] Badui yang menerima ajaran-ajaran pokok ortodoksi Islam aliran Hanbali yang disampaikan kepada mereka oleh `Abd al-Wahhab yang sudah dilupakan atau tidak lagi diacuhkan oleh bapak atau kakek mereka.  Mereka juga adalah orang-orang Badui yang, melalui pendekatan persuasif pada missionaris agama dan karena bantuan material yang disediakan untuk mereka oleh `Abd al-`Aziz, bersedia meninggalkan cara hidup nomadik mereka untuk tinggal di Hijrah yang dibangun oleh `Abd al-`Aziz khusus untuk mereka. (Dikutip dalam al-Rasheed, 2002: 59)

 

Selain kedua kekuatan itu, aliansi Wahhabi-Sa`ud kali ini juga dibantu pasukan asing.  Ketika seabad sebelumnya tentara Mesir kembali dari menduduki-kembali tanah suci, para penguasa Saudi-Wahhabi menarik pelajaran berharga bahwa mereka tidak akan pernah dapat menaklukkan Kekhalifahan Turki Usmani dengan tangan mereka sendiri.  Mereka membutuhkan aliansi yang jauh lebih kuat dibanding aliansi yang telah mereka bangun sendiri.  Kesempatan untuk membangun aliansi seperti ini memperoleh momentum dengan ditandatanganinya Perjanjian Inggris-Saudi pada 1915.  Inggris, yang bernafsu untuk menguasai Terusan Suez, mendorong pembesar Saudi untuk menguasai kembali Semenanjung Arabia dari tangan Turki Usmani.  Untuk membantu pemberontakan mereka, Inggris secara reguler mengirim bantuan senjata dan uang.  Di penghujung Perang Dunia Pertama, ketika kebesaran Kekhalifahan Usmani mulai rontok dan kekhalifahan itu sendiri dihapuskan, ibn Saud berhasil menaklukkan kembali Mekkah dan Madinah dan, sekali lagi, mengusir sang Syarif.  Kemudian, setelah secara publik mengeksekusi 40.000 orang dan memaksakan kembali paham Wahhabiyah di seantero negeri, Abd al-Aziz ibn Saud memberi nama baru kepada Semenanjung Arabia: “Kerajaan Arab Saudi.”

 

Tak lama kemudian, minyak ditemukan di ranah itu, menjadikan Arab Saudi negeri kecil yang kaya raya  XXXXXX  INI PANJANG LAGI CERITANYA.  NANTI SAJA DI VERSI BUKU YA. 

 


[1]Menurut sejarawan al-Rasheed, muthawwa` adalah fenomena unik Islam Najd.  Mereka berbeda dari para ahli agama di dunia Islam lain yang sering disebut ulama.  Di Najd pada masa itu, mereka yang disebut ahli dalam bidang agama peduli hanya kepada fiqh/`ibadah, dan memandang bahwa mempelajari masalah-masalah lain adalah sebuah kemewahan intelektual yang juga tidak dibutuhkan masyarakat mereka.  Lihat al-Rasheed, 2002: 49.

[2]Menurut sejarawan al-Rasheed, muthawwa` adalah fenomena unik Islam Najd.  Mereka berbeda dari para ahli agama di dunia Islam lain yang sering disebut ulama.  Di Najd pada masa itu, mereka yang disebut ahli dalam bidang agama peduli hanya kepada fiqh/`ibadah, dan memandang bahwa mempelajari masalah-masalah lain adalah sebuah kemewahan intelektual yang juga tidak dibutuhkan masyarakat mereka.  Lihat al-Rasheed, 2002: 49.

Imperium Usmaniyah & Jazirah Arabia

Muasal Aliansi Wahabi-Sa`udi


Imperium Usmaniyah & Jazirah Arabia

Oleh: Syamsurizal Panggabean

 

Secara nominal, sebagian besar wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kerajaan Sa`udi Arabia (KSA) adalah bagian dari Imperium Usmaniah atau Khilafah Usmaniah (KU). KU menjadi penguasa di wilayah tersebut setelah Dinasti Mamluk melemah pada awal abad XVI. Raja Mamluk terakhir menyerahkan kunci Mekkah kepada Sultan Salim I dari KU pada 1517. Ini menandai kekuasaan Sultan Usmaniyah di wilayah Hijaz. Kemudian, pada 1534 KU menguasai Baghdad dan lembah Eufrat sampai daerah Timur Jazirah Arabia. Pemberontakan Banu Khalid pada 1670 berhasil mengusir KU dan baru dua abad kemudian KU kembali mengguasai wilayah Timur Arabia.

Akan tetapi, wilayah pedalaman Jazirah Arabia, yang dikenal dengan Najd, tidak pernah dikuasai KU. Najd tetap dikuasai Amir-amir setempat. Begitu pula, konfederasi suku-suku yang ada di Najd tetap memiliki otonomi dan kemerdekaan dari penguasa-penguasa luar, apakah itu KU, penguasa Hijaz (Syarif), maupun Banu Khalid di wilayah Timur Jazirah Arabia. Najd sendiri tidak begitu menarik bagi penguasa-penguasa dari luar ini. Selain karena daerahnya hanya menghasilkan sedikit surplus korma dan ternak, perdagangan juga tidak makmur.

 

Dir`iyyah dan `Uyaynah, Najd

Salah satu pemukiman di Najd adalah Dir`iyyah. Ini pemukiman kecil – paling-paling 70 keluarga yang terdiri dari petani, pedagang, pekerja, tokoh agama, dan budak. Sejak tahun 1727, Dir`iyyah diperintah oleh Muhammad ibn Sa`ud (wafat 1765) dari klan Al-Sa`ud. Klan ini menguasai oase, ladang pertanian, dan sumur-sumur di Dir`iyyah. Selain itu, klan al-Sa`ud juga berhasil mempertahankan pemukiman dari serangan amir-amir oase atau konfederasi suku-suku lain. Karenanya, penduduk membayar upeti kepada klan al-Sa`ud.

Kendati demikian, klan al-Sa`ud bukanlah klan yang kuat dan kaya. Malahan, menurut Madawi al-Rasheed, penulis A History of Sa`udi Arabia, klan Sa`ud tidak memiliki asal-usul kesukuan yang jelas. Salah satu teori mengatakan klan al-Sa`ud hanyalah pendiri pemukiman Dir`iyyah yang tidak memiliki ikatan yang kuat dengan konfederasi suku-suku setempat. Selain itu, surplus kekayaan mereka – dari memungut pajak dan upeti maupun dari perdagangan – tidak seberapa besar. Akibatnya, kemampuan mereka untuk menguasai jalur kafilah perdagangan maupun pemukiman-pemukiman lain terbatas.

Nasib mereka berubah setelah mereka bergabung dengan Wahabiyah. Pendiri gerakan ini, Muhammad ibn Abd al-Wahhab berasal dari Banu Tamim, salah satu suku di Najd, yang menetap di `Uyaynah. Ia berasal dari keluarga ulama, tetapi tidak kaya. Salah satu riwayat menyebutkan ia mempunyai tiga istri, sebidang kebun korma, dan sepuluh atau dua puluh lembu. Ia pernah pergi ke Madinah, Basrah dan Hasa (di Timur Jazirah Arabia, tempat Banu Khalid). Sepulang dari sekolah, ia kembali ke `Uyaynah.

Amir `Uyaynah, Usman ibn Mu`ammar, pada mulanya memberi ruang gerak bagi al- Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan ajaran barunya. Akan tetapi, tidak lama kemudian, Muhammad ibn Abd al-Wahhab menimbulkan keributan. Ia menghukum orang yang tidak mau shalat jamaah, ikut merajam seorang perempuan yang selingkuh, dan banyak ulama menentang aliran baru tersebut dan kuatir ajarannya meluas. Amir `Uyaynah tidak senang, begitu pula Banu Khalid yang berkuasa di Hasa, dan banyak amir lain di Najd. Mereka meminta Amir `Uyaynah supaya membunuh Muhammad ibn Abd al-Wahhab. Akan tetapi, karena takut terjadi kerusuhan, Amir hanya meminta Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan keluarganya supaya pergi. Muhammad ibn Abd al-Wahhab pergi ke Dir`iyyah, kurang lebih 60 km dari `Uyaynah.

 

Aliansi al-Wahhab-al-Sa`ud

Muhammad ibn Sa`ud menerima Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan memberinya perlindungan dari musuh-musuhnya.

 

Muhammad ibn Sa`ud menyambut Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan mengatakan, ‘Oasis ini adalah milikmu, jangan takut pada musuh-musuhmya. Demi Allah, walaupun seluruh Najd berkumpul untuk mengusirmu, kami tidak akan setuju.’ Muhammad ibn Abd al-Wahhab membalas, ’Kamu adalah penguasa di pemukiman ini dan orang yang bijaksana. Saya minta engkau bersumpah bahwa engkau akan melaksanakan jihad terhadap orang-orang kafir. Sebagai gantinya, engkau akan menjadi imam, pemimpin masyarakat Muslim, dan aku akan menjadi pemimpin di bidang agama.’ (Al-Rasheed, 2002: 17).

 

Pada tahun 1744, kemitraan al-Wahhab dengan Muhammad ibn Sa`ud dimulai lewat upacara sumpah yang menetapkan Ibn Sa`ud sebagai amir (pemimpin sekular) dan al-Wahhab menjadi imam – dan kemudian berubah menjadi Syeikh al-Imam. Putra tertua Muhammad ibn Sa`ud, Abd al-Aziz ibn Sa`ud dinikahkan dengan putri al-Wahhab. Muhammad ibn Abd al-Wahhab mulai menyebarkan ajarannya di masyarakat Dir`iyyah dan yang malas mengikuti pengajiannya disuruh membayar denda atau mencukur jenggot. Dinasti Sa`ud-Wahhabi pun terbentuk, demikian pula dinasti yang nanti menjadi penguasa Sa`udi Arabia (Allen, 2006: 52).

Al-Rasheed menyebutkan beberapa faktor di balik keberhasilan Muhammad ibn Abd al-Wahhab mendapatkan kepercayaan dari klan Al-Sa`ud. Ajaran baru tersebut dapat menjadi sumber legitimasi bagi penguasa Dir`iyyah. Selain itu, Muhammad ibn Abd al-Wahhab menjanjikan mereka kekayaan lewat zakat yang diperoleh seiring dengan perluasan pengaruh Wahabiyah. Akhirnya, persaingan amir `Uyaynah dan Dir`iyyah juga memainkan peran. Pemukiman Dir`iyyah yang kecil dan tidak berpengaruh ingin menyaingi `Uyaynah yang ketika itu lebih penting di bidang ekonomi dan politik.

Gerakan Wahabiyah dan dinasti Sa`ud sejak kemunculannya berusaha menundukkan suku-suku di jazirah Arab di bawah bendara Wahabi/Sa`udi. Menyamun, menyerang, dan menjarah suku tetangga adalah praktik yang luas dilakukan suku-suku Badui di Jazirah Arab sepanjang sejarahnya. Pada tahun 1746 Imam al-Wahhab mengeluarkan proklamasi jihad terhadap siapa saja yang menentang al-Da`wa lil-Tauhid. Gazwah mulai dilangsungkan ke daerah suku-suku yang sekarang dinyatakan kafir – biasanya dengan menyerang yang lebih lemah terlebih dahulu dan mengadakan kesepakatan nonagresi dengan suku yang kuat (Allen, 2006: 54-55).

Kelompok-kelompok suku di Najd yang bergabung dengan sekte Wahabi tidak hanya berjihad menyebarkan paham Wahabiyah. Melalui jihad, mereka juga memperoleh pendapatan dan pampasan perang dari penaklukan, penjarahan, dan pembunuhan yang mereka lakukan. Sebanyak seperlima dari perolehan tersebut diberikan kepada amir dan sisanya dibagi oleh suku-suku yang ikut berjihad. Kaum ulama mendapatkan zakat sebagaimana biasa. Jadi, semua mendapat bagian (Allen, 2006: 55).

Pada tahun 1765, Muhammad ibn Sa`ud dibunuh ketika sembahyang. Ia digantikan putranya, Abd al-Aziz ibn Sa`ud. Abd al-Aziz melanjutkan, dan dalam banyak hal, meningkatkan peperangan dan penyergapan yang dimulai ayahnya, dengan bantuan mertuanya, Muhammad ibn Abd al-Wahhab. Mertua dan menantu ini memperkenalkan senjata api kepada para pengikut mereka, dan mengajari mereka bagaimana menggunakannya sebagai pengganti tombak dan pedang. Ia juga membentuk pasukan elit dengan persenjataan yang lebih memadai. Merekalah yang menjadi tulang punggung ghazwah yang dilancarkan ke berbagai kawasan di Jazirah Arab.

Tentu saja, ghazwah bukan hanya urusan militer. Muhammad ibn Abd al-Wahhab membekali setiap mujahidnya dengan firman atau printah tertulis yang ditujukan kepada penjaga pintu surga, yang memintanya supaya langsung memperkanankan pemegang firman supaya langsung masuk surga sebagai syahid. Kultus syahadah yang banyak dikenal di kalangan Syiah diadopsi juga oleh kalangan Wahabi dan menjadi salah satu daya gerak di balik ghazwah. “Dan dengan demikian mujahid Amir Abd al-Aziz ibn Sa`ud berada dalam situasi menang-menang: jika mereka menang di dalam perang, mereka mendapatkan keuntungan harta benda; jika mereka binasa, mereka langsung masuk surga” (Allen, 2006, 59).

Setiap suku yang belum masuk Wahabi diberi dua tawaran jelas: masuk Wahabi atau diperangi sebagai orang-orang musyrik dan kafir. Yang setuju harus mengucapkan bay`ah ketundukan dan menunjukkan loyalitas dengan bersedia ikut berjihad dan membayar zakat. Yang menentang akan diperangi dan dijarah. Tidak banyak yang bisa bertahan menghadapi kekuatan dan kebrutalan Amir Abd al-Aziz.. Pada 1773, tidak ada lagi lawan berarti di Najd dan kota Riyadh sudah menyerah. Hingga ia wafat pada 1806, Abd al-Aziz ibn Sa`ud menebar teror ke banyak wilayah Jazirah Arab sampai ke Oman dan Yaman di Selatan dan sampai ke Baghdad dan Damaskus di Utara.

 

Serangan ke Karbala, Mekkah, dan Madinah

Pada tahun 1802, putra tertua Abd al-Aziz yang bernama Sa`ud ibn Sa`ud menyerang Karbala – tempat paling suci umat Syiah. Mereka menjarah makam Imam Husein cucu Nabi dan putra Ali bin Abi Talib, membantai siapa saja yang merintangi jalan mereka. Mereka banyak mendapatkan pampasan perang – seperlimanya menjadi bagian Sa`ud, sisanya bagi pasukan dengan ketentuan pasukan berkuda mendapat dua kali bagian pasukan yang berjalan kaki. Kurang lebih lima ribu penduduk Karbala dibunuh, sehingga kabarnya sampai ke wilayah-wilayah lain di Turki, Persia, dan daerah Arab lainnya. Pemerintah Kekhalifahan Turki, Khalifah Mahmud II, kemudian dikecam karena gagal menjaga Makam Imam Husein (Allen, 2006: 63).

Pada tahun 1803-1804, pasukan Wahabi juga menyerbu Mekkah dan Medinah. Mereka membunuh syekh dan orang awam yang tidak bersedia masuk Wahabi. Perhiasan dan perabotan yang mahal dan indah – yang disumbangkan oleh banyak raja dan pangeran dari seluruh dunia Islam untuk memperindah banyak makam wali di seputar Mekkah dan Madinah, makam Nabi, dan Masjidil Haram – dicuri dan dibagi-bagi. Pada 1804, Mekkah jatuh ke tangah Wahabi. Dunia Islam guncang, lebih-lebih karena mendengar kabar bahwa makam nabi telah dinodai dan dijarah, rute jamaah haji ditutup, dan segala bentuk peribadatan yang tidak sejalan dengan praktik Wahabi dilarang (Allen, 2006: 64).

Abd al-Aziz, yang setelah kematian Muhammad ibn Abd al-Wahhab memegang dua gelar amir dan imam sekaligus, wafat pada 1806. Ia dibunuh ketika sedang sembahyang di masjid Dir`iyyah. Pembunuhnya adalah pengikut Syiah dari Karbala yang memburunya dalam rangka membalas dendam terhadap perbuatan pasukan Wahabi di Karbala. Ia digantikan oleh putranya, Sa`ud ibn Sa`ud yang berkuasa sampai 1814, yang digantikan putranya bernama Abdullah ibn Sa`ud.

 

Reaksi Konstantinopel

Dominasi Wahabi di tanah suci juga menjadi tantangan langsung terhadap otoritas Khalifah di Turki. Beberapa kali serangan dilancarkan oleh Khalifah dari Baghdad tetapi gagal. Muhammad Ali Pasya, wazir atau wakil Khalifah di Mesir, diserahi tanggungjawab mengambil alih Hijaz dan tanah suci dan mengembalikannya kepada Khalifah sebagai khadimul haramayn. Setelah gagal di tahun 1811, pada 1812 pasukan kekhalifahan Usmani dari Mesir tersebut berhasil menduduki Madinah. Pada tahun 1815, kembali pasukan dari Mesir menyerbu Riyadh, Mekkah, dan Jeddah. Kali ini pasukan Wahhabi kucar-kacir.

Ibrahim Pasya, putra sang penguasa Mesir, datang dengan kekuatan sekitar 8000 pasukan kavaleri dan infantri dari Mesir, Albania, dan Turki. Ibrahim menawarkan enam keping perak untuk setiap kepala pengikut Wahabi yang berhasil dibunuh. Di akhir pertempuran, lapangan di depan markasnya berdiri piramida kepala pengikut Wahhabi. Pada 1818, pertahanan terakhir Wahabi yang dipimpin Abdullah ibn Sa`ud di Dir`iyyah diserbu dan setelah beberapa bulan dikepung, mereka menyerah.

 

Ibrahim Pasya mengumpulkan semua ulama Wahabi yang bisa didapat, kira-kira lima ratusan ulama, dan menggiring mereka ke masjid besar. Di sana, selama tiga hari, ia memimpin debat keagamaan dalam rangka meyakinkan ulama Wahabi bahwa ajaran mereka sesat. Di akhir hari keempat, kesabarannya habis dan ia memerintahkan pengawalnya supaya membunuh mereka sehingga masjid Dir`iyyah, dalam kata-kata pengelana William Palgrave, ‘menjadi kuburan berdarah teologi Wahabi.’

 

Abdullah ibn Sa`ud sendiri beserta beberapa anggota keluarganya ditawan dan dibawa ke Kairo dan kemudian ke Konstantinopel. Di ibukota Khilafah Usmani itu dia dipermalukan, diarak keliling kota di tengah cemoohan penonton selama tiga hari. Kemudian kepalanya dipenggal dan tubuhnya dipertontonkan kepada kerumunan yang marah. Sisa-sisa keluarga Sa`udi-Wahabi menjadi tawanan di Kairo.

Kehancuran Wahabi disambut gembira di banyak negeri Muslim. Seorang ulama mazhab Hanafi bernama Muhammad Amin ibn Abidin yang hidup di awal abad XIX mengatakan, “Ia mengaku pengikut mazhab Hanbali, tapi dalam pemikirannya hanya dia saja yang Muslim dan semua orang lain adalah musyrik. Ia mengatakan bahwa membunuh Ahlussunnah adalah halal, sampai akhirnya Allah menghancurkannya pada tahun 1233 Hijriah (1818) melalaui pasukan Muslim.” (Allen, 2006: 68).

Demikianlah, fase pertama aliansi Wahabi-Saudi, yang juga dikenal dengan Negara Saudi I, berhenti secara brutal, sekejam serbuan dan penaklukan yang mereka lakukan sejak aliansi terbentuk.***

 

Negara Saudi II dan III

Negara Saudi II dan III

Oleh: Rizal Panggabean

 

Negara Wahabi/Saudi II (1824-1891)

Pada tahun 1924, Turki ibn Abdullah, putra dari penguasa Saudi yang dipenggal di Istambul, mengambil alih Riyad, sebuah pemukiman di sebelah selatan Dir`iyyah yang dikemudian hari menjadi kota penting. Ini dapat terjadi karena pasukan dari Mesir mengundurkan diri Dari Najd pada 1821. Dari sana, kekuasannya meluas ke daerah `Aridh, Kharj, Hotah, Mahmal, Sudayr dan Aflaj. Pada 1830, ia juga berhasil memperluas kekuasaan sampai ke wilayah Hasa, salah satu medan perang saudara di antara faksi-faksi klan Saudi. Amir Turki sendiri tidak mengutak-atik kekuasaan Usmaniyah dan Mesir di wilayah Hijaz, yang menjamin keamanan kafilah-kafilah haji. (al-Rasheed, 23).

Konflik internal di dalam negara Wahabi/Saudi kedua sudah dimulai sejak masa Amir Turki, Salah seorang musuhnya adalah Mishari, seorang saudara sepupu yang ia angkat menjadi Gubernur di Manfuhah, berada di balik komplotan yang membunuh Turki pada 1834, selepas salat Jumat. Ia digantikan anaknya, Faisal, yang dengan bantuan `Abdullah ibn Rashid, Amir dari Ha’il, berhasil membalas kematian ayahnya pada tahun yang sama. Tetapi, ia tidak lama berkuasa. Karena menolak membayar upeti kepada pasukan Mesir yang menduduki Hijaz, pada tahun 1837 ia ditangkap dan dikirim ke Kairo. Perebutan kekuasaan terjadi lagi di Riyad, di antara sesama keluarga Saud.

Pada 1840, Mesir meninggalkan Arabia dan pada tahun 1943, Faisal ibn Turki al-Saud melarikan diri dari Mesir dan kembali ke Riyad dan menjadi amir kembali sampai wafat pada 1865. Selama berkuasa, Faisal mengakui kekuasaan Khilafah Usmaniyah dan membeyar upeti kepada Khalifah. Setelah kematiannya, putra-putranya (dari istri yang berbeda-beda) bertarung memperebutkan kekuasanaan. Mereka adalah `Abdullah, Sa`ud, Muhammad, dan `Abd al-Rahman. `Abdullah, anak tertua yang menggantikan Faisal, bersaing dengan saudara-saudaranya. `Abdullah bahkan pernah meminta bantuan dari Midhat Pasya, Gubernur Usmaniyah di Baghdad, supaya membantunya dalam pertarungannya melawan saudara-saudaranya. Permintaan ini dipenuhi dan invasi dari Bagdad terjadi pada 1870, walaupun hanya berhasil menghentikan perang saudara sebentar. Demikian pula, Sa`ud memerangi abangnya dengan bantuan dari konfederasi suku-suku yang ingin bebas dari kekuasaan abangnya, dan dari dominasi klan Sa`udiyyah. `Abdullah menyerah dan Sa`ud praktis berkuasa sejak 1871 sampai ia wafat pada 1875. Setelah itu, perebutan kekuasan dilanjutkan `Abd al-Rahman, `Abdullah, dan keturunan Sa`ud (Al-Rasheed, 2005: 24,36; Al-Fahad, 2004).

Pada tahun 1887, `Abdullah meminta Muhammad ibn Rasyid, peguasa Ha’il, supaya membantunya menyingkirkan keturunan Sa`ud yang juga keponakan-keponakannya. Muhammad ibn Rasyid, pemimpin klan yang sudah lama menjadi musuh klan Sa`udi, bersedia. Setelah membasmi sebagian besar keponakan `Abdullah, sisanya kucar-kacir melarikan diri. Akan tetapi, Ibn Rasyid sendiri mengkhianati orang yang mengundangnya. Ia menawan `Abdullah dan mengasingkannya ke Ha’il, ibukota klan Rasyidi. Klan Rasyidi kemudian menguasai Riyad dan banyak wilayah Najd lainnya, atas nama Khalifah Usmani. Setelah `Abdullah wafat pada 1889, `Abd al-Rahman, yang sempat menjadi gubernur di bawah kekuasaan Rasyidi, masih berusaha merebut kekuasaan dari keluarga Rasyidi akan tetapi gagal. Muhammad ibn Rasyid mengalahkannya pada 1891 dan `Abd al-Rahman harus melarikan diri ke beberapa tempat sampai akhirnya, sejak 1893, ia menetap di Kuwait di bawah perlindungan klan al-Sabah, penguasa Kuwait yang ketika itu merupakan salah satu pelabuhan penting yang di kawasan Teluk, tempat Khilafah Usmani dan Inggris berebut pengaruh dan kekuasaan, dengan kemenangan Inggris melalui traktat perlindungan yang ditandatangani pada 1899.

Dimensi Agama pada Masa Negara Saudi II

Pada masa Negara Saudi II yang penuh pergolakan, ulama Wahabi secara politik didukung oleh Amir Turki dan Faisal. Setelah menguasai Riyad, Amir Turki segera meminta `Abd al-Rahman ibn Hasan, cucu pendiri Wahabiyah, supaya kembali ke Riyad dan menduduki jabatan yang dulu dipegang kakeknya, yaitu menjadi pemimpin agama dan penasihat penguasa.

Ulama Wahabi menjadi kadi dan guru agama, sambil menyebarkan paham Wahabiyah di wilayah-wilayah yang dikuasai Amir Turki dan Faisal. Para ulama Wahabi, yang menguasai pengetahuan keagamaan yang bersumber dari kitab suci, hadis, dan keteladanan al-salaf al-salih. Selain itu, jika diingat bahwa banyak ulama Wahabi adalah keturunan dari Muhammad ibn `Abd al-Wahhab dengan julukan Al al-Syaikh, maka ulama Wahabi juga memiliki status sosial yang terhormat.

Kadi, yang juga wakil resmi Wahabiyah, menjadi arbitrator sengketa, khatib salat Jumat, imam salat, dan guru agama di masjid agung kota-kota. Jika dikaitkan dengan dukungan politik yang mereka peroleh dan kaitan “kelas” ulama dengan Al al-Syaikh, jelaslah tidak banyak ruang bagi penolakan terhadap paham Wahabi. Salah satu di antaranya adalah kota `Unayzah di wilayah Qasim. Wilayah Qasim, dengan dua kota utama `Unayzah dan Buraidah, menentang Faisal, memiliki kontak yang lebih sering dengan daerah Usmaniyah melalui perdagangan, sebagai jalur utama orang naik haji dari Irak dan negeri-negeri Muslim di Timur ke Makkah dan Madinah, dan pendidikan, serta kalangan ulamanya juga tidak pernah seluruhnya menjadi Wahabi sehingga dapat mempertahankan tradisi mereka. Kekuasaan dinasti Rasyidi di wilayah ini turut menopang semangat menentang Wahabi (Al-Fahad, 2004: 505; Al-Rasheed, 2002: ).

 

Pembentukan Negara Wahabi/Saudi III (1902-1932

Pada tahun 1902, `Abdul Aziz, putra `Abd al-Rahman ibn Sa`ud yang mengungsi ke Kuwait, memulai usaha meraih kembali kejayaan dinasti Saudi yang hilang. Dengan bantuan Syeikh Kuwait yang selama ini melindunginya, Ibn Saud – nama populer `Abdul Aziz – berhasil meraih Riyad dan mengumumkan pemulihan kembali kekuasaan dinasti Sa`ud di sana. Klan al-Sabah di Kuwait mendorong Ibn Sa`ud menaklukkan Riyad karena mereka takut kekuasaan Rasyidi semakin kuat dan luas – terutama karena aliansi Rasyidi dengan Khilafah Usmani – sehingga mengancam Kuwait (al-Rasheed, 40).

Pertarungan di Najd terjadi antara Ibn Sa`ud yang dibantu Kuwait dan Inggris melawan Ibn Rasyid yang dibantu Khilafah Usmani. Inggris ikut campur karena kuatir dukungan Khilafah Usmani terhadap Ibn Rasyid akan mengancam kepentingan mereka di Kuwait. Pada tahun 1906, wilayah Qasim direbut sehingga kekuasaan Ibn Sa`ud semakin dekat ke jantung klan Rasyidi di Najd utara. Selain Qasim, Ibn Sa`ud juga menguasai kota-kota penting lain seperti `Unayzah dan Buraydah. Najd praktis terbelah dua: separuh dikuasai Ibn Sa`ud dan separuh lagi dikuasai Ibn Rasyid.

Ibn Sa`ud mengalihkan sasaran ke Hasa, tempat di kawasan timur Jazirah Arabia yang banyak didiami masyarakat Syiah. Setelah Hasa akhirnya takluk pada 1913, Ibn Sa`ud mengadakan perjanjian dengan ulama Syiah yang menetapkan bahwa Ibn Sa`ud akan memberikan mereka kebebasan menjalankan keyakinan mereka dengan syarat mereka patuh kepada Ibn Sa`ud. Pada saat yang sama, Syiah tetap dianggap sebagai kalangan Rafidlah, artinya yang menolak iman (al-Rasheed, 41).

Pada 26 Desember 1915, ketika Perang Dunia I berkecamuk, Ibn Sa`ud menyepakati traktat dengan Inggris. Berdasarkan traktat ini, pemerintah Inggris mengakui kekuasaan Ibn Sa`ud atas Najd, Hasa, Qatif, Jubail, dan wilayah-wilayah yang tergabung di dalam keempat wilayah utama ini. Apabila wilayah-wilayah ini diserang, Inggris akan membantu Ibn Sa`ud. Traktat ini juga mendatangkan keuntungan material bagi Ibn Sa`ud. Ia mendapatkan 1000 senapan dan uang £20.000 begitu traktat ditandatangani. Selain itu, Ibn Sa`ud menerima subsidi bulanan £5.000 dan bantuan senjata yang akan dikirim secara teratur sampai tahun 1924. Sebagai imbalannya, Ibn Sa`ud tidak akan mengadakan perundingan dan membuat traktat dengan negara asing lainnya. Ibn Sa`ud juga tidak akan menyerang ke, atau campur tangan di, Kuwait, Bahrain, Qatar, dan Oman – yang berada di bawah proteksi Inggris. Traktat ini mengawali keterlibatan langsung Inggris di dalam politik Ibn Sa`ud (Nakash, 2006: 33-34; Al-Rasheed, 2002: 42).

Sementara itu, saingan Ibn Sa`ud di Najd, Ibn Rasyid, tetap bersekutu dengan Khilafah Usmaniah. Ketika Kesultanan Usmani kalah dalam Perang Dunia I bersama-sama dengan Jerman, klan Rasyidi kehilangan sekutu utama. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, Rasyidi dilanda persaingan internal di bidang suksesi. Perang antara Ibn Sa`ud dan Ibn Rasyid sendiri tetap berlangsung selama PD I dan sesudahnya. Akhirnya, pada 4 November 1921 dan setelah berbulan-bulan dikepung, Ha’il, ibukota Rasyidi, jatuh ke tangan Ibn Sa`ud yang dibantu Inggris melalui dana dan persenjataan. Penduduk oase subur di utara itu pun mengucapkan bay`ah ketundukan kepada Ibn Sa`ud.

Sesudah menaklukkan Ha’il, Ibn Sa`ud beralih ke Hijaz. Satu-demi-satu kota di Hijaz jatuh ke tangan Ibn Sa`ud. `Asir, wilayah di Hijaz selatan, jatuh pada 1922, disusul Taif, Makkah, dan Medinah di tahun 1924, dan Jeddah di awal tahun 1925. Pada tahun 1925 juga, di bulan Desember, Ibn Sa`ud menyatakan diri sebagai Raja Hijaz, dan pada awal Januari 1926 ia menjadi Raja Hijaz dan Sultan Najd dan daerah-daerah bawahannya. Untuk pertama kali sejak Negara Saudi II, empat wilayah penting di Jazirah Arabia, yaitu Najd, Hijaz, `Asir, dan Hasa, kembali berada di tangan kekuasaan klan Saudi. Pada tahun 1932, Ibn Saud telah berhasil menyatukan apa yang sekarang dikenal sebagai Kerajaan Saudi Arabia. Penemuan minyak di wilayah padang pasir itu memberikan Ibn Saud kekayaan berlimpah yang ia perlukan membangun negerinya. Pada tahun 1953 ia wafat dan digantikan oleh Raja Saud dan kemudian Raja Faisal.

 

Dua Ilustrasi Fatwa Wahabi

1.      Fatwa yang menghalalkan permintaan bantuan kepada Gubernur Usmaniyah

Ketika terjadi perang saudara di dalam tubuh klan Saudi pada abad XIX, `Abdullah yang sedang diperangi saudara-saudara dan keponakannya memutuskan untuk meminta bantuan dari Gubernur atau Wali Khilafah Usmaniyah yang berkedudukan di Bagdad, bernama Midhat Pasya. Masalahnya, dilihat dari paham Wahabiyah, adalah: apakah boleh meminta bantuan dan pertolongan dari orang-orang kafir dan musyrik seperti gubernur Khilafah Usmaniyah? Jawabannya, dalam situasi normal, tentu saja tidak.

Akan tetapi, `Abdullah berhasil mendapatkan fatwa dari salah seorang ulama,yaitu Muhammad ibn Ibrahim ibn `Ajlan. Menurutnya, meminta bantuan kepada Khilafah Usmaniyah tidak  slebih berdosa dari tindkan yang dilakukan Ibn Taymiyah ketika ia meminta bantuan dari orang-orang Mesir dan Suriah dalam perang melawan invasi pasukan Mongol di akhir abad ke-13 dan awal abad ke-14. Jadi, menurut `Ajlan, boleh meminta bantuan dari orang-orang kafir ketika ada darurah (yaitu situasi genting dan darurat sehingga yang tadinya dilarang menjadi diperbolehkan). Apalagi, panglima dan perwira tinggi pasukan dari Bagdad juga tampak soleh.

Fatwa di atas menyulut kontroversi di kalangan ulama Wahabi. Sebagian mengatakan fatwa itu tidak sah dan sebagian lagi, seperti Hamad ibn `Atiq, mengatakan bahwa Ibn `Ajlan sudah murtad. Ulama besar Wahabi saat itu, `Abd al-Latif ibn `Abd al-Rahman ibn Hasan Al al-Syaikh, menghantam argumen `Ajlan walaupun ia tidak memandangnya murtad. Ia bilang bahwa:

·        Suriah dan Mesir masa Ibn Taimiyah bukanlah kafir tapi muslim. Ibn Taimiyah sendiri pernah mengatakan bahwa negeri-negeri tersebut adalah darul islam.

·        Argumen mengenai kesalehan komandan dan perwira tidak dapat diterima karena banyak sekali orang-orang kafir yang nyata (kafir mu`ayyan) – seperti tokoh sufi semacam Ibn `Arabi dan Ibn al-Farid, adalah orang-orang yang terkenal kesalehannya.

·        Ada sebagian ulama yang membolehkan meminta bantuan orang-orang kafir atau nonmuslim, akant tetapi itu hanya dalam perang antara umat Islam melawan non-Muslim. Dalam kasus fatwa `Ajlan, yang berperang adalah pasukan Sa`ud melawan `Abdullah yang sama-sama muslim walaupun yang satu – yaitu pasukan Sa`ud, masuk kategori pemberontak (bughah).

·        Argumen dlarurah tidak dapat digunakan dalam kasus ini karena tidak terkait dengan agama dan iman dan hanya dalam rangka mempertahankan kekuasaan.

·        Masalahnya bukanlah boleh-tidaknya meminta bantuan Khilafah Usmaniyah. Sebab, penguasa Usmaniyah sendiri ingin datang, bertahan, dan memerintah di wilayah yang dikuasai Saudi/Wahabi (Al-Fahad, 2004: 501-504).

2.      Fatwa membolehkan meminta pertolongan Amerika dalam Perang Teluk 1990-1991.

Pada 1990, Alm Saddam Husein menginvasi Kuwait dan menimbulkan salah satu krisis dan kemudian perang penting setelah Perang Dingin. Dalam rangka menentang agresi dan invasi tersebut, Raja Saudi Arabia meminta bantuan terutama dari Amerika Serikat. Majelis ulama senior Arab Saudi mengeluarkan fatwa yang membolehkan tindakan tersebut dengan alasan dlarurah.

 

Beberapa peristiwa yang tidak ada fatwa yang melarang/membolehkannya

·        Traktat Ibn Sa`ud – Inggris pada 26 Desember 1915

·        `Abd al-Rahman, ayahanda Ibn Sa`ud, yang mengungsi ke Kuwait, dilindungi klan al-Sabah, dan mendapat insentif bulanan dari Khalifah Usmaniyah.

·        Penempatan pangkalan udara penting milik AS di Dhahran, dari 1942 sampai 1962.

 

 

« Older entries