KEKERASAN DALAM GERAKAN-GERAKAN ISLAM

Kursus ‘Islam and Civil Society’

KEKERASAN DALAM GERAKAN-GERAKAN ISLAM:

SEJARAH, DOKTRIN, DAN (PENGHANCURAN) PERADABAN

Mulai 23 Desember 2006 s/d 10 Maret 2007 (12 Pertemuan)

Waktu : Setiap Sabtu, Pukul 10.00-12.00

Tempat : Aula Mushalla Rahardja Paramadina

Pondok Indah Plaza I kav. UA 20-21

Jl. Metro Pondok Indah Jakarta Selatan.Tlp. (021) 7501969

Narasumber : Ihsan Ali Fauzi dan Samsu Rizal Panggabean

Pembuka KATA

Kursus ini ingin memperkenalkan sejarah, doktrin dan konteks global munculnya aksi-aksi kekerasan oleh beragam gerakan Islam. Penekanan pertama-tama akan diberikan kepada doktrin dan gerakan Wahhabisme, yang dikenal puritan dan ekstremis, yang pertamakali tumbuh di Semenanjung Arabia pada pertengahan abad kedelapanbelas, dan ekspansinya ke seluruh dunia Islam pada abad keduapuluh. Kemudian akan disajikan paparan dan analisis mengenai hubungan antara ekspansi Wahhabisme dan keterkaitannya dengan gerakan-gerakan Islamis. Selanjutnya, bagian ketiga kursus ini akan menyajikan konteks global tumbuhnya gerakan-gerakan Islam yang menghalalkan penggunaan cara-cara kekerasan: bagaimana hubungannya dengan Perang Dingin, keterkaitannya dengan aliansi antara pemerintahan Amerika Serikat dan Arab Saudi; upayanya untuk merumuskan kembali doktrin jihad; dan kaitannya dengan pertumbuhan gerakan terorisme global. Akhirnya, kursus ini akan ditutup dengan melihat jejak-langkah Wahhabisme di Indonesia dan refleksi mengenai alternatif-alternatifnya.

Berbagai bentuk kekerasan apa pun –yang terjadi di Indonesia dan dunia pada umumnya–adalah sesuatu yang tidak sehat bagi penguatan civil society. Sementara aransemen civil society berangkat dari pengakuan akan terdapatnya beragam kepentingan dalam masyarakat, pertumbuhan civil society yang kuat dan sehat mempersyaratkan disalurkannya kepentingan-kepentingan itu dengan cara-cara damai. Maka fenomena gerakan Islam yang menghalalkan penggunaan cara-cara kekerasan adalah tantangan berat bagi pertumbuhan civil society di mana pun. Hal ini perlu dimengerti secara baik, agar respons terhadapnya juga memadai, dan dunia yang beradab bisa dicoba-tegakkan.

Tujuan

Secara garis besar, tujuan kursus ini adalah untuk memperluas wawasan peserta mengenai akar-akar doktrinal dan empirik menguatnya kampanye penggunaan kekerasan oleh gerakan-gerakan Islam kontemporer, yang mengancam perkembangan civil society yang sehat dan kuat terutama di negeri-negeri Muslim.

Materi Kursus

Sesi 1: Pengantar Umum dan Sejarah Ringkas Tumbuhnya Wahhabisme

Sesi 2: Doktrin Wahhabisme dan Implikasi Sosial-Politiknya

Sesi 3: Ekspansi Wahhabisme, Pengaruh, dan Dampaknya di Dunia Islam

Sesi 4: Wahhabisme, Salafisme, dan Islamisme: Ketika Kekerasan Mulai Dibolehkan

Sesi 5: Aliansi yang Tak-Suci: Perang Dingin dan Kerjasama AS, Arab Saudi, Wahhabisme

Sesi 6: Pukulan Balik I: Menjelaskan Osama bin Laden

Sesi 8: Pukulan Balik II: Naik dan Jatuhnya Rezim Taliban

Sesi 9: Menafsirkan kembali Doktrin Jihad, Kekerasan, Terorisme

Sesi 10: Wahhabisme dan Islam di Indonesia

Sesi 11: Konteks lokal dan Global Radikalisme Islam di Indonesia

Sesi 12: Penutup: Seminar Wahhabisme dan alternatif-alternatifnya

Tenaga Pengajar

Kursus ini akan disampaikan oleh Ihsan Ali-Fauzi, mahasiswa pascasarjana ilmu politik Ohio State University dan staf peneliti Yayasan Paramadina dan Samsu Rizal Panggabean, Direktur Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada.

WAHHABISME SEBAGAI “ISLAM PURITAN”

Pointers Diskusi “Wahhabisme” Paramadina 2 (5 Januari 2007)

 

WAHHABISME SEBAGAI “ISLAM PURITAN”:

TENTANG IBN AL-WAHHAB, AJARAN WAHHABISME,

DAN AWAL PERSEKUTUANNYA DENGAN DINASTI IBN SAUD

Ihsan Ali-Fauzi

 

Nama dan Penyebutan: Wahhabisme dan Puritanisme Islam

 

Aliran Islam yang akan dibicarakan di bawah dikenal dengan beberapa nama: Wahhabiyah, al-Muwahhidun, Ahl al-Tawhid, Salafiyah, dan Islam Puritan.  Semua nama ini mengandung bias masing-masing.

 

·        Wahhabiyah, dari nama pendirinya, Muhammad ibn `abd al-Wahhab (netral?)

·        Al-Muwahhidun dan Ahl al-Tawhid (penyebutan-diri – kritik banyak orang)

·        Salafiyah (claiming – tidak semua Salafi setuju, “mengerdilkan” Salafiyah)

·        Sunni yang “keras” (penulis Barat – kritik Algar: 2-3; bukan bagian dari Aswaja, praktis “non-Syi`ah”)

·        “Islam Puritan” (Khaled Abou el-Fadl, 16-19): versus “Islam moderat.”  Alasan: “The distinguishing characteristic of this group is the absolutist and uncompromising nature of its beliefs.  In many ways, this orientation tends to be purist, in the sense that it is intolerant of competing points of view and considers pluralist realities to be a form of contamination of the unadultered truth” (p. 18).

 

Insert: Ibn `Abd al-Wahhab dan Ibn Taymiyyah (Algar)

Karena ketertarikan yang ditunjukkan Muhamad b. ‘Abd al-Wahhab pada karya-karya Ibn Taymiyah, Wahhabisme senantiasa diklaim mencerminkan kemunculan yang tertunda dari warisan Ibn Taymiyah.  Klaim ini sulit dipertahankan, kendati tidak lebih tidak beralasan daripada upaya untuk mengaitkan pendiri Wahhabisme dengan Syah Waliyullah.  Oleh sebab itu, bukan tanpa alasan jika Donald P. Little pernah menulis sebuah artikel berjudul “Apakah Ibn Taymiyah have a screw loose?”6  Namun demikian, apapun pendapat orang tentang posisi atau sikap Ibn Taymiyah, tidak diragukan bahwa ia adalah pemikir yang jauh lebih telaten dan teliti dan seorang sarjana yang jauh lebih produktif dibandingkan dengan Muhammad b. ‘Abd al-Wahhab.  Lebih dari itu, perbedaan kunci antara kedua orang ini adalah bahwa kendati Ibn Taymiyah menentang aspek-aspek tertentu Sufisme pada zamannya yang ia pandang keliru atau menyimpang, namun ia tidak menolak Sufisme secara keseluruhan.  Ia sendiri adalah pelopor tarikat Qadiriyyah.  Sebaliknya, Muhammad b. ‘Abd al-Wahhab menolak tasawuf secara lebih luas, akar maupun cabangnya, bukan hanya beberapa manifestasi tertentu dari tasawuf. Wahhabisme pada dasarnya adalah sebuah gerakan tanpa preseden. Gerakan ini lahir dari dunia antah-berantah, dalam arti bukan hanya muncul dari wilayah gersang Najad, tetapi juga tidak memiliki preseden yang penting dalam sejarah Islam.  (Algar, 9-10)

 

Muhamad Ibn `Abd al-Wahhab

 

Wahhabisme atau Wahhabiyah diambil dari Syeikh Muhammad ibn `Abd al-Wahhab (1703-1792), pendiri gerakan puritanisme keagamaan di Semenanjung Arabia yang pada akhirnya berujung pada pembentukan negara Islam Arab Saudi.  Ia dilahirkan pada tahun 1703 di Uyaina, sebuah kota yang sekarang ini sudah tidak ada lagi, di wilayah Najd, Arabia.  Ia memperoleh pendidikan agama, dan pernah belajar di Madinah.  Ia kemudian berkelana ke mana-mana, berkunjung dan belajar ke tempat-tempat seperti Syria, Irak, Kurdistan, dan Persia.  Ketika kembali ke Arabia, ia mulai mengajarkan bentuk Islam yang puritan, yang menyerukan kaum Muslim untuk kembali kepada dasar-dasar Islam seperti yang dikemukakan dalam al-Qur’an dan hadis, tentunya sebagaimana yang ia sendiri pahami dan tafsirkan.

 

Pada sekitar tahun 1777, ia tinggal di Dariyah, Arabia, dan di sana ibn al-Wahhab menjadi “pemimpin spiritual” keluarga besar Sa`ud.  Pada masa itu, klan Sa`ud adalah sebuah kelompok pembesar atau elite lokal yang sedang berusaha untuk memperluas pengaruh dan wewenang.  Wahhab lalu menandatangani semacam “perjanjian kerja sama” dengan Muhammad ibn Sa`ud, pemimpin klan di atas.  Ibn al-Wahhab dan pengikut-pengikutnya akan mendukung upaya-upaya keluarga ibn al-Sa`ud untuk memperluas pengaruh dan wewenang mereka, dan keluarga al-Sa`ud – sebagai konpensasinya – akan menyebarkan versi Islam Wahhabi yang puritan itu.

 

Tentang pertemuan keduanya di Oasis Dir`iyyah.  Menurut Abu Hakimah, salah satu penulis sejarah ibn al-Wahhab:

Muhammad ibn Sa`ud menyambut Muhammad ibn al-Wahhab dan berkata, “Oasis ini milikmu, dan jangan takut kepada musuh-musuhmu.  Dengan nama Allah, bahkan jika semua [orang] Najd dipanggil untuk menyingkirkan kamu, kami tidak akan pernah setuju untuk mengusirmu.”  Muhammad ibn `Abd al-Wahhab menjawab, “Anda adalah pemimpin mereka yang menetap di sini dan Anda adalah seorang yang bijak.  Saya ingin Anda menyatakan sumpah Anda kepada saya bahwa Anda akan melaksanakan jihad (perang suci) terhadap orang-orang kafir.  Sebagai imbalannya, Anda akan menjadi imam, pemimpin masyarakat Muslim, dan saya akan menjadi pemimpin dalam masalah-masalah keagamaan.  (dikutip dalam al-Rasheed, 2002: 17).

 

Dengan terbentuknya koalisi antara Ibn Sa`ud dan `Abd al-Wahhab, Wahhabiyah menjadi ideologi keagamaan bagi suatu unifikasi antarsuku di Arabia Tengah dan apa yang dapat disebut sebagai gerakan Wahhabiyah pun dimulai.  Sebagai imam kembar gerakan Wahhabiyah, Ibn Sa`ud dan `Abd al-Wahhab menjadi pemimpin spiritual dan temporal wilayah itu.

 

Banyak deskripsi mengenai keberhasilan ekspansi Wahhabi-Saudi yang awal menekankan fakta bahwa raid (apa sih terjemahannya???) sejalan dengan praktik-praktik kesukuan yang dominan kala itu.  Sekalipun mengandung kebenaran, hal ini menyepelekan pentingnya dimensi spiritual koalisi itu, yang menjadi daya tarik sedikitnya bagi sebagian pengikut Wahhabi yang awal.  Selain keuntungan material, Wahhabisme juga menawarkan penyelamatan bukan saja di dunia ini, melainkan juga di akhirat kelak.  Menurut sejarawan Madawi al-Rasheed (2002: 20), al-Wahhab membawa sesuatu yang baru, yakni pentingnya tawhid, ke dalam tradisi keislaman Najd yang sebelumnya didominasi fiqh.

 

Insert: Karya-karya Tipis ibn al-Wahhab (Algar)

Seluruh karya Muhammd b. ‘Abd al-Wahhab sangat tipis, baik dari segi isi maupun ukurannya. Dalam rangka menjustifikasi pujiannya bagi Muhammd b. ‘Abd al-Wahhab, al-Faruqi menambahkan daftar “isu-isu lebih lanjut” yang ia susun sendiri pada terjemahan-Inggrisnya atas setiap bab Kitab al-Tauhid. Hal ini menyiratkan bahwa seolah-olah sang pengarang, yakni Muhammd b. ‘Abd al-Wahhab, pada mulanya telah mendiskusikan sejumlah “isu” yang muncul dari hadis-hadis di buku itu, yang sebenarnya tidak ia lakukan. Demikian pula, sebuah edisi Kasyf al-Syubuhat karya Muhammd b. ‘Abd al-Wahhab yang diterbitkan di Riyadh pada 1388 H/1968 M memiliki catatan pada halaman judulnya, “dijelaskan secara lebih terperinci (qama bi tafsilihi) oleh ‘Ali al-Hamad al-Salihi.” Sebuah buku lain yang dinisbatkan kepada Muhammd b. ‘Abd al-Wahhab, Masa’il al-Jahiliyyah (Madinah: al-Jami’ah al-Islamiyah, 1395/1975), memuat keterangan “diperluas oleh (tawassa’a fiha) al-Sayyid Mahmud Syukri al-Alusi”. Di dalam kedua karya yang terakhir disebutkan itu, tidak ada petunjuk di mana kontribusi Muhammd b. ‘Abd al-Wahhab berakhir, dan di mana kontribusi para pengurai atau pemberi syarah itu bermula. Tampaknya para pelindung Wahhabisme merasa malu dengan ketipisan karya Muhammd b. ‘Abd al-Wahhab, sehingga mereka memandang karya itu perlu dipertebal ukurannya.  (14-15)

 

Insert: Tentang `Abd al-Wahhab, dari sumber-sumber Arab:

·        Mendasarkan diri pada Abu Bakar untuk membakar hidup-hidup mereka yang ketahuan melakukan syirik atau bersikap munafik (p. 54-55).  Pengaruhnya terhadap Omar Abd Rahman di Afghanistan dan Irak (website mengenai penganiayaan terhadap tentara AS)

·        Mengenai pribadi `Abd al-Wahhab.  Adiknya sendiri, Sulayman ibn `Abd al-Wahhab, menulis risalah (al-Sawa’iq al-Ilahiyyah) yang mengecam kepribadian, pendidikan, dan ajaran-ajaran abangnya.  Misalnya tentang taqlid, yang sifatnya tebang pilih: ia juga taqlid kepada Ibn Taymiyah, hanya bagian-bagiannya yang keras.  Juga dalam hal al-muwahhidun (the monotheist).

 

Insert: Muthawwa`a dan Ikhwan

·        Sekalipun sekarang istilah muthawwa`a mengacu kepada profesi khusus tertentu di dalam lembaga keagamaan, pada awal pembentukannya di awal abad keduapuluh istilah ini memiliki makna yang lebih luas.  Pada 1900, seorang muthawwa` adalah anggota kelompok elite yang telah berhasil menyelesaikan pendidikan keagamaan selama periode tertentu kepada seorang ulama, khususnya di kota Najd (terutama Riyadh) dan Qasim (terutama `Unayzah), yang karenanya ia kemudian menjadi spesialis dalam hukum Islam dan soal-soal yang terkait dengan ibadah ritual.  Istilah muthawwa` mengandung makna ketundukan dan pemaksaan.  Seorang muthawwa` adalah seorang yang secara sukarela mengawasi ketaatan kepada Islam dan pelaksanaan ibadah-ibadah ritual.[1]

·        Dalam proses pembentukan negara Wahhabi, peran essensial muthawa`a adalah di dalam pengawasan terhadap dilaksanakannya ritual-ritual Islam, menjadikan rezim Wahhabi sebagai rezim “discipline and punish.”  Mereka memastikan tunduk dan penerimaan penduduk Arabia terhadap otoritas politik Ibn Sa`ud.  Pendidikan mereka di madrasah-madrasah Wahhabi mengantarkan mereka kepada keyakinan tentang negara sebagai partnership antara imam yang simbolik, sebagai “pemimpin masyarakat,” dan para spesialis keagamaan.  Mereka berbagi tugas: yang pertama memberi dukungan politik bagi tugas pengawasan agama oleh kelompok yang terakhir.

·        Selain itu, peran essensial dalam pembentukan negara Wahhabi juga dimainkan oleh kelompok yang disebut Ikhwan, kekuatan militer yang dibentuk dari unsur-unsur suku, dan yang dengannya `Abd al-`Aziz berhasil menduduki Hasa.  Seorang sejarawan mendefinisikan Ikhwan sebagai: “[orang-orang] Badui yang menerima ajaran-ajaran pokok ortodoksi Islam aliran Hanbali yang disampaikan kepada mereka oleh `Abd al-Wahhab yang sudah dilupakan atau tidak lagi diacuhkan oleh bapak atau kakek mereka.  Mereka juga adalah orang-orang Badui yang, melalui pendekatan persuasif pada missionaris agama dan karena bantuan material yang disediakan untuk mereka oleh `Abd al-`Aziz, bersedia meninggalkan cara hidup nomadik mereka untuk tinggal di Hijrah yang dibangun oleh `Abd al-`Aziz khusus untuk mereka” (dikutip dalam al-Rasheed, 2002: 59)

 

Beberapa Ajaran Pokok Wahhabisme

 

1.      Kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang asli, seperti yang ada dalam al-Qur’an dan hadis;

2.      Kebutuhan untuk menyatukan iman dan perbuatan;

3.      Pelarangan atas semua pandangan dan praktik yang tidak ortodoks.  Hal ini menyebabkan Wahhab untuk sepanjang hidupnya memerangi praktik-praktik seperti penyembahan kepada para wali dan ziarah ke makam-makam dan tempat-tempat keramat untuk memperoleh berkah;

4.      Pembentukan sebuah negara Islam yang secara khusus akan didasarkan kepada penerapan hukum-hukum agama.  Sejauh keluarga Sa`ud berhasil memperluas pengaruh dan wewenangnya di Arabia, sesuatu yang mendekati sebuah negara Islam sudah terbentuk.

 

Muhammad ibn `Abd al-Wahhab membentuk sebuah gerakan yang pengaruhnya lebih besar dari sekadar berdirinya Arab Saudi sekarang ini.  Pengaruh Wahhabi telah menyebar ke seluruh dunia Islam bahkan hanya lewat ekspose versi Islam ini kepada jutaan jamaah haji yang pergi ke Mekkah setiap tahunnya.  Wahhabi mengajarkan bahwa kaum Muslim yang benar harus memiliki kepedulian terhadap politik dan jalannya pemerintahan di sebuah negara.  Jika para penguasa mereka gagal bertindak dan berperilaku sebagai Muslim yang baik, jika mereka gagal membangun suatu negara di mana hukum-hukum Syari`ah dilembagakan dan dijalankan, maka setiap Muslim memiliki kewajiban keagamaan untuk menggantikan penguasa itu dan pemerintahannya yang tidak Islami.  Sekalipun corak khusus keislaman versi al-Wahhab yang puritan itu bukan merupakan tujuan akhir semua pembaru Muslim dewasa ini, pesan-pesannya mengenai aktivisme politik dan kaitan antara iman dan perbuatan jelas sudah tertanam dalam.

 

Insert: Beberapa Ciri Wahhabisme (el-Fadl)

·        Islam yang sederhana; warna Arab (suku badui) yang kuat: mencurigai apa saja yang tidak datang dari Arab: filsafat (Yunani); mistisisme (Persia); praktik sufi dan silsilah (Turki);

·        Pluralisme sebagai sebab perpecahan umat Islam; atau Islam atau kafir, tidak ada Islam yang tengah; Muslim yang dianggap bukan Muslim dikafirkan, dan darahnya dianggap halal

·        Penafsiran literal terhadap sumber agama: penggunaan pikiran dicerca; Fakhruddin al-Razi, misalnya, masuk ke dalam kelompok kuffar.

·        Pemiskinan intelektual karena kembali ke al-Qur’an dan Sunnah: anti-fikih klasih dan tidak ada apresiasi terhadap sejarah Islam;

·        Kreativitas dan kesenangan pada musik atau puisi, misalnya, dianggap bagian dari praktik menyekutukan Tuhan.  Implikasi paling akhir: penghancuran patung-patung Budha di Bamiyan oleh pemerintahan Taliban.

·        Doktrin al-wara’ wa al-bara’ (loyalitas dan disosiasi): jangan berteman, berskutu dan meniru musuh non-Islam dan Muslim heretik, musyrik. Sampai yang kecil-kecil: tidak boleh menjawab salam; menyebut panggilan “saudara” dan lainnya.  Pengaruh belakangan: pandangan Sayyid Quthb bahwa sekarang adalah jahiliyah qarn al-`isyrin.

·        Anti Kekaisaran Turki Utsmani; karena alasan etnosentrisme

·        Kesederhanaan, ketegasan, dan absolutisme: attraktif bagi pola hidup suku Badui

 

Insert: Beberapa contoh inkonsistensi, menurut el-Fadl (p. 53)

·        While condemning all cultural practices and insisting on strict submission to Islam, in reality Wahhabism was thoroughly a construct of its own culture – that is, the Bedouin culture of the Najd region of Arabia (part of the modern-day Saudi Arabia).

·        While insisting that there was only one true Islam, in reality Wahhabism universalized its own culture and declared it to be the one true Islam.

·        While consistently condemning non-Muslim influences and rejecting any form of cooperation with the West, in reality Wahhabis were incited and supported by English colonialists to rebel against the Ottomans, which effectively meant that Wahhabis side with non-Muslim Englishmen against their Muslim Ottoman enemies.

·        Moreover, while condemning all forms of nationalism as an evil Western invention, in reality Wahhabism was a pro-Arab nationalistic movement that rejected Turkish dominance over Arabs under the guise of defending the one true Islam.

·        Fundamentally, while the Wahhabis of the eighteenth century took the culture of the Bedouin od Najd and universalized it into the Islam, the Wahhabis of today take the culture of Saudi Arabia and universalize it into the singularly true Islam.

 


 

 

NAMA WAHHABISME: “Apa yang disajikan ke hadapan pembaca ini adalah semacam survei terbatas menegnai sejarah, doktrin dan arti penting Wahhabisme dewasa ini.  Orang-orang yang bersimpati pada ajaran-ajaran yang disebut sebagai Wahhabisme di sini tentu mungkin keberatan dengan penggunaan penamaan tersebut, karena istilah itu diberikan oleh orang-orang yang berada di luar gerakan tersebut, dan kerap kali dengan makna yang terkesan buruk.  Kaum Wahhabi sendiri lebih memilih istilah al-Muwahhidun atau Ahl al-Tawhid untuk menamakan kelompok mereka.  Namun, nama yang mereka gunakan sendiri itu justru mencerminkan keinginan untuk menggunakan secara eksklusif prinsip tawhid, yang merupakan landasan Islam itu sendiri.  Hal ini menyiratkan pengabaian terhadap seluruh kaum Muslim yang lain, yang mereka cap telah melakukan syirik.  Tidak ada alasan untuk menerima monopoli atas prinsip tawhid tersebtu, dan karena gerakan yang menjadi pokok pembahasan ini merupakan karya seorang manusia, yakni Muhammad b. ‘Abd al-Wahhab, maka cukup beralasan dan lazim untuk menyebut mereka “Wahhbisme” dan “kaum Wahhabi”.  (Algar, 2003: 1-2)

 

GERAKAN MARGINAL/BUKAN SUNNI: Ada dua catatan pendahuluan lainnya.  Pertama, dalam sejarah pemikiran Islam yang telah berlangsung lama dan sangat kaya, Wahhabisme tidak menempati tempat yang khususnya penting.  Secara intelektual marjinal, gerakan Wahhabi memiliki nasib baik muncul di Semenanjung Arab (meski di Najad, sebuah tempat yang relativ jauh dari semenanjung itu) dan karena itu dekat dengan Haramayn, yang secara geografis merupakan jantung dunia Muslim.  Keluarga Saudi, yang menjadi patron gerakan Wahhabisme, bernasib baik ketika pada abad keduapuluh mereka memperoleh kekayaan minyak yang luar biasa, yang sebagiannya telah digunakan untuk menyebarluaskan Wahhabisme di dunia Muslim dan lainnya. Jika tidak ada dua faktor tersebut, Wahhabisme mungkin saja hanya dicatat dalam sejarah sebagai gerakan sektarian yang marjinal dan berumur pendek.  Kedua faktor yang sama pula, yang diperkuat dengan adanya sejumlah kesamaan dengan kecenderungan-kecenderungan kontemporer lainnya di dunia Islam, telah menyebabkan Wahhabisme dapat bertahan lama.  (Algar, 2003: 2)

 

BUKAN SUNNI: Kedua, Wahhabisme adalah sebuah fenomena yang sepenuhnya unik, yang perlu disebut sebagai suatu aliran pemikiran atau bahkan sekte tersendiri.  Kadang kaum Wahhabi dicirikan, khususnya oleh para pengamat non-Muslim yang mencari deskripsi ringkas mengenainya, sebagai kaum Sunni yang “ekstrem” atau sebagai kaum Sunni yang “konservatif,” dengan kata-kata sifat seperti “stern” atau “austere” ditambahkan di belakangnya, untuk memberi ukuran yang lebih pasti.  Namun, kalangan Sunni yang jauh lebih dikenal sudah lama mengamati bahwa kaum Wahhabi, sejak pertamakali aliran mereka dikumandangkan, tidak bisa dimasukkan sebagai bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah.  Hal itu karena hampir semua praktik, tradisi dan keyakinan yang dikecam oleh Muhammad b. `Abd al-Wahhab sudah lama diakui sebagai bagian integral dari Islam Sunni, diuraikan dalam banyak sekali literatur dan diterima oleh sebagian besar kaum Muslim.  Persis karena alasan ini, maka banyak ulama yang hidup pada masa ketika Wahhabisme pertamakali dikampanyekan mengecam pendukungnya sebagai bukan bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah.  Bahwa sekarang Wahhabisme dipandang sebagai bagian dari Sunni, hal itu menunjukkan bahwa istilah “Sunni” mulai memperoleh makna yang luar biasa loose…. (Algar, 2003: 2-3)

 

Pembentukan Negara Wahhabiyah

 

TIGA PERIODE PEMBENTUKAN NEGARA WAHHABI:

Negara Wahhabi pertama (1745-1818) yang gagal;

negara Wahhabi yang kedua yang juga gagal (1824-1891);

pembentukan negara Saudi yang bertahan hingga sekarang (berdiri pada 1902 dan terus hingga 1932)

 

 

Mereka dengan sengaja mengaitkan gerakan mereka dengan kaum Khawarij, kelompok puritan dan ekstremis pertama dalam sejarah Islam, dan seperti kelompok pendahulunya yang fanatik itu, mereka memfokuskan kemarahan mereka pertama-tama ke dalam, untuk menghancurkan apa yang mereka pandang sebagai sebab-sebab kemunduran kaum Muslim.  Karena itu, mereka mulai memerangi suku-suku yang ada di sekeliling mereka dan memaksa suku-suku tersebut untuk mengikuti versi Islam mereka.

 

Di bawah kepemimpinan militer `Abd al-`Aziz, anak Muhammad ibn Sa`ud, mereka mulai ekspansi mereka ke Riyadh, Kharj, dan Qasim di wilayah Arabia Tengah pada 1792.  Setelah berhasil menduduki wilayah itu, mereka melanjutkan ekspansi ke timur ke Hasa, dan menghancurkan kekuasaan Banu Khalid di wilayah itu.  Para pengikut Syi`ah di kawasan ini, yang jumlahnya cukup banyak, dipaksa untuk menyerah dan mengikuti Wahhabisme atau dibunuh.  Lalu, ekspansi dilanjutkan ke Teluk Persia dan Oman: Qatar mengakui kekuasaan Saud-Wahhabi pada 1797, dan Bahrain menyusul tak lama kemudian.  Mereka semua diwajibkan untuk membayar zakat ke Dir`iyyah.

 

Ekspansi awal Wahhabi-Saudi yang menentukan berlangsung ke barat, khususnya ke Hijaz, di mana dua kota suci Islam, Mekkah dan Madinah, berada.  Dalam ekspansi ini mereka berhadapan dengan otoritas keagamaan yang lain, yakni Syarif Mekkah, yang memperoleh legitimasinya dari Khalifah Turki Usmani.  Terlepas dari upaya keras orang-orang Hijaz untuk bertahan, koalisi Wahhabi-Saud berhasil memantapkan hegemoni mereka di Ta’if pada 1802, Mekkah pada 1803, dan Madinah setahun kemudian.  Setelah kemenangan itu, para ulama Wahhabi memerintahkan penghancuran kubah yang ada di makam-makam Nabi Muhammad dan para sahabatnya di Madinah.

           

Kemenangan di Hijaz mendorong koalisi Wahhabi-Sa`ud untuk meneruskan ekspansi ke wilayah selatan ke `Asir, di mana para pemimpin lokalnya segera memeluk Wahhabisme dan ikut serta dalam ekspansi selanjutnya ke Yaman.  Kuatnya pertahanan orang-orang Yaman, ditambah dengan kondisi geografis yang kurang dikuasai pasukan Wahhabi, membuat Yaman tidak berhasil ditundukkan sepenuhnya.

 

Ekspansi lain mencapai ladang subur Mesopotamia, sekaligus mengancam bagian-bagian penting daerah kekuasaan Turki Usmani, Pada 1802, di hari suci `Asyura, mereka melabrak tembok Karbala dan membunuh 2.000-an pengikut Syi`ah yang sedang bersehbahyang sambil merayakan Muharram.  Dengan kemarahan yang tak terkontrol, mereka menghancurkan makam-makam Ali, Husayn, imam-imam Syi`ah, dan khususnya kepada makam puteri Nabi Fatimah.

 

KEBRUTALAN SA’UD DI KARBALA: Laporan hidup mengenai kebrutalan tersebut, yang diberikan oleh pencatat sejarah Saudi, ‘Utsman b. ‘Abdullah b. Bisyr, dalam `Unwan al-Majd fi Tarikh Najd:

Pada tahun 1216 Sa’ud [anak ‘Abd al-‘Aziz] mulai bergerak dengan dukungan tentara dan pasukan kavaleri yang direkrutnya dari kalangan penduduk kota maupun suku-suku nomaden di Najad, dari wilayah selatan, dari Hijaz, Tihama dan tempat-tempat lainnya.  Ia mencapai Karbala dan mulai memerangi penduduk kota al-Husayn itu.  Ini terjadi pada bulan Dzu’l-Qa’da.  Kaum Muslim [yakni, kaum Wahhabi] menaiki tembok, memasuki kota secara paksa, dan membunuh mayoritas penduduknya di pasar-pasar maupun di rumah-rumah mereka.  Lalu mereka menghancurkan kubah di atas makam al-Husayn yang dibangun oleh orang-orang yang percaya dengan hal-hal semacam itu.  Mereka mengambil apa saja yang ada di dalam kubah itu dan di sekelilingnya.  Mereka mengambil pagar-pagar teralis di sekeliling kubah itu, yang dihiasai dengan batu emerald, batu ruby dan batu-batu permata lainnya.  Mereka menjarah apa saja yang ada di kota itu: berbagai macam harta-benda, senjata, pakaian, karpet, emas, perak, salinan-salinan al-Quran yang indah, dan benda-benda lainnya yang tak terbilang.  Mereka tinggal di Karbala hingga pagi hari, dan pada siang harinya mereka pergi dengan membawa segala macam harta-benda yang telah mereka kumpulkan, dan mereka telah membunuh sekitar dua ribu orang.  Lalu Sa’ud pergi meninggalkan kota itu melewati jalan Ma’ al-Abyad.  Di hadapan Sa’ud terkumpul harta jarahan.  Ia mengambil untuk dirinya sendiri seperlima bagian dari harta jarahan tersebut, lalu membagikan sisanya di antara kaum Muslim [yakni, kaum Wahhabi], dengan satu bagian untuk para prajurit pejalan kaki dan dua bagian bagi para prajurit berkuda.  Lalu ia pulang ke rumah. (Dikutip dalam Algar, 2003: 24-25)

 

Hal ini membuat marah pengikut Syi`ah, dan pada 1803, pemimpin klan Saudi `Abd al-`Aziz dibunuh oleh seorang pengikut Syi`ah di sebuah masjid di Dir`iyyah (al-Rasheed, 2002: 22).

 

Terlepas dari itu, kaum Wahhabi terus melanjutkan gerakan mereka ke utara menuju Mesopotamia dan jantung Kekaisaran Turki Usmani.  Baru pada titik inilah mereka memperoleh perhatian dari Khalifah Turki Usmani.  Pada 1818, Perdana Menteri Mesir, Muhammad Ali (1769-1849), atas persetujuan Khalifah Usmani, mengirim pasukannya ke Semenanjung Arabia.  Tentara Mesir ini dengan mudah mengalahkan kaum Wahhabi yang sebenarnya miskin peralatan perang dan kurang terlatih.  Kedua kota suci Mekkah dan Madinah kembali berada di bawah kekuasaan Syarif dan kaum Wahhabi dipaksa untuk mundur ke Najd, menandai berakhirnya upaya pembentukan negara Wahhabi yang pertama.

 

Setelah tentara Mesir mundur, upaya pembentukan negara Wahhabi kembali dilakukan koalisi Wahhabi-Saud pada 1824, ketika Turki ibn `Abdullah, anak penguasa Sa`udi yang dihukum mati oleh Khalifah Usmani, kembali ke Riyadh.  Setelah menduduki Riyadh, ekspansinya berlanjut ke `Arid, Kharj, Hutah, Mahmal, dan daerah-daerah lain sekitar itu.  Pada 1830, ia berhasil memapankan otoritasnya di wilayah Hasa.

 

Sekalipun seorang imam Wahhabi tulen, Turki sebenarnya cukup hati-hati untuk tidak mengganggu otoritas Usmani-Mesir dalam mengelola jamaah haji di Hijaz.  Upayanya untuk kembali membentuk sebuah negara Wahhabi gagal bukan karena serangan Turki Usmani, melainkan karena konflik-konflik internal di antara para pemimpin klan Sa`ud sendiri.  Karena alasan ini, otoritas mereka dikalahkan oleh klan Rasyidi.

 

Upaya untuk kembali mendirikan sebuah negara Wahhabi, dan kali kini berhasil, berlangsung di awal abad keduapuluh, persisnya di tahun 1902, di bawah komando Abd al-Aziz (1880-1953), anak Ibn Saud yang sebelumnya mengasingkan diri ke Kuwait.  Sekali lagi, sebuah aliansi antara keluarga kerajaan dan para ulama Wahhabi menjadi kunci keberhasilannya.  Dalam konteks ini, dua institusi esensial harus disebutkan: muthawwa`a dan Ikhwan.

 

Sekalipun sekarang istilah muthawwa`a mengacu kepada profesi khusus tertentu di dalam lembaga keagamaan, pada awal pembentukannya di awal abad keduapuluh istilah ini memiliki makna yang lebih luas.  Pada 1900, seorang muthawwa` adalah anggota kelompok elite yang telah berhasil menyelesaikan pendidikan keagamaan selama periode tertentu kepada seorang ulama, khususnya di kota Najd (terutama Riyadh) dan Qasim (terutama `Unayzah), yang karenanya ia kemudian menjadi spesialis dalam hukum Islam dan soal-soal yang terkait dengan ibadah ritual.  Istilah muthawwa` mengandung makna ketundukan dan pemaksaan.  Seorang muthawwa` adalah seorang yang secara sukarela mengawasi ketaatan kepada Islam dan pelaksanaan ibadah-ibadah ritual.[2]

 

Dalam proses pembentukan negara Wahhabi, peran essensial muthawa`a adalah di dalam pengawasan terhadap dilaksanakannya ritual-ritual Islam, menjadikan rezim Wahhabi sebagai rezim “discipline and punish.”  Mereka memastikan tunduk dan penerimaan penduduk Arabia terhadap otoritas politik Ibn Sa`ud.  Pendidikan mereka di madrasah-madrasah Wahhabi mengantarkan mereka kepada keyakinan tentang negara sebagai partnership antara imam yang simbolik, sebagai “pemimpin masyarakat,” dan para spesialis keagamaan.  Mereka berbagi tugas: yang pertama memberi dukungan politik bagi tugas pengawasan agama oleh kelompok yang terakhir.

 

Selain itu, peran essensial dalam pembentukan negara Wahhabi juga dimainkan oleh kelompok yang disebut Ikhwan, kekuatan militer yang dibentuk dari unsur-unsur suku, dan yang dengannya `Abd al-`Aziz berhasil menduduki Hasa.  Seorang sejarawan mendefinisikan Ikhwan sebagai:

 

[orang-orang] Badui yang menerima ajaran-ajaran pokok ortodoksi Islam aliran Hanbali yang disampaikan kepada mereka oleh `Abd al-Wahhab yang sudah dilupakan atau tidak lagi diacuhkan oleh bapak atau kakek mereka.  Mereka juga adalah orang-orang Badui yang, melalui pendekatan persuasif pada missionaris agama dan karena bantuan material yang disediakan untuk mereka oleh `Abd al-`Aziz, bersedia meninggalkan cara hidup nomadik mereka untuk tinggal di Hijrah yang dibangun oleh `Abd al-`Aziz khusus untuk mereka. (Dikutip dalam al-Rasheed, 2002: 59)

 

Selain kedua kekuatan itu, aliansi Wahhabi-Sa`ud kali ini juga dibantu pasukan asing.  Ketika seabad sebelumnya tentara Mesir kembali dari menduduki-kembali tanah suci, para penguasa Saudi-Wahhabi menarik pelajaran berharga bahwa mereka tidak akan pernah dapat menaklukkan Kekhalifahan Turki Usmani dengan tangan mereka sendiri.  Mereka membutuhkan aliansi yang jauh lebih kuat dibanding aliansi yang telah mereka bangun sendiri.  Kesempatan untuk membangun aliansi seperti ini memperoleh momentum dengan ditandatanganinya Perjanjian Inggris-Saudi pada 1915.  Inggris, yang bernafsu untuk menguasai Terusan Suez, mendorong pembesar Saudi untuk menguasai kembali Semenanjung Arabia dari tangan Turki Usmani.  Untuk membantu pemberontakan mereka, Inggris secara reguler mengirim bantuan senjata dan uang.  Di penghujung Perang Dunia Pertama, ketika kebesaran Kekhalifahan Usmani mulai rontok dan kekhalifahan itu sendiri dihapuskan, ibn Saud berhasil menaklukkan kembali Mekkah dan Madinah dan, sekali lagi, mengusir sang Syarif.  Kemudian, setelah secara publik mengeksekusi 40.000 orang dan memaksakan kembali paham Wahhabiyah di seantero negeri, Abd al-Aziz ibn Saud memberi nama baru kepada Semenanjung Arabia: “Kerajaan Arab Saudi.”

 

Tak lama kemudian, minyak ditemukan di ranah itu, menjadikan Arab Saudi negeri kecil yang kaya raya  XXXXXX  INI PANJANG LAGI CERITANYA.  NANTI SAJA DI VERSI BUKU YA. 

 


[1]Menurut sejarawan al-Rasheed, muthawwa` adalah fenomena unik Islam Najd.  Mereka berbeda dari para ahli agama di dunia Islam lain yang sering disebut ulama.  Di Najd pada masa itu, mereka yang disebut ahli dalam bidang agama peduli hanya kepada fiqh/`ibadah, dan memandang bahwa mempelajari masalah-masalah lain adalah sebuah kemewahan intelektual yang juga tidak dibutuhkan masyarakat mereka.  Lihat al-Rasheed, 2002: 49.

[2]Menurut sejarawan al-Rasheed, muthawwa` adalah fenomena unik Islam Najd.  Mereka berbeda dari para ahli agama di dunia Islam lain yang sering disebut ulama.  Di Najd pada masa itu, mereka yang disebut ahli dalam bidang agama peduli hanya kepada fiqh/`ibadah, dan memandang bahwa mempelajari masalah-masalah lain adalah sebuah kemewahan intelektual yang juga tidak dibutuhkan masyarakat mereka.  Lihat al-Rasheed, 2002: 49.

Imperium Usmaniyah & Jazirah Arabia

Muasal Aliansi Wahabi-Sa`udi


Imperium Usmaniyah & Jazirah Arabia

Oleh: Syamsurizal Panggabean

 

Secara nominal, sebagian besar wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kerajaan Sa`udi Arabia (KSA) adalah bagian dari Imperium Usmaniah atau Khilafah Usmaniah (KU). KU menjadi penguasa di wilayah tersebut setelah Dinasti Mamluk melemah pada awal abad XVI. Raja Mamluk terakhir menyerahkan kunci Mekkah kepada Sultan Salim I dari KU pada 1517. Ini menandai kekuasaan Sultan Usmaniyah di wilayah Hijaz. Kemudian, pada 1534 KU menguasai Baghdad dan lembah Eufrat sampai daerah Timur Jazirah Arabia. Pemberontakan Banu Khalid pada 1670 berhasil mengusir KU dan baru dua abad kemudian KU kembali mengguasai wilayah Timur Arabia.

Akan tetapi, wilayah pedalaman Jazirah Arabia, yang dikenal dengan Najd, tidak pernah dikuasai KU. Najd tetap dikuasai Amir-amir setempat. Begitu pula, konfederasi suku-suku yang ada di Najd tetap memiliki otonomi dan kemerdekaan dari penguasa-penguasa luar, apakah itu KU, penguasa Hijaz (Syarif), maupun Banu Khalid di wilayah Timur Jazirah Arabia. Najd sendiri tidak begitu menarik bagi penguasa-penguasa dari luar ini. Selain karena daerahnya hanya menghasilkan sedikit surplus korma dan ternak, perdagangan juga tidak makmur.

 

Dir`iyyah dan `Uyaynah, Najd

Salah satu pemukiman di Najd adalah Dir`iyyah. Ini pemukiman kecil – paling-paling 70 keluarga yang terdiri dari petani, pedagang, pekerja, tokoh agama, dan budak. Sejak tahun 1727, Dir`iyyah diperintah oleh Muhammad ibn Sa`ud (wafat 1765) dari klan Al-Sa`ud. Klan ini menguasai oase, ladang pertanian, dan sumur-sumur di Dir`iyyah. Selain itu, klan al-Sa`ud juga berhasil mempertahankan pemukiman dari serangan amir-amir oase atau konfederasi suku-suku lain. Karenanya, penduduk membayar upeti kepada klan al-Sa`ud.

Kendati demikian, klan al-Sa`ud bukanlah klan yang kuat dan kaya. Malahan, menurut Madawi al-Rasheed, penulis A History of Sa`udi Arabia, klan Sa`ud tidak memiliki asal-usul kesukuan yang jelas. Salah satu teori mengatakan klan al-Sa`ud hanyalah pendiri pemukiman Dir`iyyah yang tidak memiliki ikatan yang kuat dengan konfederasi suku-suku setempat. Selain itu, surplus kekayaan mereka – dari memungut pajak dan upeti maupun dari perdagangan – tidak seberapa besar. Akibatnya, kemampuan mereka untuk menguasai jalur kafilah perdagangan maupun pemukiman-pemukiman lain terbatas.

Nasib mereka berubah setelah mereka bergabung dengan Wahabiyah. Pendiri gerakan ini, Muhammad ibn Abd al-Wahhab berasal dari Banu Tamim, salah satu suku di Najd, yang menetap di `Uyaynah. Ia berasal dari keluarga ulama, tetapi tidak kaya. Salah satu riwayat menyebutkan ia mempunyai tiga istri, sebidang kebun korma, dan sepuluh atau dua puluh lembu. Ia pernah pergi ke Madinah, Basrah dan Hasa (di Timur Jazirah Arabia, tempat Banu Khalid). Sepulang dari sekolah, ia kembali ke `Uyaynah.

Amir `Uyaynah, Usman ibn Mu`ammar, pada mulanya memberi ruang gerak bagi al- Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan ajaran barunya. Akan tetapi, tidak lama kemudian, Muhammad ibn Abd al-Wahhab menimbulkan keributan. Ia menghukum orang yang tidak mau shalat jamaah, ikut merajam seorang perempuan yang selingkuh, dan banyak ulama menentang aliran baru tersebut dan kuatir ajarannya meluas. Amir `Uyaynah tidak senang, begitu pula Banu Khalid yang berkuasa di Hasa, dan banyak amir lain di Najd. Mereka meminta Amir `Uyaynah supaya membunuh Muhammad ibn Abd al-Wahhab. Akan tetapi, karena takut terjadi kerusuhan, Amir hanya meminta Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan keluarganya supaya pergi. Muhammad ibn Abd al-Wahhab pergi ke Dir`iyyah, kurang lebih 60 km dari `Uyaynah.

 

Aliansi al-Wahhab-al-Sa`ud

Muhammad ibn Sa`ud menerima Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan memberinya perlindungan dari musuh-musuhnya.

 

Muhammad ibn Sa`ud menyambut Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan mengatakan, ‘Oasis ini adalah milikmu, jangan takut pada musuh-musuhmya. Demi Allah, walaupun seluruh Najd berkumpul untuk mengusirmu, kami tidak akan setuju.’ Muhammad ibn Abd al-Wahhab membalas, ’Kamu adalah penguasa di pemukiman ini dan orang yang bijaksana. Saya minta engkau bersumpah bahwa engkau akan melaksanakan jihad terhadap orang-orang kafir. Sebagai gantinya, engkau akan menjadi imam, pemimpin masyarakat Muslim, dan aku akan menjadi pemimpin di bidang agama.’ (Al-Rasheed, 2002: 17).

 

Pada tahun 1744, kemitraan al-Wahhab dengan Muhammad ibn Sa`ud dimulai lewat upacara sumpah yang menetapkan Ibn Sa`ud sebagai amir (pemimpin sekular) dan al-Wahhab menjadi imam – dan kemudian berubah menjadi Syeikh al-Imam. Putra tertua Muhammad ibn Sa`ud, Abd al-Aziz ibn Sa`ud dinikahkan dengan putri al-Wahhab. Muhammad ibn Abd al-Wahhab mulai menyebarkan ajarannya di masyarakat Dir`iyyah dan yang malas mengikuti pengajiannya disuruh membayar denda atau mencukur jenggot. Dinasti Sa`ud-Wahhabi pun terbentuk, demikian pula dinasti yang nanti menjadi penguasa Sa`udi Arabia (Allen, 2006: 52).

Al-Rasheed menyebutkan beberapa faktor di balik keberhasilan Muhammad ibn Abd al-Wahhab mendapatkan kepercayaan dari klan Al-Sa`ud. Ajaran baru tersebut dapat menjadi sumber legitimasi bagi penguasa Dir`iyyah. Selain itu, Muhammad ibn Abd al-Wahhab menjanjikan mereka kekayaan lewat zakat yang diperoleh seiring dengan perluasan pengaruh Wahabiyah. Akhirnya, persaingan amir `Uyaynah dan Dir`iyyah juga memainkan peran. Pemukiman Dir`iyyah yang kecil dan tidak berpengaruh ingin menyaingi `Uyaynah yang ketika itu lebih penting di bidang ekonomi dan politik.

Gerakan Wahabiyah dan dinasti Sa`ud sejak kemunculannya berusaha menundukkan suku-suku di jazirah Arab di bawah bendara Wahabi/Sa`udi. Menyamun, menyerang, dan menjarah suku tetangga adalah praktik yang luas dilakukan suku-suku Badui di Jazirah Arab sepanjang sejarahnya. Pada tahun 1746 Imam al-Wahhab mengeluarkan proklamasi jihad terhadap siapa saja yang menentang al-Da`wa lil-Tauhid. Gazwah mulai dilangsungkan ke daerah suku-suku yang sekarang dinyatakan kafir – biasanya dengan menyerang yang lebih lemah terlebih dahulu dan mengadakan kesepakatan nonagresi dengan suku yang kuat (Allen, 2006: 54-55).

Kelompok-kelompok suku di Najd yang bergabung dengan sekte Wahabi tidak hanya berjihad menyebarkan paham Wahabiyah. Melalui jihad, mereka juga memperoleh pendapatan dan pampasan perang dari penaklukan, penjarahan, dan pembunuhan yang mereka lakukan. Sebanyak seperlima dari perolehan tersebut diberikan kepada amir dan sisanya dibagi oleh suku-suku yang ikut berjihad. Kaum ulama mendapatkan zakat sebagaimana biasa. Jadi, semua mendapat bagian (Allen, 2006: 55).

Pada tahun 1765, Muhammad ibn Sa`ud dibunuh ketika sembahyang. Ia digantikan putranya, Abd al-Aziz ibn Sa`ud. Abd al-Aziz melanjutkan, dan dalam banyak hal, meningkatkan peperangan dan penyergapan yang dimulai ayahnya, dengan bantuan mertuanya, Muhammad ibn Abd al-Wahhab. Mertua dan menantu ini memperkenalkan senjata api kepada para pengikut mereka, dan mengajari mereka bagaimana menggunakannya sebagai pengganti tombak dan pedang. Ia juga membentuk pasukan elit dengan persenjataan yang lebih memadai. Merekalah yang menjadi tulang punggung ghazwah yang dilancarkan ke berbagai kawasan di Jazirah Arab.

Tentu saja, ghazwah bukan hanya urusan militer. Muhammad ibn Abd al-Wahhab membekali setiap mujahidnya dengan firman atau printah tertulis yang ditujukan kepada penjaga pintu surga, yang memintanya supaya langsung memperkanankan pemegang firman supaya langsung masuk surga sebagai syahid. Kultus syahadah yang banyak dikenal di kalangan Syiah diadopsi juga oleh kalangan Wahabi dan menjadi salah satu daya gerak di balik ghazwah. “Dan dengan demikian mujahid Amir Abd al-Aziz ibn Sa`ud berada dalam situasi menang-menang: jika mereka menang di dalam perang, mereka mendapatkan keuntungan harta benda; jika mereka binasa, mereka langsung masuk surga” (Allen, 2006, 59).

Setiap suku yang belum masuk Wahabi diberi dua tawaran jelas: masuk Wahabi atau diperangi sebagai orang-orang musyrik dan kafir. Yang setuju harus mengucapkan bay`ah ketundukan dan menunjukkan loyalitas dengan bersedia ikut berjihad dan membayar zakat. Yang menentang akan diperangi dan dijarah. Tidak banyak yang bisa bertahan menghadapi kekuatan dan kebrutalan Amir Abd al-Aziz.. Pada 1773, tidak ada lagi lawan berarti di Najd dan kota Riyadh sudah menyerah. Hingga ia wafat pada 1806, Abd al-Aziz ibn Sa`ud menebar teror ke banyak wilayah Jazirah Arab sampai ke Oman dan Yaman di Selatan dan sampai ke Baghdad dan Damaskus di Utara.

 

Serangan ke Karbala, Mekkah, dan Madinah

Pada tahun 1802, putra tertua Abd al-Aziz yang bernama Sa`ud ibn Sa`ud menyerang Karbala – tempat paling suci umat Syiah. Mereka menjarah makam Imam Husein cucu Nabi dan putra Ali bin Abi Talib, membantai siapa saja yang merintangi jalan mereka. Mereka banyak mendapatkan pampasan perang – seperlimanya menjadi bagian Sa`ud, sisanya bagi pasukan dengan ketentuan pasukan berkuda mendapat dua kali bagian pasukan yang berjalan kaki. Kurang lebih lima ribu penduduk Karbala dibunuh, sehingga kabarnya sampai ke wilayah-wilayah lain di Turki, Persia, dan daerah Arab lainnya. Pemerintah Kekhalifahan Turki, Khalifah Mahmud II, kemudian dikecam karena gagal menjaga Makam Imam Husein (Allen, 2006: 63).

Pada tahun 1803-1804, pasukan Wahabi juga menyerbu Mekkah dan Medinah. Mereka membunuh syekh dan orang awam yang tidak bersedia masuk Wahabi. Perhiasan dan perabotan yang mahal dan indah – yang disumbangkan oleh banyak raja dan pangeran dari seluruh dunia Islam untuk memperindah banyak makam wali di seputar Mekkah dan Madinah, makam Nabi, dan Masjidil Haram – dicuri dan dibagi-bagi. Pada 1804, Mekkah jatuh ke tangah Wahabi. Dunia Islam guncang, lebih-lebih karena mendengar kabar bahwa makam nabi telah dinodai dan dijarah, rute jamaah haji ditutup, dan segala bentuk peribadatan yang tidak sejalan dengan praktik Wahabi dilarang (Allen, 2006: 64).

Abd al-Aziz, yang setelah kematian Muhammad ibn Abd al-Wahhab memegang dua gelar amir dan imam sekaligus, wafat pada 1806. Ia dibunuh ketika sedang sembahyang di masjid Dir`iyyah. Pembunuhnya adalah pengikut Syiah dari Karbala yang memburunya dalam rangka membalas dendam terhadap perbuatan pasukan Wahabi di Karbala. Ia digantikan oleh putranya, Sa`ud ibn Sa`ud yang berkuasa sampai 1814, yang digantikan putranya bernama Abdullah ibn Sa`ud.

 

Reaksi Konstantinopel

Dominasi Wahabi di tanah suci juga menjadi tantangan langsung terhadap otoritas Khalifah di Turki. Beberapa kali serangan dilancarkan oleh Khalifah dari Baghdad tetapi gagal. Muhammad Ali Pasya, wazir atau wakil Khalifah di Mesir, diserahi tanggungjawab mengambil alih Hijaz dan tanah suci dan mengembalikannya kepada Khalifah sebagai khadimul haramayn. Setelah gagal di tahun 1811, pada 1812 pasukan kekhalifahan Usmani dari Mesir tersebut berhasil menduduki Madinah. Pada tahun 1815, kembali pasukan dari Mesir menyerbu Riyadh, Mekkah, dan Jeddah. Kali ini pasukan Wahhabi kucar-kacir.

Ibrahim Pasya, putra sang penguasa Mesir, datang dengan kekuatan sekitar 8000 pasukan kavaleri dan infantri dari Mesir, Albania, dan Turki. Ibrahim menawarkan enam keping perak untuk setiap kepala pengikut Wahabi yang berhasil dibunuh. Di akhir pertempuran, lapangan di depan markasnya berdiri piramida kepala pengikut Wahhabi. Pada 1818, pertahanan terakhir Wahabi yang dipimpin Abdullah ibn Sa`ud di Dir`iyyah diserbu dan setelah beberapa bulan dikepung, mereka menyerah.

 

Ibrahim Pasya mengumpulkan semua ulama Wahabi yang bisa didapat, kira-kira lima ratusan ulama, dan menggiring mereka ke masjid besar. Di sana, selama tiga hari, ia memimpin debat keagamaan dalam rangka meyakinkan ulama Wahabi bahwa ajaran mereka sesat. Di akhir hari keempat, kesabarannya habis dan ia memerintahkan pengawalnya supaya membunuh mereka sehingga masjid Dir`iyyah, dalam kata-kata pengelana William Palgrave, ‘menjadi kuburan berdarah teologi Wahabi.’

 

Abdullah ibn Sa`ud sendiri beserta beberapa anggota keluarganya ditawan dan dibawa ke Kairo dan kemudian ke Konstantinopel. Di ibukota Khilafah Usmani itu dia dipermalukan, diarak keliling kota di tengah cemoohan penonton selama tiga hari. Kemudian kepalanya dipenggal dan tubuhnya dipertontonkan kepada kerumunan yang marah. Sisa-sisa keluarga Sa`udi-Wahabi menjadi tawanan di Kairo.

Kehancuran Wahabi disambut gembira di banyak negeri Muslim. Seorang ulama mazhab Hanafi bernama Muhammad Amin ibn Abidin yang hidup di awal abad XIX mengatakan, “Ia mengaku pengikut mazhab Hanbali, tapi dalam pemikirannya hanya dia saja yang Muslim dan semua orang lain adalah musyrik. Ia mengatakan bahwa membunuh Ahlussunnah adalah halal, sampai akhirnya Allah menghancurkannya pada tahun 1233 Hijriah (1818) melalaui pasukan Muslim.” (Allen, 2006: 68).

Demikianlah, fase pertama aliansi Wahabi-Saudi, yang juga dikenal dengan Negara Saudi I, berhenti secara brutal, sekejam serbuan dan penaklukan yang mereka lakukan sejak aliansi terbentuk.***

 

Negara Saudi II dan III

Negara Saudi II dan III

Oleh: Rizal Panggabean

 

Negara Wahabi/Saudi II (1824-1891)

Pada tahun 1924, Turki ibn Abdullah, putra dari penguasa Saudi yang dipenggal di Istambul, mengambil alih Riyad, sebuah pemukiman di sebelah selatan Dir`iyyah yang dikemudian hari menjadi kota penting. Ini dapat terjadi karena pasukan dari Mesir mengundurkan diri Dari Najd pada 1821. Dari sana, kekuasannya meluas ke daerah `Aridh, Kharj, Hotah, Mahmal, Sudayr dan Aflaj. Pada 1830, ia juga berhasil memperluas kekuasaan sampai ke wilayah Hasa, salah satu medan perang saudara di antara faksi-faksi klan Saudi. Amir Turki sendiri tidak mengutak-atik kekuasaan Usmaniyah dan Mesir di wilayah Hijaz, yang menjamin keamanan kafilah-kafilah haji. (al-Rasheed, 23).

Konflik internal di dalam negara Wahabi/Saudi kedua sudah dimulai sejak masa Amir Turki, Salah seorang musuhnya adalah Mishari, seorang saudara sepupu yang ia angkat menjadi Gubernur di Manfuhah, berada di balik komplotan yang membunuh Turki pada 1834, selepas salat Jumat. Ia digantikan anaknya, Faisal, yang dengan bantuan `Abdullah ibn Rashid, Amir dari Ha’il, berhasil membalas kematian ayahnya pada tahun yang sama. Tetapi, ia tidak lama berkuasa. Karena menolak membayar upeti kepada pasukan Mesir yang menduduki Hijaz, pada tahun 1837 ia ditangkap dan dikirim ke Kairo. Perebutan kekuasaan terjadi lagi di Riyad, di antara sesama keluarga Saud.

Pada 1840, Mesir meninggalkan Arabia dan pada tahun 1943, Faisal ibn Turki al-Saud melarikan diri dari Mesir dan kembali ke Riyad dan menjadi amir kembali sampai wafat pada 1865. Selama berkuasa, Faisal mengakui kekuasaan Khilafah Usmaniyah dan membeyar upeti kepada Khalifah. Setelah kematiannya, putra-putranya (dari istri yang berbeda-beda) bertarung memperebutkan kekuasanaan. Mereka adalah `Abdullah, Sa`ud, Muhammad, dan `Abd al-Rahman. `Abdullah, anak tertua yang menggantikan Faisal, bersaing dengan saudara-saudaranya. `Abdullah bahkan pernah meminta bantuan dari Midhat Pasya, Gubernur Usmaniyah di Baghdad, supaya membantunya dalam pertarungannya melawan saudara-saudaranya. Permintaan ini dipenuhi dan invasi dari Bagdad terjadi pada 1870, walaupun hanya berhasil menghentikan perang saudara sebentar. Demikian pula, Sa`ud memerangi abangnya dengan bantuan dari konfederasi suku-suku yang ingin bebas dari kekuasaan abangnya, dan dari dominasi klan Sa`udiyyah. `Abdullah menyerah dan Sa`ud praktis berkuasa sejak 1871 sampai ia wafat pada 1875. Setelah itu, perebutan kekuasan dilanjutkan `Abd al-Rahman, `Abdullah, dan keturunan Sa`ud (Al-Rasheed, 2005: 24,36; Al-Fahad, 2004).

Pada tahun 1887, `Abdullah meminta Muhammad ibn Rasyid, peguasa Ha’il, supaya membantunya menyingkirkan keturunan Sa`ud yang juga keponakan-keponakannya. Muhammad ibn Rasyid, pemimpin klan yang sudah lama menjadi musuh klan Sa`udi, bersedia. Setelah membasmi sebagian besar keponakan `Abdullah, sisanya kucar-kacir melarikan diri. Akan tetapi, Ibn Rasyid sendiri mengkhianati orang yang mengundangnya. Ia menawan `Abdullah dan mengasingkannya ke Ha’il, ibukota klan Rasyidi. Klan Rasyidi kemudian menguasai Riyad dan banyak wilayah Najd lainnya, atas nama Khalifah Usmani. Setelah `Abdullah wafat pada 1889, `Abd al-Rahman, yang sempat menjadi gubernur di bawah kekuasaan Rasyidi, masih berusaha merebut kekuasaan dari keluarga Rasyidi akan tetapi gagal. Muhammad ibn Rasyid mengalahkannya pada 1891 dan `Abd al-Rahman harus melarikan diri ke beberapa tempat sampai akhirnya, sejak 1893, ia menetap di Kuwait di bawah perlindungan klan al-Sabah, penguasa Kuwait yang ketika itu merupakan salah satu pelabuhan penting yang di kawasan Teluk, tempat Khilafah Usmani dan Inggris berebut pengaruh dan kekuasaan, dengan kemenangan Inggris melalui traktat perlindungan yang ditandatangani pada 1899.

Dimensi Agama pada Masa Negara Saudi II

Pada masa Negara Saudi II yang penuh pergolakan, ulama Wahabi secara politik didukung oleh Amir Turki dan Faisal. Setelah menguasai Riyad, Amir Turki segera meminta `Abd al-Rahman ibn Hasan, cucu pendiri Wahabiyah, supaya kembali ke Riyad dan menduduki jabatan yang dulu dipegang kakeknya, yaitu menjadi pemimpin agama dan penasihat penguasa.

Ulama Wahabi menjadi kadi dan guru agama, sambil menyebarkan paham Wahabiyah di wilayah-wilayah yang dikuasai Amir Turki dan Faisal. Para ulama Wahabi, yang menguasai pengetahuan keagamaan yang bersumber dari kitab suci, hadis, dan keteladanan al-salaf al-salih. Selain itu, jika diingat bahwa banyak ulama Wahabi adalah keturunan dari Muhammad ibn `Abd al-Wahhab dengan julukan Al al-Syaikh, maka ulama Wahabi juga memiliki status sosial yang terhormat.

Kadi, yang juga wakil resmi Wahabiyah, menjadi arbitrator sengketa, khatib salat Jumat, imam salat, dan guru agama di masjid agung kota-kota. Jika dikaitkan dengan dukungan politik yang mereka peroleh dan kaitan “kelas” ulama dengan Al al-Syaikh, jelaslah tidak banyak ruang bagi penolakan terhadap paham Wahabi. Salah satu di antaranya adalah kota `Unayzah di wilayah Qasim. Wilayah Qasim, dengan dua kota utama `Unayzah dan Buraidah, menentang Faisal, memiliki kontak yang lebih sering dengan daerah Usmaniyah melalui perdagangan, sebagai jalur utama orang naik haji dari Irak dan negeri-negeri Muslim di Timur ke Makkah dan Madinah, dan pendidikan, serta kalangan ulamanya juga tidak pernah seluruhnya menjadi Wahabi sehingga dapat mempertahankan tradisi mereka. Kekuasaan dinasti Rasyidi di wilayah ini turut menopang semangat menentang Wahabi (Al-Fahad, 2004: 505; Al-Rasheed, 2002: ).

 

Pembentukan Negara Wahabi/Saudi III (1902-1932

Pada tahun 1902, `Abdul Aziz, putra `Abd al-Rahman ibn Sa`ud yang mengungsi ke Kuwait, memulai usaha meraih kembali kejayaan dinasti Saudi yang hilang. Dengan bantuan Syeikh Kuwait yang selama ini melindunginya, Ibn Saud – nama populer `Abdul Aziz – berhasil meraih Riyad dan mengumumkan pemulihan kembali kekuasaan dinasti Sa`ud di sana. Klan al-Sabah di Kuwait mendorong Ibn Sa`ud menaklukkan Riyad karena mereka takut kekuasaan Rasyidi semakin kuat dan luas – terutama karena aliansi Rasyidi dengan Khilafah Usmani – sehingga mengancam Kuwait (al-Rasheed, 40).

Pertarungan di Najd terjadi antara Ibn Sa`ud yang dibantu Kuwait dan Inggris melawan Ibn Rasyid yang dibantu Khilafah Usmani. Inggris ikut campur karena kuatir dukungan Khilafah Usmani terhadap Ibn Rasyid akan mengancam kepentingan mereka di Kuwait. Pada tahun 1906, wilayah Qasim direbut sehingga kekuasaan Ibn Sa`ud semakin dekat ke jantung klan Rasyidi di Najd utara. Selain Qasim, Ibn Sa`ud juga menguasai kota-kota penting lain seperti `Unayzah dan Buraydah. Najd praktis terbelah dua: separuh dikuasai Ibn Sa`ud dan separuh lagi dikuasai Ibn Rasyid.

Ibn Sa`ud mengalihkan sasaran ke Hasa, tempat di kawasan timur Jazirah Arabia yang banyak didiami masyarakat Syiah. Setelah Hasa akhirnya takluk pada 1913, Ibn Sa`ud mengadakan perjanjian dengan ulama Syiah yang menetapkan bahwa Ibn Sa`ud akan memberikan mereka kebebasan menjalankan keyakinan mereka dengan syarat mereka patuh kepada Ibn Sa`ud. Pada saat yang sama, Syiah tetap dianggap sebagai kalangan Rafidlah, artinya yang menolak iman (al-Rasheed, 41).

Pada 26 Desember 1915, ketika Perang Dunia I berkecamuk, Ibn Sa`ud menyepakati traktat dengan Inggris. Berdasarkan traktat ini, pemerintah Inggris mengakui kekuasaan Ibn Sa`ud atas Najd, Hasa, Qatif, Jubail, dan wilayah-wilayah yang tergabung di dalam keempat wilayah utama ini. Apabila wilayah-wilayah ini diserang, Inggris akan membantu Ibn Sa`ud. Traktat ini juga mendatangkan keuntungan material bagi Ibn Sa`ud. Ia mendapatkan 1000 senapan dan uang £20.000 begitu traktat ditandatangani. Selain itu, Ibn Sa`ud menerima subsidi bulanan £5.000 dan bantuan senjata yang akan dikirim secara teratur sampai tahun 1924. Sebagai imbalannya, Ibn Sa`ud tidak akan mengadakan perundingan dan membuat traktat dengan negara asing lainnya. Ibn Sa`ud juga tidak akan menyerang ke, atau campur tangan di, Kuwait, Bahrain, Qatar, dan Oman – yang berada di bawah proteksi Inggris. Traktat ini mengawali keterlibatan langsung Inggris di dalam politik Ibn Sa`ud (Nakash, 2006: 33-34; Al-Rasheed, 2002: 42).

Sementara itu, saingan Ibn Sa`ud di Najd, Ibn Rasyid, tetap bersekutu dengan Khilafah Usmaniah. Ketika Kesultanan Usmani kalah dalam Perang Dunia I bersama-sama dengan Jerman, klan Rasyidi kehilangan sekutu utama. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, Rasyidi dilanda persaingan internal di bidang suksesi. Perang antara Ibn Sa`ud dan Ibn Rasyid sendiri tetap berlangsung selama PD I dan sesudahnya. Akhirnya, pada 4 November 1921 dan setelah berbulan-bulan dikepung, Ha’il, ibukota Rasyidi, jatuh ke tangan Ibn Sa`ud yang dibantu Inggris melalui dana dan persenjataan. Penduduk oase subur di utara itu pun mengucapkan bay`ah ketundukan kepada Ibn Sa`ud.

Sesudah menaklukkan Ha’il, Ibn Sa`ud beralih ke Hijaz. Satu-demi-satu kota di Hijaz jatuh ke tangan Ibn Sa`ud. `Asir, wilayah di Hijaz selatan, jatuh pada 1922, disusul Taif, Makkah, dan Medinah di tahun 1924, dan Jeddah di awal tahun 1925. Pada tahun 1925 juga, di bulan Desember, Ibn Sa`ud menyatakan diri sebagai Raja Hijaz, dan pada awal Januari 1926 ia menjadi Raja Hijaz dan Sultan Najd dan daerah-daerah bawahannya. Untuk pertama kali sejak Negara Saudi II, empat wilayah penting di Jazirah Arabia, yaitu Najd, Hijaz, `Asir, dan Hasa, kembali berada di tangan kekuasaan klan Saudi. Pada tahun 1932, Ibn Saud telah berhasil menyatukan apa yang sekarang dikenal sebagai Kerajaan Saudi Arabia. Penemuan minyak di wilayah padang pasir itu memberikan Ibn Saud kekayaan berlimpah yang ia perlukan membangun negerinya. Pada tahun 1953 ia wafat dan digantikan oleh Raja Saud dan kemudian Raja Faisal.

 

Dua Ilustrasi Fatwa Wahabi

1.      Fatwa yang menghalalkan permintaan bantuan kepada Gubernur Usmaniyah

Ketika terjadi perang saudara di dalam tubuh klan Saudi pada abad XIX, `Abdullah yang sedang diperangi saudara-saudara dan keponakannya memutuskan untuk meminta bantuan dari Gubernur atau Wali Khilafah Usmaniyah yang berkedudukan di Bagdad, bernama Midhat Pasya. Masalahnya, dilihat dari paham Wahabiyah, adalah: apakah boleh meminta bantuan dan pertolongan dari orang-orang kafir dan musyrik seperti gubernur Khilafah Usmaniyah? Jawabannya, dalam situasi normal, tentu saja tidak.

Akan tetapi, `Abdullah berhasil mendapatkan fatwa dari salah seorang ulama,yaitu Muhammad ibn Ibrahim ibn `Ajlan. Menurutnya, meminta bantuan kepada Khilafah Usmaniyah tidak  slebih berdosa dari tindkan yang dilakukan Ibn Taymiyah ketika ia meminta bantuan dari orang-orang Mesir dan Suriah dalam perang melawan invasi pasukan Mongol di akhir abad ke-13 dan awal abad ke-14. Jadi, menurut `Ajlan, boleh meminta bantuan dari orang-orang kafir ketika ada darurah (yaitu situasi genting dan darurat sehingga yang tadinya dilarang menjadi diperbolehkan). Apalagi, panglima dan perwira tinggi pasukan dari Bagdad juga tampak soleh.

Fatwa di atas menyulut kontroversi di kalangan ulama Wahabi. Sebagian mengatakan fatwa itu tidak sah dan sebagian lagi, seperti Hamad ibn `Atiq, mengatakan bahwa Ibn `Ajlan sudah murtad. Ulama besar Wahabi saat itu, `Abd al-Latif ibn `Abd al-Rahman ibn Hasan Al al-Syaikh, menghantam argumen `Ajlan walaupun ia tidak memandangnya murtad. Ia bilang bahwa:

·        Suriah dan Mesir masa Ibn Taimiyah bukanlah kafir tapi muslim. Ibn Taimiyah sendiri pernah mengatakan bahwa negeri-negeri tersebut adalah darul islam.

·        Argumen mengenai kesalehan komandan dan perwira tidak dapat diterima karena banyak sekali orang-orang kafir yang nyata (kafir mu`ayyan) – seperti tokoh sufi semacam Ibn `Arabi dan Ibn al-Farid, adalah orang-orang yang terkenal kesalehannya.

·        Ada sebagian ulama yang membolehkan meminta bantuan orang-orang kafir atau nonmuslim, akant tetapi itu hanya dalam perang antara umat Islam melawan non-Muslim. Dalam kasus fatwa `Ajlan, yang berperang adalah pasukan Sa`ud melawan `Abdullah yang sama-sama muslim walaupun yang satu – yaitu pasukan Sa`ud, masuk kategori pemberontak (bughah).

·        Argumen dlarurah tidak dapat digunakan dalam kasus ini karena tidak terkait dengan agama dan iman dan hanya dalam rangka mempertahankan kekuasaan.

·        Masalahnya bukanlah boleh-tidaknya meminta bantuan Khilafah Usmaniyah. Sebab, penguasa Usmaniyah sendiri ingin datang, bertahan, dan memerintah di wilayah yang dikuasai Saudi/Wahabi (Al-Fahad, 2004: 501-504).

2.      Fatwa membolehkan meminta pertolongan Amerika dalam Perang Teluk 1990-1991.

Pada 1990, Alm Saddam Husein menginvasi Kuwait dan menimbulkan salah satu krisis dan kemudian perang penting setelah Perang Dingin. Dalam rangka menentang agresi dan invasi tersebut, Raja Saudi Arabia meminta bantuan terutama dari Amerika Serikat. Majelis ulama senior Arab Saudi mengeluarkan fatwa yang membolehkan tindakan tersebut dengan alasan dlarurah.

 

Beberapa peristiwa yang tidak ada fatwa yang melarang/membolehkannya

·        Traktat Ibn Sa`ud – Inggris pada 26 Desember 1915

·        `Abd al-Rahman, ayahanda Ibn Sa`ud, yang mengungsi ke Kuwait, dilindungi klan al-Sabah, dan mendapat insentif bulanan dari Khalifah Usmaniyah.

·        Penempatan pangkalan udara penting milik AS di Dhahran, dari 1942 sampai 1962.

 

 

MUJAHIDIN DAN “SETAN BESAR” DI PERANG AFGHAN

Pointers Diskusi Wahhabisme ke-6 (2 Februari 2007)

 

ALIANSI YANG TAK SUCI:

MUJAHIDIN DAN “SETAN BESAR” DI PERANG AFGHAN

Ihsan Ali-Fauzi

 

·        Sessi ini ingin melihat bagaimana negara-negara tertentu (Saudi Arabia, Pakistan, dan khususnya Amerika Serikat), karena kepentingan oportunistik masing-masing, memberi dukungan, langsung maupun tidak langsung, bagi terbentuknya apa yang dapat disebut “jaringan internasional Mujahidin Afghan.”  Konteksnya adalah kekacauan politik di Afghanistan, menyusul dikudetanya Raja Zahir khan, konflik internal kalangan komunis, dan akhirnya invasi Uni Soviet ke Afghanistan.

·        Signifikansi: peristiwa ini menjadi dasar dari terbentuknya jaringan internasional Islamis militan, yang menyebarkan kekerasan atas nama jihad, setelah Perang Afghan usai.  Medan Afghan adalah momen bersama yang akhirnya melahirkan banyak “Frankenstein,” monster yang lahir sebagai konsekuensi tak terduga para pembentuknya.

·        Akan dipresentasikan dulu kepentingan masing-masing negara.  Kemudian disajikan bagaimana kepentingan itu bergabung dalam sebuah proyek besar di Afghanistan.  Akhirnya akan disinggung implikasinya, yang masih akan dikupas secara mendetail di sessi-sessi berikutnya.

 

Konteks Lokal dan Global Masing-masing Negara

 

1.  Afghanistan

·        Raja Zahir Khan (berkuasa sejak 1933, masih usia 19 tahun) digulingkan sepupunya yang juga bekas Perdana Menteri, Muhammad Daud, pada Juli 1973.  Daud memerintah secara otoritarian, dengan membangun aliansi nasionalis yang terdiri dari militer dan bagian dari Partai Komunis Percham.  Mereka menyokong nasionalisme Pushtun (etnis terbesar Afghanistan).  Oposisi datang terutama dari intelektual Komunis dan Islamis, mahasiswa dan profesor yang umumnya berwawasan “internasionalis”.

·        Kalangan komunis Afghanistan melakukan kudeta pada 27 April 1978.  Seperti di banyak bagian Dunia Islam, pendukung kudeta berasal dari generasi tua yang dididik di kota-kota modern dalam model pendidikan Barat (bukan “Islamis”).  Mereka terdiri dari dua kelompok besar yang saling bertikai: Partai Rakyat (Khalq), yang ekstrem, dan Partai Bendera (Parcham), yang agak moderat.

·        Karena khawatir dengan ancaman lawannya di perbatasan yang pro-Barat (Shah Iran dan Jenderal Zia ul-Haq di Pakistan), para pemimpin komunis Afghan menandatangani kesepakatan aliansi dengan pemimpin Soviet (Desember 1978).  Mereka menerapkan kebijakan pembaruan agraria yang radikal, wajib melek-huruf, dan pemaksaan sosialisme lewat penangkapan dan eksekusi, yang mengelienasikan banyak penduduk Afghanistan.  (Kepel 2002: 139)

·        Persekutuan dua faksi terus tak terhentikan.  Pertama Partai Khalq yang  menang, dan para pemimpin Parcham mengasingkan diri ke Moskow.  Belakangan, elite Soviet merasa bahwa yang dilakukan Khalq berlebihan.  Mereka menginvasi dengan mendudukkan Babrak Karmal, dari Partai Parcham, sebagai pemimpin baru Afghanistan.  Ia datang bersamaan dengan tentara Soviet.  Waktu Soviet masuk, itu seperti “Prague Spring”  di bekas Cekoslowakia, 1968.

·        Kelompok oposisi Muslim terdiri dua kategori besar:  (1) kalangan Islamis yang terdiri dari aktivis perkotaan dan mahasiswa; dan (2) kelompok-kelompok agama yang lebih tradisional, tinggal di desa-desa, dengan warna kesukuan yang kuat.  Kelompok pertama lebih penting, karena kelompok kedua tidak begitu kuat dan sering bersedia diajak bekerjasama dengan rezim.

·        Siapakah Islamis Afghan?  Mereka diinspirasikan oleh Ikhwanul Muslimin; pendirinya banyak yang belajar di Mesir.  Mereka muncul pertamakali di Universitas Kabul pada akhir 1950-an dan perlahan berkembang pada 1960-an, ketika karya-karya Sayyid Quthb dan Abu al-A`la al-Mawdudi diterjemahkan.  Pada 1968, Organisasi Pemuda Muslim didirikan dan mulai memenangkan pemilu di kampus-kampus pada 1970-an.  Seperti di negara-negara lain, mereka dominan di jurusan-jurusan ilmu pasti dan terapan.  Tapi, tidak sebagaimana di negeri-negeri Muslim lain, mereka banyak tinggal di pedesaan (sekitar 85% penduduk Afghanistan masih di wilayah ini; migrasi ke kota masih minimal).  Karena kurang bisa menginfiltrasi pusat-pusat kekuasaan seperti di Pakistan, mereka berupaya mengislamkan negara lewat kudeta.  Kegagalan kudeta pada 1975 menyebabkan mereka terpecah-belah, dengan pengaruh besar nantinya.

·        Perpecahan ini ada warna etnis dan politisnya juga.  Ada beberapa kelompok, berikut yang terpenting.  (1) Jamaat-e-Islami (Burhanuddin Rabbani): lulusan al-Azhar; ingin menjalin kerjasama dengan ulama tradisional dan intelektual non-Komunis lainnya, karenanya agak moderat; populer di kalangan Barat, tetapi terbatas aksesnya kepada sistem kerajaan Arab Saudi.  (2) Hezb-e-Islami (Gulbuddin Hekmatyar): aktivis dari jurusan teknik Universitas Kabul; menganakemaskan aktivis dari suku Pushtun; sangat membenci kompromi politik, menjadikannya disukai Ikhwanul Muslimin, Jamaat-i Islami, dan jaringan Saudi.

·        Ketika terjadi kudeta pada April 1978, kalangan intelektual Islamis kurang punya akar di masyarakat; mereka sendiri megasingkan diri.  Perlawanan banyak dilakukan ulama radisional.  Namun organisasi Rabbani mulai memperoleh pengaruh, berkat kemenangan militer Komandan Ahmad Syah Massoud yang terkenal.  Tapi mereka kurang memperoleh dukungan luar nantinya, karena Pakistan (yang mengorganisasikan bantuan dana dan senjata, lihat di bawah) lebih menyukai kelompok Hekmatyar.

 

2.  Saudi Arabia

·        Ancaman Revolusi Islam Iran: menggerogoti klaim Saudi sebagai pemimpin Dunia Islam; ideologi Syi`ah, yang dimusuhi Wahhabisme (demonstrasi Syi`ah dalam negeri pada 1980 dan demonstrasi jamaah haji Iran pada 1986); mempertontonkan kejelekan dan korupsi kerajaan secara terbuka; mempertontonkan dependensi Saudi kepada AS.

·        Ancaman kalangan Islam militan di dalam negeri, yang mulai “rewel”, seperti ditunjukkan dalam peristiwa pendudukan Masjidil Haram.

·        Implikasi: mendukung para mujahidin Afghanistan; turut mengirimkan “Afghan Arab”.

·        Tujuan ke dalam: memberi outlet bagi kalangan Muslim militan untuk bertempur melawan musuh-musuh ateis/komunis; menyaingin jihad Imam Khomeini yang syi`ah.

·        Tujuan ke luar: membantu sekutu AS dalam Perang Dingin melawan Soviet; mencari scapegoat lain, Soviet yang komunis, agar AS tidak menjadi sasaran kemarahan kaum Muslim militan.

·        Tujuan ke luar: menjaga citra sebagai pejuang Islam, di mata Dunia Islam, terlepas dari apa pun yang dikatakan Khomeini mengenai kerajaan Arab Saudi.

 

3.  Amerika Serikat

·        Perlu sekutu baru, karena jatuhnya sekutu lama Shah Iran dan ancaman ekspor Revolusi Islam Iran.  Iran menampilkan wajah politik Islam baru: Iran adalah sebuah rezim yang bukan saja Islamis dan anti-Komunis, tapi pada saat yang sama juga sangat nasionalis, kukuh untuk bertindak secara independen, bebas dari pengaruh asing, khususnya AS (pada yang terakhir, Iran model Islamisme Iran berbeda dari Islamisme lainnya).  AS perlu sekutu-sekutu baru; mendukung Irak dalam Perang Iran-Irak (dimulai 20 September 1980), di mana AS (diwakili Rumsfeld) mendukung penggunaan senjata kimia oleh Irak (yang kedua setelah Vietnam).

·        Radikalisasi Imam Khomeini: Pendudukan kedubes AS pertama (4 November 1979) oleh mahasiswa militan; Khomeini dan Bazargan turun tangan untuk menetralisasi mahasiswa.  Belakangan, ketika Shah Iran yang sedang sekarat diizinkan untuk berobat di AS, Khomeini bertindak lain; ia mulai menyebut AS sebagai “Setan Besar”; ia mendiamkan pendudukan kedubes dan penyanderaan atas 52 orang (dari sebelumnya 90, termasuk perempuan dan anak-anak) sepanjang 444 hari.

·        Ancaman Perang Dingin: Invasi Soviet ke Afghanistan (Desember 1979); destabilisasi kawasan yang kaya minyak; merusak kepentingan strategis sekutu di kawasan;

·        Perubahan strategi dari “containment” (Carter) ke “roll back” (Reagan).  Afghanistan harus menjadi “Vietnam” bagi Uni Soviet.  Inilah operasi paramiliter terbesar CIA setelah Vietnam; juga perang terpanjang dalam sejarah Uni Soviet (Mamdani 2004: 120)

·        Implikasi: pemberian bantuan kepada para pejuang Afghanistan, yang sebagian besarnya terdiri dari para aktivis fundamentalisme Islam militan – lokal maupun internasional.

·        Reagan mengenai pemimpin Mujahidin Afghan (1985, Gedung Putih): “These gentlemen are the moral equivalents of America’s founding fathers” (dikutip Mamdani 2004: 119).

·        Menurut Mamdani (2004: 123), AS belajar dua hal dari Nikaragua, untuk diterapkan di Afghanistan: (1) sikap lunak kepada perdagangan obat-obat terlarang sebagai sumber pendanaan perang; dan (2) kebutuhan untuk melibatkan semua kalangan yang mungkin – termasuk Kristen kanan, jaringan lobbi politisi ultrakonservatif, dan pasukan paramiliter – di dalam perang.

·        Dukungan resmi AS terhadap musuh-musuh rezim sudah mulai berlangsung sejak pertemuan wakil CIA dengan mereka di Pakistan pada April 1979, delapan bulan sebelum invasi.  Pengakuan Brzezinski: Carter meneken dokumen kerjasama itu pada 3 Juli 1979 (Mamdani, 2004: 124).

·        Bagi AS di bawah Reagan, ini crusade dengan dua tujuan pokok: (1) menggabungkan semua kekuatan Dunia Islam dalam jihad, crusade, menentang Soviet; (2) mengubah perbedaan teologis/ideologis di antara dua kelompok Islam – Syi`ah yang minoritas dan Sunni yang mayoritas – mejadi perbedaan blok politik, sehingga ekspor Revolusi Iran bisa dihentikan karena itu adalah ekspor dotrin Syi`ah.

 

4.  Pakistan

·        Ancaman nasionalisme Afghanistan, dengan meningkatnya sentimen suku Pushtun: Dengan revolusi 17 April 1978 di Afghanistan, Komunisme “internasionalis” menjadi doktrin resmi negara, sedang Islamisme “internasionalis” menjadi kekuatan subversif yang terus dimusuhi.  Akibat revolusi Afghanistan, kalangan Muslim radikal, baik yang moderat maupun yang ekstrem, hengkang dari Universitas Kabul dan mencari suaka di Pakistan.

·        Pakistan memiliki agenda lebih jauh.  Jenderal Zia ul-Haq, Perdana Menteri, ingin memanfaatkan Perang Afghanistan sebagai momen untuk mempererat hubungannya dengan AS.  Dana bantuan AS untuk Pakistan dihentikan pada 1977, akibat rekor HAM Pakistan yang buruk, yang ditandai oleh kudeta dan pembunuhan militer atas Zulfikar Ali Bhutto, seorang Perdana Menteri yang terpilih lewat pemilu.  Sejak invasi Soviet, Carter dan Zia saling tilpon tiap hari.  Tapi hubungan AS-Pakistan di bawah Carter masih hangat-hangat tahi ayam.  Ini berubah drastis sejak naiknya Reagan sebagai Presiden AS (1979).  Ia menawarkan paket bantuan dana dan perlatan militer ke Pakistan yang luar biasa besar, menjadikan Pakistan sebagai penerima terbesar ketiga bantuan AS, setelah Israel dan Mesir.  

·        Pakistan juga ingin memanfaatkan Perang Afghanistan sebagai alat untuk menunjukkan dirinya sebagai pembela Islam Sunni di kawasan itu.  Terobsesi oleh ancaman India, para elite Pakistan juga berharap memperoleh keuntungan strategis dengan membangun suatu wilayah pengaruh baru yang mencakup wilayah antara Kabul hingga Tashkent.  Satu-satunya pengikat bersama wilayah ini adalah ideologi Islam Sunni, yang dianut beragam kelompok etnis di sana.  Islam juga adalah satu-satunya basis legitimasi Pakistan, yang didirikan atas nama Islam.

·        Secara pribadi, Zia ul-Haq juga amat senang dengan perkebangan ini.  Ia menerapkan Syari`ah Islam di Pakistan pada 1979; ia sendiri pengikut Mawdudi; dan ia didukung oleh Jamaat-e Islami yang didirikan Mawdudi.

 

Aliansi Tak Suci: Terbentuknya Jaringan Internasional

 

·        Ketika Soviet invasi, pandangan negara-negara Islam terbelah.  Pada 1979, Soviet memiliki beberapa sekutu di Dunia Islam: Syria, Yaman Selatan, PLO, dan Aljazair bergantung pada dukungan Soviet dan tidak mau mempermalukannya.  KTT OKI di Taif, Saudi Arabia, pada Januari 1981, tidak memperoleh kesepakatan mengenai apa yang harus dilakukan bersama dengan invasi Soviet.  Padahal, mereka bersepakat untuk melakukan jihad untuk membebaskan Jerussalem dan Palestina.  Untuk kasus invasi ke Afghanistan, OKI hanya menyerukan agar negara-negara Muslim bekerjasama dengan Sekjen PBB dalam mengakhiri situasi buruk yang berkembang di sana (Kepel 2002: 139).

·        Karenanya, menurut Kepel (2002: 141), jihad Afghanistan lebih merupakan inisiatif jaringan Islam transnasional daripada insiatif negara-negara Muslim.  Jaringan itu terbentuk di sekitar para ulama dan organisasi-organisasi yang sudah ada semacam Liga Dunia Islam, atau dibentuk secara ad hoc oleh kalangan Muslim salafi, yang ideologinya campuran antara Wahhabisme dan Ikhwanul Muslimin.  Invasi dilihat sebagai pelanggaran atas dar al-Islam, dan jihad defensif harus dilakukan oleh setiap Muslim (fardh `ayn).  Di awal 1980-an, solidaritas Islam sebagian besar berbentuk bantuan finansial.  Sejak 1985, hal itu mulai berbentuk makin meningkatnya jumlah jihadis internasional yang bersedia bertempur.

·        Bagi Pakistan dan Arab Saudi, yang mengorganisasikan skema ini, dan AS, yang menyetujui dan mendukungnya, gagasannya adalah untuk mengalihkan perhatian dan energi kalangan Islam fundamentalis yang militan, yang secara potensial sangat anti-Barat, untuk melawan blok Soviet yang komunis dan musuh Islam.  Pemerintah Saudi juga sedang berusaha untuk menandingi prestise Iran di kalangan Muslim fundamentalis dengan mengedepankan jenis fundamentalisme Islamnya sendiri.  Ringkasnya: idenya adalah untuk mempromosikan sebuah fundamentalisme Islam yang dekat dengan aliran Wahhabisme, yang merupakan ajaran resmi Arab Saudi, yang sangat anti-Syi`ah, dan secara sosial bersifat konservatif.  (Roy, 291).

·        Bagaimana kamp dan tempat latihan ini dikelola?  Semuanya dilakukan dengan hati-hati.  Pendukung utama aliansi perang Afghanistan (yang mencakup pengiriman para voluntir ke Afghanistan) adalah Direktur ISI (Inter-Service Intelligence, Bakin-nya Pakistan), Jenderal Abdul Rahman Akhtar (bertugas dari 1979 hingga 1987), penggantinya, Jenderal Hamid Gul, dan Pangeran Turki al-Faisal, kepala kementerian Intellijen Saudi Arabia.  Mereka memperoleh dukungan dari berbagai organisasi Islam di Timur Tengah (seperti al-Ikhwan al-Muslimun) dan dari Jamaat-i Islam yang berbasis di Pakistan.[1]  CIA tidak memainkan perang langsung dalam operasi ini, tetapi lembaga itu tidak menentangnya atau tidak khawatir akan konsekuensi buruknya belakangan.

·        Pakistan di bawah Zia menjadi perantara.  Sejak 1982, ia memperoleh bantuan dana sebesar US$600 juta dari AS.  Jumlah sekitar itu juga diterimanya dari negeri-negeri Teluk (Kepel 2002: 143).  Dana ini menstabilkan negaranya, sambil melakukan Islamisasi (termasuk menjalankan International Islamic University).  Ada banyak korupsi, tapi semua orang mengabaikannya, sejauh musuh Soviet masih ada di Afghanistan.  Persenjataan dalam jumlah yang massif dialirkan oleh CIA; senjata-senjata itu diturunkan di pelabuhan-pelabuhan Karachi; sebagian dijual di kota itu, menjadikan Karachi kota paling tinggi tingkat kekerasannya di dunia.  Sebagian lain senjata dialirkan oleh truk-truk ke perbatasan Afghanistan untuk kelompok mujahidin; sekembalinya, truk-truk itu mengangkut heroin yang ditanam di Afghanistan, menjadikan DEA, belakangan, pusing.

·        Para pejuang memandang diri mereka sebagai mujahidin (Muslim), sekalipun alirannya bermacam-macam; hanya sebagian kecil yang Wahhabi (Kepel 2002: 137), tetapi mereka tak pernah moderat dan pro-Barat.  Karena dikelola oleh Pakistan dan Jamaat-e Islami, kubu Hekmatyar dan aktivis Ikhwanul Muslimin memperoleh porsi paling besar.

 

Abdullah Azzam: Frankenstein Bentukan Aliansi Tak Suci

 

Contoh kasus yang mungkin paling menarik: Syaikh Abdullah Azzam, yang oleh The New Yorker disebut “the gatekeeper of the Jihad.”  Ia adalag teolog kelahiran Palestina yang lulus dari Universitas al-Azhar; mengajar di Universitas King Abdul Aziz, Jeddah, yang salah satu mahasiswanya bernama Osama bin Ladin; berkeliling dunia atas patronase CIA (muncul di televisi Arab Saudi dan sejumlah demonstrasi di AS); pada awal dan pertengahan 1980-an berkampanye merekrut mujahidin dari seluruh dunia; pendiri HAMAS.  Baginya, partisipasi dalam jihad bukan hanya soal politik, tetapi juga kewajiban keagamaan.  Jihad bukanlah hanya membunuh tentara Rusia, tetapi juga mencari kesyahidan.  Dalam sebuah rekaman video (1988), ia berkata: “Saya tiba di Afghanistan, dan saya tidak percaya akan apa yang saya lihat….  Kami sedang mencoba untuk memuaskan dahaga kami akan mati syahid.”  Formulanya mengenai jihad sederhana dan langsung: “Jihad and the rifle alone: no negotiations, no conferences, and no dialogues.”  (Mamdani 2004: 126-127)

 

Implikasi Perang Afghan

 

·        Demikianlah: Kamp-kamp pengungsi dan latihan perang di Peshawar, ibukota provinsi Northwest Frontier, Pakistan: 3 juta pengungsi Afghanistan; tempat pertemuan kalangan mujahidin internasional; terjadi pertukaran ideologi; berkembang logika baru, yang tidak selamanya sejalan dengan logika awal pengiriman mereka ke sana.  Yang terpenting: kami sudah berhasil mengalahkan Soviet.  Siapa musuh berikutnya?  Mengapa tidak setan yang satunya lagi, AS?

·        Tidak penting apakah kemenangan atas Soviet adalah kemenangan para mujahidin.  Terlepas dari pengaruh para voluntir dalam perang Afghanistan, lanskap strategis internasional berubah drastis pada sekitar 1990.  Kegagalan Revolusi Iran untuk mengekspor dirinya dan runtuhnya Uni Soviet menimbulkan tanda tanya mengenai makna penting aliansi kotor antara AS dan kalangan Islam militan: mau diarahkan ke mana mereka?  Namun, tidak ada yang dilakukan untuk membubarkan mereka atau memonitor mereka, yang masih berada di Afghanistan.  Yang mengkhawatirkan, sekitar 1991, jaringan Islam militan yang didukung oleh Arab Saudi dan Pakistan mulai mengembangkan sikap anti-Barat yang terang-terangan.  (Roy, 292).

·        Pertanyaan besar belakangan hari: Dengan ongkos apa Perang Dingin dimenangkan?  Mamdani: “ingin menunjukkan baimana konsekuensi-konsekuensi tak terduga dari aksi-aksi yang misinformed, cynical, dan oportunistik dapat menjadi bumerang bagi para pelakunya” (2004: 121).

·        Teori Mamdani (2004: 129-130): Jihad Afghan adalah jihad Amerika.  “Bagaimana Islamisme sayap-kanan, sebuah kecenderungan ideologis yang didukung oleh hanya segelintir orang yang terpencar-pencar sebelum Perang Afghanistan, berkembang menjadi kekuatan yang mampu mewarnai percaturan politik global pasca 11 September?  Jawabannya terletak pada jihad Afghan, yang telah mengubah kecenderungan itu [Islamisme sayap-kanan] menjadi bukan saja sebuah organisasi, jumlah orang, ketrampilan, jangkauan, dan rasa percaya-diri, tetapi juga tujuan yang koheren.  Sebelum perang Afghan, sayap kanan dari Islam politik itu terbelah ke dalam dua kelompok: yang diidentifikasikan dengan rezim-rezim pro-AS, seperti Saudi Arabia dan Pakistan, dan yang menentang rezim-rezim ini, memandangnya sebagai kaki-tangan (stooges) AS yang telah mengkhianati perjuangan Palestina.  Namun demikian, tidak sebagaimana kalangan Islamis yang mengorganisasikan partai-partai politik dan berupaya memobilisasi rakyat biasa ke dalam aktivitas politik, para Islamis sayap-kanan tidak memiliki program kecuali tindakan-tindakan teror di perkotaan yang dilangsungkannya sesekali (isolated).  Hingga perang Afghan, kalangan Islamis sayap-kanan yang tidak berkuasa sama sekali tidak memiliki aspirasi untuk mengumpulkan kekuatan dari organisasi rakyat atau kemungkinan untuk memperoleh dukungan kekuatan dari sumber alternatif.  Pemerintahan Reagan telah menyelamatkan Islamisme sayap-kanan dari jalan buntu historisnya (historical cul-de-sac).  Jihad AS mengklaim bahwa ia membangun infrastruktur Islam dari aksi pembebasan, tetapi dalam kenyataannya menyiapkan sebuah ‘infrastruktur teror’ yang memanfaatkan simbol-simbol Islam agar bisa masuk ke dalam jaringan dan komunitas Islam.” 


[1] Menarik dan penting dicatat bahwa mereka, dalam aliansi ini, berhubungan dengan para aktivis militan Islam yang secara terbuka bermaksud menjatuhkan rezim-rezim yang berkuasa di Timur Tengah.  Contoh paling menonjol mungkin adalah Ayman al-Zawahiri, seorang dokter yang semula ingin mengislamkan Mesir.  Ia termasuk orang Arab pertama yang tiba di Peshawar, Pakistan, pada 1980.

OSAMA BIN LADIN DAN AL-QAEDA

Pointers Short Course Kekerasan ke-7 (09/02/2007)

 

PUKULAN BALIK I:

OSAMA BIN LADIN DAN AL-QAEDA

Ihsan Ali-Fauzi

 

Model Baru Kaitan Islam dan Kekerasan

·        Awal 1990: perubahan dramatis dalam pola hubungan antara Islam dan kekerasan.  Kekerasan politik, yang sebelumnya dikaitkan dengan gerakan-gerakan Islam, kini mulai diprakarsai oleh kalangan “neo-fundamentalis”.  Organisasi-organisasi ini tidak terkait dengan satu negara tertentu, tidak memiliki agenda ke-negara-an, bekerja pada level internasional, dan terutama menargetkan pemerintahan-pemerintahan Barat dan simbol-simbolnya, bukan pemerintahan-pemerintahan lokal (al-`aduw al-ba`id versus al-`aduw al-qarib).

·        Perubahan ini hampir tak teridentifikasi, karena sepanjang dua dekade sebelumnya, gerakan-gerakan di atas menjadi kawan strategis AS dan aliansinya di negara-negara Muslim (Pakistan dan Saudi) dalam melawan komunisme, Syi`ah radikal dan bahkan nasionalisme Arab yang kekiri-kirian.  Titik tertinggi aliansi itu adalah Peshawar, untuk menghambat invasi Soviet dan ekspor revolusi Iran, di mana energi kritis kalangan Islam militan dialihkan dari rezim dalam negeri ke penjahat bersama di luar negeri.

 

Ada Apa?  Teori “Pukulan Balik”

·        Teori Mahmood Mamdani (2004: 129-130): Jihad Afghan adalah jihad Amerika.  “Bagaimana Islamisme sayap-kanan, sebuah kecenderungan ideologis yang didukung oleh hanya segelintir orang yang terpencar-pencar sebelum Perang Afghanistan, berkembang menjadi kekuatan yang mampu mewarnai percaturan politik global pasca 11 September?  Jawabannya terletak pada jihad Afghan, yang telah mengubah kecenderungan itu [Islamisme sayap-kanan] menjadi bukan saja sebuah organisasi, jumlah orang, ketrampilan, jangkauan, dan rasa percaya-diri, tetapi juga tujuan yang koheren.  Sebelum perang Afghan, sayap kanan dari Islam politik itu terbelah ke dalam dua kelompok: yang diidentifikasikan dengan rezim-rezim pro-AS, seperti Saudi Arabia dan Pakistan, dan yang menentang rezim-rezim ini, memandangnya sebagai kaki-tangan (stooges) AS yang telah mengkhianati perjuangan Palestina.  Namun demikian, tidak sebagaimana kalangan Islamis yang mengorganisasikan partai-partai politik dan berupaya memobilisasi rakyat biasa ke dalam aktivitas politik, para Islamis sayap-kanan tidak memiliki program kecuali tindakan-tindakan teror di perkotaan yang dilangsungkannya sesekali (isolated).  Hingga perang Afghan, kalangan Islamis sayap-kanan yang tidak berkuasa sama sekali tidak memiliki aspirasi untuk mengumpulkan kekuatan dari organisasi rakyat atau kemungkinan untuk memperoleh dukungan kekuatan dari sumber alternatif.  Pemerintahan Reagan telah menyelamatkan Islamisme sayap-kanan dari jalan buntu historisnya (historical cul-de-sac).  Jihad AS mengklaim bahwa ia membangun infrastruktur Islam dari aksi pembebasan, tetapi dalam kenyataannya menyiapkan sebuah ‘infrastruktur teror’ yang memanfaatkan simbol-simbol Islam agar bisa masuk ke dalam jaringan dan komunitas Islam.” 

·        Bayangkan Peshawar: Kamp-kamp pengungsi dan latihan perang di Peshawar, ibukota provinsi Northwest Frontier, Pakistan: 3 juta pengungsi Afghanistan; tempat pertemuan kalangan mujahidin internasional; terjadi pertukaran ideologi; sambil latihan perang dengan senjata kiriman CIA; berkembang logika baru, yang tidak selamanya sejalan dengan logika awal pengiriman mereka ke sana.  Yang terpenting: kami sudah berhasil mengalahkan Soviet.  Siapa musuh berikutnya?  Mengapa tidak setan yang satunya lagi, AS?

·        Tidak penting apakah kemenangan atas Soviet adalah kemenangan para mujahidin.  Terlepas dari pengaruh para voluntir dalam perang Afghanistan, lanskap strategis internasional berubah drastis pada sekitar 1990.  Kegagalan Revolusi Iran untuk mengekspor dirinya dan runtuhnya Uni Soviet menimbulkan tanda tanya mengenai makna penting aliansi kotor antara AS dan kalangan Islam militan: mau diarahkan ke mana mereka?  Namun, tidak ada yang dilakukan untuk membubarkan mereka atau memonitor mereka, yang masih berada di Afghanistan.  Yang mengkhawatirkan, sekitar 1991, jaringan Islam militan yang didukung oleh Arab Saudi dan Pakistan mulai mengembangkan sikap anti-Barat yang terang-terangan.  (Roy, 292).

·        Pertanyaan besar belakangan hari: Dengan ongkos apa Perang Dingin dimenangkan?  Mamdani: “ingin menunjukkan baimana konsekuensi-konsekuensi tak terduga dari aksi-aksi yang misinformed, cynical, dan oportunistik dapat menjadi bumerang bagi para pelakunya” (2004: 121).

 

Terjadinya “Pukulan balik”: Asal-usul, Ciri-ciri Besar

·        Setelah 1992, para Islamis/jihadis menjadi semacam pasukan yang terdemobilisasikan.  Pertanyaannya: apa setelah itu?  Pertama, ber-jihad di tempat-tempat lain yang bermasalah (Bosnia, Chechnya).  Kedua, kembali ke negara masing-masing, jika bisa (umumnya dicurigai, dikontrol ketat).  Ketiga, mencari suaka di negara-negara baru, khususnya AS dan Perancis/Inggris atau negara-negara Skandinavia.  Karena punya trauma dengan kasus Salman Rushdie, dibanding Perancis, Inggris lebih terbuka untuk masuknya para veteran Perang Afghanistan.

·        Kepel: menyebarnya para Islamis/jihadis militan bekas mujahidin Afghan ke seluruh dunia merupakan faktor penjelas utama ekspansi radikalisme Islam di negara-negara Muslim dan di Barat (khususnya AS dan Perancis): pemboman WTC pada Februari 1993; kampanye GIA menyerang Perancis pada 1995 dan pemerintahan Aljazair; 11/9; pemboman Bali I dan II; dan lainnya.

·        Ciri utama aktivisme radikal Islamis/jihadis ini: mereka tidak memiliki kaitan, apalagi organik, dengan masyarakat sekitar mereka atau gerakan sosial lokal di negeri-negeri Muslim.  Roy menyebutnya “deterritorialisasi”: Kalangan jihadis ini beroperasi secara global, melakukan banyak perjalanan lintas-dunia, bertempattinggal di banyak negara, dengan hubungan yang sedikit dengan “tanahair” mereka yang semula atau bahkan sekadar mengerti bahasanya.  Zacarias Moussaoui adalah warganegara Perancis keturunan Maroko, belajar di Montpellier, belajar bahasa Inggris dan menetap di London, di mana ia menjadi seorang “born-again Muslim.”  Muhammad Atta dan pilot-pilot 11/9 lainnya berasal dari Timur Tengah, berdiam pertamakali di Jerman, belajar bahasa Jerman, dan kemudian menetap di AS.

·        Al-Qaeda adalah sebuah organisasi dan merek dagang.  Ia bisa bergerak sendiri secara langsung, dalam sebuah upaya bersama, atau dengan franchising.  Ia mencirikan, tetapi tidak memonopoli, jenis kekerasan baru yang dilakukan atas nama Islam.

·        Lebih teknis, Al-Qaeda adalah sebuah organisasi internasional, sekalipun pusatnya pada 2001 berada di Afghanistan.  Jaringan-jaringan lokalnya dibangun dengan tujuan untuk mencapat target (korban) tertentu dan diorganisasikan di sekitar “kantong-kantong” yang sama sekali bukan di Timur Tengah.  Serangan 11/9 disiapkan di Hamburg, Spanyol, dan Kuala Lunpur oleh empat mahasiswa yang berbasis di Hamburg.

·        Kekuatan Al-Qaeda: terdiri dari para veteran Perang Afghan, yang saling kenal dan sudah mengembangkan esprit de corps di pegunungan atau kamp-kamp latihan di Afghanistan; solidaritas di antara orang-orang dari berbagai pelosok dunia ini diterjemahkan ke dalam organisasi internasional yang fleksibel dan mobil di mana garis komando menduplikasi ikatan-ikatan personal.  Kelemahan al-Qaeda: (1) butuh “justifikasi” keagamaan untuk menopang solidaritas di antara sesamanya; (2) tidak berakar di masyarakat Muslim; sulit membangun sebuah basis sosial dan politik di kalangan masyarakat Muslim di wilayah-wilayah di mana mereka tidak memperoleh dukungan dari semacam subkontraktor lokal (Taliban di Afghanistan, misalnya).

·        Al-Qaeda sebagai gerakan anti-imperialisme Barat.  Kesamaan: kalau lawannya benar-benar Kristen atau Yahudi, agama dan bukan imperialisme, yang dijadikan target tentu bukan simbol bisnis seperti Menara Kembar di New York!  Kelemahannya: Al-Qaeda tidak menawarkan alternatif, berbicara mengenai freedom for.  Hanya menawarkan surga dan bidadari yang menunggu (di mana mujahid perempuan???).

·        Doktrin jihad lewat praktik bunuh-diri menjadi dominan.  Salah satu pernyataan Osama diakhiri dengan puisi seperti ini: “So let me be a martyr,/dwelling in a high mountain pass/among a band of knights who,/united in the devotion to God,/descend to face armies” (dikutip dalam Juergensmeyer, 2005: xxiii).

 

Dua Generasi Jihadis Internasional

 

Generasi I: Dari Azzam ke Al-Qaeda

·        1980: Cikal bakal Al-Qaeda adalah Maktab al-Khidamat atau Bayt al-Anshar (Kantor Pelayanan) yang dibentuk Syaikh Abdullah Azzam di Peshawar.  Inilah orang yang oleh The New Yorker disebut “the gatekeeper of the Jihad.”  Ia adalag teolog kelahiran Palestina yang lulus dari Universitas al-Azhar; mengajar di Universitas King Abdul Aziz, Jeddah, yang salah satu mahasiswanya bernama Osama bin Ladin; berkeliling dunia atas patronase CIA (muncul di televisi Arab Saudi dan sejumlah demonstrasi di AS); pada awal dan pertengahan 1980-an berkampanye merekrut mujahidin dari seluruh dunia; pendiri HAMAS (bentrok dengan PLO yang dianggapnya nasionalis dan sekular).  Baginya, partisipasi dalam jihad bukan hanya soal politik, tetapi juga kewajiban keagamaan.  Jihad bukanlah hanya membunuh tentara Rusia, tetapi juga mencari kesyahidan.  Dalam sebuah rekaman video (1988), ia berkata: “Saya tiba di Afghanistan, dan saya tidak percaya akan apa yang saya lihat….  Kami sedang mencoba untuk memuaskan dahaga kami akan mati syahid.”  Formulanya mengenai jihad sederhana dan langsung: “Jihad and the rifle alone: no negotiations, no conferences, and no dialogues.”  (Mamdani 2004: 126-127).

·        Dalam perang Afghan, Azzam tidak membela satu faksi tertentu.  Ia lebih melihat perang ini sebagai latihan untuk mempersiapkan pasukan ummah baru (khilafah), dan bukan untuk mendirikan negara Islam di Afghanistan.  Ia tidak setuju dengan aksi-aksi teroris terhadap penduduk sipil; ia menentang penyerangan target-target Soviet di luar Afghanistan.

·        November 1989: Azzam wafat dalam ledakan mobil yang sampai sekarang misterius.  Osama Bin Ladin menggantikannya, menyingkirkan keturunan Azzam yang ikut wafat.  Naikya Osama direstui kerajaan Saudi, yang masih mendukungnya hingga 1998, dan pemerintah pakistan, yang masih mendukungnya hingga peristiwa 11/9.

·        Foundational Myth: Perang Masada di bulan ramadhan, Juni 1987, berhasil merebut kamp dekat Jaji yang dikuasai tentara Soviet.  Diikuti hampir semua pendiri Al-Qaeda, termasuk Ayman al-Zawahiri.

·        Untuk melihat realisasi “pukulan balik,” penting untuk mempertimbangkan tiga “kebangsaan” utama dalam jejeran veteran Perang Afghan, yakni: Arab Saudi, Aljazair, Mesir.  Yang menarik, tidak ada “wakil” dari Syria, Palestina yang “sungguhan” (yang ada hanya wakil dari kamp pengungsi Palestina); Irak, dan sangat sedikit dari Turki.  Setelah Perang usai, sebagiannya kembali ke negara-negara masing-masing dan turut membentuk organisasi-organisasi Islam “sempalan” di tanahair (FIS dan GIA di Aljazair; Jihad Islam dan Jamaah Islamiyah, pemboman Luxor pada 1997, di Mesir).

·        Sisanya, die hard, mengikuti jejak Bin Ladin: dari Saudi dan Somalia ke Yaman dan Sudan, untuk kembali lagi ke Afghanistan.  Sementara aksinya sudah mulai tampak dengan pemboman WTC pada 1993, Al-Qaeda mulai dikenal di Barat ketika Bin Ladin mendirikan “World Islamic Front for the Struggle against Jews and Crusaders” pada 1998, disusul dengan pemboman kedubes AS di Afrika Timur.

·        Inilah generasi pertama Al-Qaeda: mereka berasal dari negeri-negeri Muslim dan memiliki rekor sebagai aktivis politik; mereka direktur langsung dari negara mereka, bertemu di Afghanistan.

 

Generasi II: Jihadis Muslim di Barat

·        Mereka adalah aktivis Al-Qaeda yang beroperasi secara internasional dan dicirikan oleh pemutusan hubungan antara mereka dengan dunia Islam yang mereka klaim sebagai mereka wakili.

·        Transisi dari generasi pertama ke kedua bisa dilihat pada Sheikh Omar Abdel Rahman (amir Jamaah Islamiyah di Mesir; tokoh rekrutmen calon mujahid Afghan).  Pada 1986, ia memperoleh visa AS lewat CIA, untuk menghadiri konferensi mahasiswa Islam di AS dan mendukung pusat-pusat rekrutmen Afghan.  Dari situ ia bebas mengunjungi Pakistan dan Peshawar; makan siang di kedubes Saudi di Islamabad bersama banyak pejabat AS.  22 April 1990: setuju meredam radikalisme Jamaah Islamiyah di Mesir, dengan syarat pemerintah meringankan siksaan terhadap para aktivis radikal di penjara-penara Mesir.  10 Mei 1990: memperoleh visa ke US di Khartoum (Hasan Turabi dan Jenderal Bashir).  Januari 1991: melamar untuk memperoleh visa permanen sebagai residen; sebagai Imam Masjid El Salam (Jersey City, dikenal sebagai Little Egypt); visa diberikan padanya dengan segera (“unusual rapidity,” Kepel 301) pada April 1991; berkeliling dunia untuk Perang Afghan dengan visa permanen itu, hingga Kabul jatuh paa 1992.  Setelah itu mulai menghadapi banyak masalah sehubungan dengan kebijakan AS.  Januari 1991: ketika pergi haji, ia mulai dipersalahkan karena praktik bigami dan dianggap bohong dalam permohonan visanya.  Juni 1992: melamar sebagai pelarian politik; dibantu aktivis HAM; sambil tetap medakwahkan jihad.  Pengadilan kasus pemboman WTC (1993) menunjukkan banyak pelakunya berasal dari sel yang dibangun masjid El Salam.

·        Para pelaku 11/9, juga pemboman di Madrid dan London tahun lalu, adalah bagian dari generasi kedua ini.  Salah satunya digambarkan dengan sangat baik dalam novel John Updike, Sang Terroris.

 

Taliban dan Penegakan Syariat di Afganistan

Taliban dan Penegakan Syariat di Afganistan

Syamsul Rizal Panggabean

 

Pada Desember 1979, Uni Soviet menginvasi Afganistan[1] untuk mempertahankan pemerintahan komunis yang tidak stabil di sana. Sebagai bagian dari “perang dingin” terhadap komunisme, USA mengorganisasi perlawanan di Afganistan guna mengenyahkan Soviet. Jutaan dolar dikeluarkan untuk membiayai perlawanan gerilya kelompok-kelompok mujahidin, termasuk kelompok Usamah bin Ladin. Akhirnya, pada 1989, Soviet menarik diri dari Afganistan dan membiarkan negeri tersebut pecah berantakan dilanda perang saudara antara kelompok-kelompok mujahidin.[2]

Pada 1992, pejuang mujahidin pimpinan Ahmad Syah Massoud dan Rasyid Dostum menduduki Kabul serta menggulingkan Najibullah. Mereka menegaskan pembebasan Afganistan, dan membentuk negara Islam yang dikepalai oleh Dewan Jihad Islam dan Burhanuddin Rabbani. Tetapi, sejumlah kelompok di Afganistan tidak mendukung rejim  ini dan mulai membombardir Kabul, yang merupakan prelude untuk konflik etnis di Afganistan.[3] Dalam konteks inilah Taliban muncul dan kemudian berkuasa sekitar enam tahun (1996-2001) di Afganistan.

Kelompok Taliban (berasal dari bahasa Arab thalib, “penuntut/pencari ilmu”) dibentuk Mullah Muhammad Umar pada September 1994 di Qandahar, Afganistan Selatan, beranggotakan lulusan madrasah-madrasah Pakistan, terutama dari Deoban, yang terdapat di perbatasan Pakistan-Afganistan. Kebanyakan anggotanya berasal dari etnis Pasytun. Taliban memperjuangkan revolusi Islam, dan mendeklarasi misinya mengembalikan perdamaian, melucuti persenjataan masyarakat, menerapkan syariat Islam, serta mempertahankan integritas dan karakter Islam Afganistan.[4] Milisi yang dibentuknya sebagian besar berasal dari para veteran perang yang berjuang menentang Rusia. Sementara brigade elit Taliban dilatih di kamp latihan Bin Ladin. Itulah sebabnya Taliban sangat tergantung dan loyal kepada Bin Ladin.

Pada Nopember 1994, setelah tiga minggu bertempur, kelompok Taliban berhasil menduduki Qandahar, kota terbesar kedua di Afganistan. Konflik terbuka antara kelompok Taliban dan pemerintah Rabbani pun pecah, terlebih lagi setelah pemerintah menolak tuntutan Taliban atas islamisasi peraturan dan perundang-undangan, pengusiran para komunis serta pemberantasan KKN. Penolakan pemerintah tersebut telah membuat berbagai kelompok jihad bergabung dan memperkuat Taliban. Dalam tiga bulan setelah itu, Taliban telah menguasai 10 dari 31 provinsi di Afganistan,[5] dan pada 27 September 1996, berhasil menduduki ibukota Afganistan, Kabul.

Setelah mengontrol hampir seluruh wilayah Afganistan secara de facto dan membangun pemerintahan di negeri ini, hanya tiga negara yang mengakui keabsahan pemerintahan Taliban, yakni Saudi Arabia, Uni Emirat Arab dan Pakistan. Sehubungan dengan Pakistan, yang paling bersahabat dengan Taliban, dapat dikemukakan bahwa negara ini merupakan tutor serta partisipan aktif yang memungkinkan Taliban mencapai kekuasaannya. Secara geopolitis, Pakistan butuh mendominasi Afganistan untuk menyaingi negara tetangga yang merupakan musuh bebuyutannya, India, dan Taliban merupakan kendaraan untuk tujuan tersebut. Tetapi, dukungan ketiga negara ini dicabut menjelang kejatuhan Taliban pada penghujung 2001 pada 6 Desember, Taliban menyerahkan pusat kekuatan terakhirnya di Qandahar. Pemerintahan Taliban ditumbangkan oleh Amerika Serikat dan pasukan koalisi Afganistan. Sebab kejatuhan Taliban ini dapat disimpulkan dengan beberapa kata kunci: akibat peperangan, bencana alam, pengalaman politik yang cetek, dan pengembangan doktrin jihad yang terlalu berlebihan.

Sementara menguatnya pengaruh Taliban terletak pada dukungan yang diberikan kelompok-kelompok mujahidin yang kecewa terhadap pemerintahan Rabbani serta para lulusan madrasah. Aliansi etnik juga mengamankan keanggotaan Taliban. Kebanyakan anggotanya berasal dari etnis Pasytun, kelompok etnik mayoritas yang berkuasa sekitar dua setengah abad di Afganistan yang kehilangan kekuasaannya setelah pendudukan Soviet. Popularitas Taliban dan keunggulan militernya barangkali telah memberikan legitimasi tentatif kepadanya untuk berkuasa di Afganistan, dan pada Juni 1977, ia telah mengontrol dua pertiga negeri tersebut.

Kemunculan Taliban sebagai penguasa Afganistan juga berada pada momen yang tepat dan menguntungkannya. Ketika itu, struktur kekuasaan komunis telah luluh berantakan, sementara para pemimpin perlawanan yang berkuasa setelah itu tercemar dengan KKN serta kehilangan kepercayaan masyarakat. Ulama Afganistan, misalnya Syaikh Hakkani dan Syaikh Younis Khalis, bahkan mengeluarkan fatwa bahwa memerangi Dostoum — panglima di utara Afganistan yang merupakan sisa musuh Taliban — adalah jihad antara Muslim dan kafir ateis, serta membantu Taliban dengan jiwa dan harta adalah suatu kewajiban. Fatwa ini disokong oleh Usamah bin Ladin.[6] Demikian pula, kepemimpinan kesukuan tradisional di Afganistan telah musnah. Dengan menjanjikan keamanan dan kedamaian serta mengutuk para panglima perang yang korup, Taliban memperoleh dukungan yang luas dari populasi Afganistan yang lelah berperang dalam ketidakpastian.

Pada Oktober 1977, Taliban mengubah nama negerinya menjadi Emirat Islam Afganistan, dengan Mullah Umar — yang sebelumnya diangkat menjadi Amir al-Mu’minin — sebagai kepala negara. Terdapat suatu dewan pemerintahan di Kabul (Majelis Syura Kabul) yang dipilih para ulama berdasarkan prestasi dan kebajikannya, dipimpinan Mullah Mohammad Rabbani. Disamping itu, ada Majelis Syura Militer, yang dipimpin Mullah Umar.[7] Namun, otoritas terakhir untuk kekuasaan Taliban berada pada  Majelis Syura Tertinggi Taliban yang berkedudukan di Qandahar, dan di tangan Mullah Umar sendiri. Keanggotaan majelis ini didominasi oleh teman dan kolega Mullah Umar, yang kebanyakan berasal dari Durrani Pasytun. Anggotanya terdiri dari 10 orang, tetapi pertemuannya juga dihadiri oleh pemimpin militer, pemuka suku, dan ulama.[8] Majelis syura inilah yang, pada 4 April 1996, mengumumkan jihad terhadap Burhanuddin Rabbani, penguasa Afganistan sebelum Taliban.[9]

Setelah berkuasa, Taliban mulai menjalankan penegakan syariat Islam yang ketat dan ekstrem. Salah satu departemen dibentuk — Departemen Amar Makruf Nahi Munkar, dipimpin Mullah Qalam al-Din — untuk upaya penegakan tersebut, termasuk pembentukan Polisi Keagamaan yang bertugas mengawasi penegakan syariat.[10] Polisi keagamaan Taliban merupakan organisasi paling ditakuti di dalam milisia. Mereka berpatroli di kota-kota besar Afganistan dengan cambuk dan senapan otomatis di tangan, serta menjalankan tugasnya dengan penuh semangat dan tak jarang secara brutal. Mereka merazia rumah-rumah untuk menemukan bukti keterlibatan seseorang dengan rejim  sebelumnya, atau mencari bukti pelanggaran terhadap syariat Taliban.

Sementara kementerian yang menangani dan mengundangkan syariat adalah Kementerian Kehakiman, di bawah Menteri Mullah Nooruddin Turabi. Orang inilah yang bertanggungjawab mengelola syariat Islam versi Taliban. Suatu sistem peradilan dibangun di seluruh wilayah yang berada di bawah pemerintahan Taliban yang terdiri dari 95 persen orang Afghan, pada Desember 2000, untuk menegakkan syariat Taliban.

Berbeda dengan kebanyakan negara Muslim modern yang memberlakukan syariat lewat proses legislasi, kebanyakan syariat Taliban hanya diumumkan lewat dekrit — dari Mullah Umar sendiri, atau melalui Mulllah Qalam al-Din (Kepala Departemen Amar Makruf Nahi Munkar, Kepala Polisi Keagamaan) yang disiarkan melalui Radio Syariat (sebelumnya bernama Radio Kabul). Dekrit-dekrit ini mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.[11] Bagi Taliban, orang yang mempertanyakan dekrit-dekrit tersebut berarti mempertanyakan Islam. Bahkan, sehubungan dengan ketiadaan konstitusi, Jaksa Agung Mullah Jalilullah Maulvizada menjelaskan bahwa konstitusi Afganistan adalah syariat Islam, dan dengan demikian konstitusi yang konvensional tidak diperlukan.[12]

Ketika mulai berkuasa, Taliban melarang seluruh kelompok oposisi, partai politik dan serikat-serikat dagang. Orang-orang yang berani mempertunjukkan ketidaksetujuan terhadap Taliban ditangkap, dipukul dan ditahan, termasuk beberapa staf lokal yang bekerja pada agensi-agensi yang memberikan bantuan kepada Afganistan dan organisasi-organisasi media. Universitas Kabul ditutup dan seluruh staf pengadilan diberhentikan, mulai dari hakim sampai petugas kebersihan. Penutupan sekolah-sekolah untuk kaum wanita dilakukan hingga sistem pendidikan berdasarkan prinsip-prinsip Islam yang sejati dibangun, yang bebas dari pengaruh-pengaruh kafir Barat.[13] Sementara anak sekolah kelas 1 hingga 6 diperintahkan mengenakan turban hitam dan kelas di atasnya mengenakan turban putih. Menurut Taliban, mengenakan turban adalah sunnah Nabi Muhammad yang semestinya diikuti oleh kaum Muslimin. Sejak 21 Maret 2001, anak sekolah yang tidak menaati aturan ini dikeluarkan dari kelasnya.[14]

Selama masa kekuasaan Taliban, lelaki Afghan diwajibkan memelihara janggut, dan yang melanggarnya ditangkap, dipukuli serta dipenjara hingga janggutnya tumbuh lebat. Di Faryab, 83 laki-laki dihukum karena memangkas janggutnya. Radio Syariat, yang melaporkan berita ini, tidak menyebutkan jenis hukumannya, tetapi untuk pelanggaran semacam itu biasanya dihukum hingga 2 minggu penjara.[15] Lelaki yang berambut panjang ditangkap dan dibawa ke kantor polisi keagamaan, di mana rambut mereka akan dicukur dan mereka harus membayar biayanya. Demikian pula, lelaki berambut gondrong model Amerika dan Inggris ditangkap dan dibawa ke polisi keagamaan untuk dipotong rambutnya, dan ia juga harus membayar biayanya.[16]

Ketika dikumandangkan azan — lima kali sehari — kendaraan di jalan harus berhenti. Pengemudi dan penumpangnya mesti menuju masjid terdekat untuk melaksanakan shalat. Menjalankan shalat berjamaah di masjid adalah sunnah. Yang tidak melakukannya dipandang telah melakukan pelanggaran, dan akan dipenjara.[17]  Dalam siarannya pada Mei 2001, Radio Syariat melaporkan polisi keagamaan telah menahan 21 orang lantaran tidak menunaikan shalat secara berjamaah.[18]

Para pezina dihukum rajam atau cambuk. Pada Nopember 1996, Nurbibi dan Turyalai dirajam di depan publik lantaran tuduhan berzina. Turyalai meninggal setelah dirajam selama sepuluh menit, tetapi tidak demikian dengan Nurabi. Wanita ini harus “dihabisi” dengan lemparan batu besar di kepalanya.[19] Pada Mei 2001, Fazl Rahman dan Nadia dicambuk 100 kali atas tuduhan berzina.[20] Eksekusi terhadap pezina, demikian pula dengan hukuman lainnya, dipandang Taliban sebagai peristiwa keagamaan, dan dilakukan di depan publik. Stadion olah raga Kabul, merupakan salah satu tempat eksekusi hukuman Taliban.

Kejahatan-kejahatan serius seperti pencurian atau fitnah dihukum dengan potong tangan atau hukum mati — Mohammed Afzal merupakan salah seorang yang menjalani hukum potong tangan di depan ribuan orang, lantaran tuduhan mencuri yang tidak diakuinya, pada 1977. Para pelaku homoseksual dihukum bakar hidup-hidup di bawah tumpukan batu, dan tembok dirubuhkan di atas tubuh mereka oleh sebuah tank, seperti dilakukan terhadap 3 orang yang dituduh melakukan sodomi di  Qandahar.[21]

Seluruh hukum pidana Islam diberlakukan, demikian pula hukum dagangnya. Adalah hal yang ironis bahwa Taliban, yang pendapatan negaranya sebagian besar berasal dari perdagangan narkoba, memenjarakan serta menghukum pecandu dan pedagang narkoba. Pemerintah Taliban, dalam kasus candu ini, memungut 10 persen zakat dari para petani candu.[22] Tetapi, inkonsistensi ini hanya terlihat di awal pemerintahan Taliban. Pada 2001, pemimpin teringgi Taliban, Mullah Mohammad Umar, melarang secara total opium.

Bunga bank dan praktek riba diharamkan secara resmi, seperti halnya ramal-meramal. Seluruh buku ramalan diperintah untuk dibakar dan para peramal dipenjara hingga bertobat.[23] Upaya mengkonversi masyarakat Muslim Afghan ke agama lain diganjar dengan hukuman mati, baik orang yang dituduh mengkonversikan atau yang dimurtadkan. Menjelang kejatuhannya, Taliban menangkap enam wanita pekerja asing sebuah badan bantuan internasional dengan tuduhan semacam ini.[24] Tetapi, pengadilan terhadap keenam pekerja tersebut akhirnya menjadikan Afganistan sebagai bulan-bulanan bom Amerika, yang diakhiri dengan kejatuhan Taliban.

Televisi, film, musik, internet, dan berbagai jenis hiburan — seperti menyanyi, berdansa dan bahkan olah raga tinju — dilarang, karena membawa pengaruh yang tidak islami. Polisi keagamaan memberi batas waktu hingga 30 Juli 1998 bagi masyarakat Afghanistan untuk memusnahkan televisi mereka. Di akhir bulan tersebut, yang merupakan batas waktu yang ditetapkan, polisi keagamaan menyerbu toko-toko di Kabul dan memusnahkan televisi serta video recorder. Pemerintah Taliban terlihat tidak menyadari potensi media penyiaran pada masa konflik. Belakangan, menjelang kejatuhannya, potensi televisi baru disadari Taliban sebagai media yang dapat digunakan untuk membangkitkan simpati dunia Islam dan memobilsasi perhatian dunia internasional terhadap korban-korban sipil di Afganistan selama USA menjalankan “perang terhadap terorisme.”

Di kota Kabul, tidak ada bioskop atau tempat hiburan. Musik tidak dapat diputar di toko, hotel, kendaraan dan transportasi publik. Jika sebuah kaset musik ditemukan dalam sebuah toko, pemiliknya akan dipenjara dan tokonya ditutup. Seseorang yang ditemukan mendengar musik dalam kendaraannya akan kehilangan baik kaset maupun kendaraannya, disamping akan dipenjara.[25] Pada Mei 2001, Radio Syariat melaporkan dibakarnya alat-alat musik di kota Taloqan, sedangkan pemiliknya dihukum untuk memberikan pelajaran kepada yang lain.[26]

Taliban tampaknya tidak menyukai burung dara dan burung peliharaan lainnya. Ketentuan yang dikeluarkan pada Desember 1996 berisi perintah untuk membunuh burung dara dan burung-burung peliharaan lainnya.[27] Bermain kartu adalah ilegal, seperti halnya dengan bermain layangan. Dan seluruh toko yang menjual layang-layang ditutup. Perayaan Naoruz (tahun baru orang Afghan) biasanya diramaikan dengan permainan layang-layang. Dengan aturan ini, langit Afganistan bersih dari warna-warni layangan.[28]

Larangan penyembahan berhala yang dikeluarkan pada Desember 1996 menetapkan: Lukisan/gambar yang ada di kendaraan, toko, hotel, ruangan dan tempat lainnya harus dimusnahkan.[29] Pada 1 Maret 2000, otoritas Taliban memerintahkan pemusnahan patung-patung di seluruh negeri itu, yang difatwakan sebagai berhala. Dua patung Budha bersejarah di kota Bamiyan, berasal dari abad ke-4 dan ke-5, dimusnahkan Taliban pada Maret 2001 dengan dinamit dan tembakan meriam tank, yang menimbulkan badai protes internasional.[30]

Syariat Islam yang ditegakkan Taliban merupakan mimpi terburuk bagi wanita di negeri itu. Wanita dilarang bersekolah dan bekerja di luar rumah, bahkan di rumah sakit. Mereka juga dilarang bepergian tanpa muhrim, dan yang kedapatan bepergian dengan orang lain akan dihukum mati. Kasus Jamilah merupakan salah satu ilustrasi untuk hukuman semacam ini. Ia dihukum rajam pada 28 Maret 1996, karena dipandang bersalah mencoba meninggalkan negerinya dengan lelaki yang bukan muhrim.

Wanita harus mengenakan burqa — pakaian panjang yang menutupi seluruh tubuh dari kepala hingga kaki, kecuali mata. Para sopir transportasi publik tidak diperkenankan menaikkan wanita yang mengenakan burqa model Iran. Polisi keagamaan Taliban melakukan patroli di jalan-jalan untuk mencari wanita yang tidak mengenakan busana islami. Kaus kaki putih yang lazim dikenakan wanita Afghan pada masa sebelumnya, kini dilarang oleh Taliban karena secara seksual bersifat provokatif. Jika wanita berjalan terlalu cepat dan berbicara terlalu keras, mereka dapat dipukul. Jendela rumah-rumah dicat hitam untuk menghentikan orang mengintip kaum wanita di rumah. Wanita dilarang menarik perhatian lelaki, dan jika mereka ditemukan mengenakan pakaian ketat yang modis, mereka akan dikutuk syariat Islam dan dihukum, juga kaum lelakinya.

Wanita dinyatakan bertanggung jawab mengurus rumah tangganya, dan suami, saudara atau ayahnya harus mencukupi kebutuhan dasarnya. Kebiasaan para wanita Afghan mencuci pakaian di tepi sungai dilarang oleh Taliban. Yang melanggar akan dibawa ke rumahnya dan suaminya dihukum. Pasien wanita diharuskan pergi ke dokter wanita. Jika wanita harus diperiksa dokter lelaki, muhrim wanita itu harus menemaninya selama pemeriksaan dan baik pasien atau dokternya harus dipisahkan tabir. Dokter lelaki tidak diperkenankan menyentuh atau melihat bagian tubuh pasien wanitanya, kecuali bagian-bagian yang sakit. Dokter lelaki juga tidak diperkenankan memasuki ruangan pasien wanita, kecuali keadaan mengharuskannya. Dokter wanita dan lelaki tidak diperkenankan duduk bersama atau bercakap-cakap. Jika muncul kebutuhan untuk berdiskusi, keduanya harus dipisahkan tabir.[31]

Ketentuan-ketentuan yang merendahkan dan membatasi wanita itu dipandang penting oleh Taliban untuk mencegah kejatuhan negerinya ke dalam jurang kejahatan dan pelanggaran, seperti yang terjadi di negeri-negeri Barat dengan emansipasi wanitanya. Tetapi, ketentuan-ketentuan itu pada faktanya telah menyengsarakan kaum wanita. Di Kabul sendiri, hampir 40.000 janda perang jatuh di bawah garis kemiskinan, karena tidak dapat bekerja untuk menghidupi dirinya. Demikian pula, kaum lelaki Afghan di luar organisasi Taliban merasakan hidup di dalam neraka.

Itulah sebabnya, ketika rejim  Taliban jatuh, orang-orang Afghan merayakannya dengan memotong janggut, mendengar musik dan menikmati hiburan, serta lainnya, yang selama pemerintahan Taliban dapat dikenakan hukuman berdasarkan syariat para mullah. Dengan demikian, formalisasi syariat Islam versi Taliban yang dilakukan secara otoriter itu telah gagal. Dan kegagalan ini berakibat sangat buruk lantaran telah menghasilkan stigma dan citra buruk bagi Islam dan pemeluknya.

Akan tetapi, Taliban, dan talibanisme, belum padam.


[1]  Untuk sejarah singkat Afganistan, lihat M. Nazif Shahrani, “Afghanistan,” The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic Worl, vol. 1, hal. 27 ff.; “Afghanistan,” EI CD-Rom Edition; Louis Dupree, Afghanistan, (Princeton: Princeton Univ. Press, 1980); George Arney, Afghanistan, (London: Mandarin, 1990); dll.

[2]  Lihat Jonathan Goodhand, “Peace-Making in the New World Disorder: A Study of the Afghan Conflict and Attempts to Resolve it,” Peace Building and Complex Political Emergencies Working Paper Series, paper no. 7 (June, 2001), hal. 9 ff.

[3]  Ibid., hal. 13 ff.

[4]  Ahmed Rashid, Taliban: The Story of Afghan Warlords, (London: Pan Books, 2001), hal. 22. Karya Rashid ini mencakup sejarah Taliban hingga 2000.

[5]  Ibid., hal. 27-30.

[6]  “The Islamic Taliban Movement and the Dangers of Regional Assimilation,” http://Islam.org.au/articles/18/taliban1.htm. Diakses pada 19 Januari 2003.

[7]  Rashid, Afghanistan, hal. 221, untuk nama-nama anggota kedua majelis ini.

[8]  Rashid, Afghanistan, hal. 98, dan hal. 220 untuk nama-nama anggota majelis ini.

[9]  AFP, “Ullema Declare Jihad against Rabbani,” The Nation, April 4, 1996.

[10] Lihat Rashid, Afganistan, hal. 105.

[11] Salah satu dekrit syariat Taliban yang paling terkenal adalah “Enam Belas Regulasi,” yang diumumkan Mullah Qalam al-Din (Kepala Departemen Amar Makruf Nahi Munkar/Polisi Keagamaan) lewat Radio Syariat di Kabul pada Desember 1996. Dekrit ini berisi peraturan: (1) Larang fitnah dan wanita tanpa hijab; (2) larangan mendengar musik; (3) larangan mencukur dan menggunting janggut; (4) Larangan memelihara burung dara dan bermain dengan burung; (5) larangan bermain layang-layang dan penutupan toko layang-layang; (6) Larangan berhala, lukisan dan potret; (7) larangan berjudi; (8) larangan menggunakan dan memperaturan daerahgangkan candu; (9) larangan model rambut gondrong Amerika dan Inggris; (10) larangan bunga bank dan praktek riba; (11) larangan bagi wanita mencuci pakaian di tepi sungai di kota; (12) Larangan memutar musik dan berdansa dalam pesta perkawinan; (13) larangan bermain drum musik; (14) larangan bagi penjahit pria menjahitkan baju wanita dan mengukur badan wanita untuk pakaian yang akan dijahit; (15) Larangan ramal-meramal; dan (16) larangan meninggalkan shalat dan perintah shalat berjamaah. Lihat lebih jauh, Rashid, Afghan, hal. 218-219, untuk teks dekrit ini.

[12] Rashid, Afghanistan, hal. 107. Beberapa ilustrasi dekrit syariat Taliban, lihat ibid., apendiks 1, hal. 217-219.

[13] “Lives Still Restricted, Afghan Women see Hope,” The Christian Science Monitor, December 30, 1999.

[14] “Afghan Taliban orders Students to wear Turbans,” Reuters, March 28, 2001. AP, March 29, 2001.

[15] AFP, May 12, 2001.

[16] Khalid Hasan, “The Taliban’s World,” Dawn, March 19, 2001.

[17] Lihat Rashid, Afghanistan, hal. 219.

[18] AFP, May 12, 2001.

[19] John F. Burns, “Taliban Rulers Decree Death by Stoning to Adulterers,” The Denver Post, November 3, 1996.

[20] “Taliban Stage Lashing of  Unwed Couple Accused of Having Sex,” AFP, May 22, 2001.

[21] Sayed Salahuddin, “Taliban flog woman, cutt of two men’s hands,” http://www.rawa.org/handcut.htm. diakses 17 Januari 2003.

[22] Lihat Rashid, Afghanistan, hal. 117 ff.

[23] Hasan, “Taliban’s World.”

[24] Kate Clark, “Aid Workers Arrested by Taliban Face Death,” The Independent, August 5, 2001.

[25] Hasan, “Taliban’s World.”

[26] “Afghan Taliban burn Musical Instruments,” AFP, May 12, 2001.

[27] Lihat Rashid, Afghanistan, hal. 219.

[28] Hasan, “Taliban’s World.”

[29] Lihat Rashid, Afghanistan, hal. 219.

[30] Ibid, hal. ix f.

[31] Hasan, “Taliban’s World.”

TRANSFORMASI DOKTRIN JIHAD DI KALANGAN MUSLIM

Pointers Diskusi Wahhabisme IX (23 Februari 2007)

 

TERORISME BUNUH-DIRI DAN

TRANSFORMASI DOKTRIN JIHAD DI KALANGAN MUSLIM

Ihsan Ali-Fauzi

 

 

Pendahuluan

 

Tidak seperti sepuluh atau bahkan lima dekade yang lalu, kita sekarang sudah terbiasa mendengar berita tentang orang yang bersedia mati bunuh-diri untuk mencapai tujuan tertentu.  Yang paling terkenal tentu saja adalah kasus serangan 11 September, di mana semua penyerangnya mati bunuh-diri.  Dari kawasan Timur Tengah, Irak atau Afganistan misalnya, kita nyaris mendengarnya setiap hari.  Di negeri sendiri kita pernah menyaksikan kasus operasi terorisme bunuh-diri di Bali dan Jakarta.  Sekalipun berusia sangat tua, aksi-aksi terorisme bunuh-diri meningkat tajam sejak dua dekade terakhir.

 

Bagaimana kita menjelaskan fenomena ini?  Literatur ilmu sosial biasanya memberi kita dua jawaban: kalau bukan seorang religius fanatik, yang bertindak irasional dan berharap bertemu bidadari di surga sekarang juga, maka ia mestilah seorang yang frustrasi akibat himpitan ekonomi atau alienasi psikologis.  Yang satu menggarisbawahi pentingnya ideologi, yang kedua menonjolkan deprivasi ekonomi.  Pada keduanya, bunuh-diri selalu diletakkan sebagai aksi seseorang dan hal itu tidak pernah dilihat sebagai satu bagian dari konteks yang lebih besar.  Selain itu, karena terorisme bunuh-diri belakangan ini banyak dilakukan oleh mereka yang disebut Muslim fundamentalis, yang menyuarakan motif keislaman untuk membenarkan aksi mereka, banyak orang menghubungkan aksi itu dengan fundamentalisme Islam.

 

Sejauh mana bukti-bukti empiris mendukung pernyataan di atas?  Bagaimana doktrin mengenai jihad dalam Islam menopang aksi-aksi itu? 

 

Makalah ini ingin mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan di atas.  Sebagai titik tolak, saya akan mendiskusikan, secara cukup detail, temuan sebuah studi yang komprehensif oleh Robert A. Pape tentang motif-motif aksi terorisme bunuh-diri.  Bagi Pape, aksi-aksi itu dimotifasi bukan terutama oleh fundamentalisme Islam, melainkan oleh nasionalisme untuk mengusir “penjajah” asing.  Pada bagian kedua, saya akan mengeksplorasi kekuatan dan kelemahan tesis Pape ini, dalam hubungannya dengan peran agama (Islam).  Selanjutnya, pada bagian ketiga, saya akan secara singkat mendiskusikan peran ajaran Islam di dalam aksi-aksi terorisme bunuh-diri.  Di situ akan saya coba tunjukkan pada titik-titik mana para aktivis gerakan Islam bersepakat dan pada titik-titik mana pula mereka berbeda pendapat.  Pada butir-butir inilah kita dapat mendeteksi terjadinya transformasi doktrin jihad dalam aktivisme Islam belakangan ini.

 

Studi Pape: Nasionalisme Sekular, bukan Fundamentalisme Islam

 

Dalam Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism (2005), Robert A. Pape menolak pandangan bahwa aksi-aksi terorisme bunuh-diri terkait secara langsung dan signifikan dengan ideologi fundamentalisme Islam.  Baginya, pandangan itu didasarkan pada asumsi yang salah, data yang tidak komprehensif, dan dapat berimplikasi negatif: justru menumbuhsuburkan aksi bunuh-diri oleh kalangan fundamentalis Muslim.

 

Ini temuan menarik sekaligus kontroversial.  Pape bukan sebarang sarjana: ia gurubesar ilmu politik pada Universitas Chicago, salah satu pusat studi ilmu politik paling kuat di AS.  Selama hampir satu dekade ia mengepalai pusat studi tentang terorisme bunuh-diri di universitas itu.  Sekalipun temuannya melawan arus utama teoretisasi tentang terorisme bunuh-diri, studinya diakui sangat ilmiah.

 

Kesimpulan Pape di atas ditarik dari studinya atas 315 kasus serangan bunuh-diri di seluruh dunia antara 1980 dan 2003.  Ini mencakup tiap episode di mana sedikitnya seorang teroris membunuh-dirinya sendiri seraya membunuh yang lain, tetapi tidak mencakup serangan bunuh-diri yang diorganisasikan oleh sebuah pemerintahan nasional (misalnya oleh Korea Utara terhadap Korea Selatan).

 

Data Pape menunjukkan bahwa hubungan antara terorisme bunuh-diri dan fundamentalisme Islam tidak sekuat seperti diduga orang.  Pape menemukan bahwa sekalipun yang memelopori serangan bunuh-diri di era modern adalah para pejuang Hizbullah, yang dominan menerapkannya adalah para aktivis Macan Tamil di Sri Lanka, sebuah kelompok Marxis-Leninis yang anggotanya berasal dari keluarga Hindu tetapi mereka sendiri emoh dengan agama.  Dari 315 kasus yang diteliti Pape, kelompok ini melakukan 76 kali serangan bunuh-diri, lebih banyak dari Hamas (54 kali) dan Jihad Islam (27 kali).  Yang juga menarik dari temuan Pape adalah jika aksi-aksi bunuh-diri oleh kalangan Muslim sendiri diperbandingkan.  Datanya menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga dari aksi-aksi bunuh-diri oleh kaum Muslim justru dilakukan oleh kalangan Muslim sekular, yakni kelompok-kelompok seperti Partai Buruh Kurdistan (Turki), Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (Palestina), dan Brigade Syahid al-Aksa (Palestina).

 

Yang menyatukan hampir semua aksi bunuh-diri itu, kata Pape, adalah tujuan khususnya yang bersifat sekular dan strategis.  Tujuannya adalah untuk memaksa agar negara-negara demokratis modern menarik mundur kekuatan militer mereka dari wilayah yang oleh para pelaku bom bunuh-diri dianggap sebagai tanah air mereka.  Misalnya tentara AS dari Semenanjung Arabia, Israel dari Palestina, Rusia dari Chechnya, dan lainnya.

 

Kesimpulan ini ditopang oleh tiga pola besar yang mewarnai aksi-aksi bunuh-diri.  Pertama, hampir semua aksi, 301 dari 315 kasus yang diteliti Pape, terjadi sebagai bagian dari kampanye politik dan militer yang terorganisasikan dan lebih besar.  Aksi-aksi itu bukan arbitrer dan tanpa komando.  Aksi-aksi ini dipilih sebagai pilihan terakhir.  Para sponsor aksi-aksi ini sadar bahwa mereka secara militer lebih lemah dibanding pihak yang ditentangnya.  Aksi bunuh-diri menjadi senjata kaum lemah (weapons of the weak).

 

Kedua, negara-negara demokratis menjadi objek yang rentan terhadap aksi-aksi ini.  AS, Perancis, India, Israel, Rusia, Sri Lanka, dan Turki hampir selalu menjadi target aksi bunuh-diri sepanjang dua dekade terakhir.  Dalam pandangan para sponsor aksi bunuh-diri, negara-negara demokratis rentan terhadap tuntutan yang disampaikan lewat aksi bunuh-diri; rakyat di negara-negara demokratis dapat mendesakkan diubahnya kebijakan luar negeri pemerintahan mereka, agar sejalan dengan tuntutan para pelaku aksi terorisme bunuh-diri.  Selain itu, diyakini bahwa retaliasi pemerintah negara-negara demokratis terhadap aksi mereka tidak akan separah dibanding retaliasi oleh pemerintahan otoriter.

 

Ketiga, aksi-aksi bunuh-diri itu dilakukan untuk mencapai satu tujuan strategis: dari Lebanon ke Israel ke Kashmir dan Chechnya, para sponsor aksi bunuh-diri – semuanya 18 organisasi dalam data Pape – berupaya untuk membangun atau mempertahankan kedaulatan politik (political self-determination) di tanah air mereka sendiri.  Di sini Pape membedakan antara egoistic suicide (bunuh-diri sebagai pelarian diri karena alienasi, misalnya) dan altruistic suicide (bunuh-diri untuk mencapai tujuan yang lebih besar).

 

Di mana peran agama?  Menurut Pape, agama hanya digunakan sebagai alat untuk dua tujuan: (1) merekrut para calon pelaku bunuh-diri dan (2) mencari dukungan dana dari luar negeri.

 

Contoh-contoh yang dikemukakan Pape tampak persuasif.  Misalnya, sebelum invasi Israel ke Lebanon pada 1982, tidak ada aksi bunuh-diri Hizbullah terhadap Israel.  Bahkan, Hizbullah justru dibentuk sebagai tanggapan atas invasi itu.  Lalu, sebelum militer Sri Lanka masuk ke wilayah yang dikuasai Macan Tamil pada 1987, para aktivis Macan Tamil tidak pernah menerapkan aksi bunuh-diri.  Juga, sebelum jumlah tentara pendudukan Yahudi meningkat drastis di Tepi Barat pada tahun 1980-an, kelompok-kelompok Palestina tidak menerapkan aksi bunuh-diri.  Akhirnya, kasus-kasus aksi bunuh-diri di Irak sejak invasi militer AS pada 2003.  Sebelumnya, tidak ditemukan aksi sejenis itu.  Menurut Pape, para pelakunya adalah kaum Sunni Irak dan mereka yang disebut jihadist dari luar, khususnya Arab Saudi.  Ini sejalan dengan argumen Pape mengenai pertimbangan strategis aksi-aksi itu: mereka ingin menggoyang keberadaan militer AS di Irak dan Arab Saudi.

 

Temuan Pape punya implikasi kebijakan serius.  Ia menawarkannya khususnya untuk pemerintahan negerinya, AS, tetapi tawaran ini juga berguna untuk pemeritahan lain.  Semula diasumsikan bahwa bagi AS, akan lebih baik jika para teroris itu beraksi jauh di luar AS sendiri, di Irak misalnya.  Kata Pape, yang terjadi tak sesuai harapan.  Keberadaan pasukan AS di Teluk Persia sejak 1990 telah memungkinkan al-Qaeda untuk merekrut para pelaku aksi bunuh-diri, yang pada gilirannya menyerang rakyat AS di wilayah itu (pemboman kedutaan AS di Afrika pada 1998, misalnya).  Lalu keberadaan lebih dari 150 ribu pasukan AS di Irak hanya menambah amunisi untuk para sponsor aksi bunuh-diri merekrut anggota baru.

 

Apa alternatifnya?  Kata Pape, menyebarkan demokrasi di Timur Tengah tetap penting, tetapi itu bukan panacea sejauh pasukan AS masih menetap di sana.  Meninggalkan sama sekali kawasan itu, menurut Pape, juga bukan pilihan terbaik, karena kepentingan minyak AS dan keamanan sekutunya di wilayah bersangkutan.  Solusi terbaiknya adalah AS menerapkan kembali strategi “offshore balancing” yang pernah dipraktikkannya pada dekade 1970-an dan 1980-an.  Di sini AS mengelola kepentingannya di sana tanpa menempatkan pasukan secara langsung.  Melainkan, untuk menjaga kepentingannya dan sekutunya di wilayah itu, AS menempatkan pasukannya di tengah laut, di kapal atau pangkalan militer di dekat wilayah itu.

 

Bagi Pape, alternatif di atas adalah pilihan paling bijak, karena yang harus lebih dikhawatirkan adalah lahirnya generasi baru para aksi teroris bunuh-diri sebagai reaksi dari pendudukan tentara asing.  Perang melawan terorisme yang sesungguhnya bukanlah membunuh habis para teroris itu, sekalipun hal ini tetap penting, melainkan mencegah lahirnya teroris-teroris baru.  Akar masalahnya bukanlah Osama bin Ladin itu sendiri, tetapi alasan yang digunakan Osama untuk merekrut para pengikut baru.

 

Peran Agama (Islam): Kekuatan dan Kelemahan Studi Pape

 

Studi Pape amat menarik karena beberapa alasan.  Pertama, studi ini kuat secara metodologis.  Pape menampilkan data-data empirik yang dikumpulkan dengan susah-payah dan dianalisis secara sistematis.  Dataset-nya juga meyakinkan, mencakup semua kasus pada masa di mana aksi-aksi bunuh-diri terjadi secara beruntun dan meningkat tajam.  Dibanding studi komprehensif ini, studi-studi kasus akan kurang meyakinkan.  Pape menyajikan untuk kita metriks, tabel dan grafik yang menggambarkan semua kasus aksi bunuh-diri, sesuatu yang bisa dikuantifikasi dan dicek validitasnya oleh semua orang.  Ini mengalahkan penafsiran-penafsiran yang spekulatif dan polemis mengenai aksi bunuh-diri, yang sering kurang meyakinkan, kalau tidak malah membingungkan, kita.

 

Kedua, tesis Pape reassuring, membesarkan hati kita bahwa pada akhirnya toh ada cara untuk mengakhiri aksi-aksi bunuh-diri.  Sudah sering kita mendengar paparan mengenai para pelaku aksi bunuh-diri sebagai orang-orang yang fanatik dan tidak rasional, yang karenanya mustahil dihentikan.  Dengan mengedepankan alasan altruistik, bukan alasan egoistik, dari aksi bunuh-diri, Pape meyakinkan kita bahwa aksi-aksi mereka bisa dihentikan.  Caranya adalah dengan menarik pasukan dari wilayah yang mereka pandang sebagai tanah air mereka.  Dan data Pape mendukung hal ini.  Misalnya, Hizbullah menghentikan aksi-aksi bunuh-diri mereka setelah tentara AS dan Perancis menarik diri dari Lebanon, sesuai tuntutan Hizbullah.  Ini juga salah satu kelebihan studi Pape: ia mampu menunjukkan bagaimana dan kapan aksi-aksi bunuh-diri itu berhenti atau selesai.  Kalau aksi-aksi itu didorong oleh fundametalisme Islam, tanya Pape secara retoris, mengapa aksi-aksi itu berhenti sementara fundamentalisme Islam terus berkembang?

 

Ketiga, teori Pape menawarkan sebuah tafsir yang sepenuhnya sekular atas aksi-aksi bunuh-diri.  Ingat bahwa menurut Pape, tuntutan para pelaku aksi bunuh-diri tidak bersifat religious, khususnya Islam, melainkan nasionalistik.  Lagi-lagi, tuntutan ini lebih masuk akal dan deal serta negosiasi dengan para sponsornya bisa dilakukan.  Ini sulit dilakukan kalau agama dibawa-bawa, dengan aura apokaliptiknya yang mematikan.  Bagi mereka yang sudah lama emoh dengan kebijakan luar negeri AS, tesis Pape juga meyakinkan.  Tesis itu menunjang pandangan mereka bahwa radikalisme dan kekerasan politik adalah reaksi atas kebijakan luar negeri AS yang semau gue.  Kalau Hugo Chavez sempat membaca karya ini sebelum KTT Non-Blok kemarin, tidak tertutup kemungkinan bahwa ia juga akan menyarankan supaya buku ini dibaca, selain karya Noam Chomsky.

 

Tetapi sejumlah pertanyaan dan kritik harus diajukan kepada asumsi, strategi perbandingan antarkasus, dan data-data Pape.  Saya akan mulai dengan asumsinya, yang patut dipertanyakan.

 

Pape berasumsi bahwa semua kasus aksi bunuh-diri bisa diperbandingkan.  Ingat bahwa ia meneliti 315 kasus dari seluruh dunia, dan dari sana ia menarik kesimpulan-kesimpulan penting.  Tetapi apakah kita memerlukan sebuah penjelasan tunggal mengenai aksi-aksi bunuh-diri.  Mengapa aksi-aksi bunuh-diri harus punya alasan dan makna yang sama di mana-mana?  Pertanyaan ini penting karena toh pada akhirnya aksi bunuh-diri adalah sebuah sistem senjata.  Ia hanyalah alat yang bisa dugunakan siapa saja dan untuk alasan apa saja.  Jika aktivis Hizbullah yang fundamentalis menggunakannya, maka aktivis Macan Tamil bisa menirunya tanpa harus menjadi Islam fundamentalis.  Senjata, dalam perkataan lain, tidak mengenal ideologi.

 

Kedua, cara Pape membandingkan kasus-kasus biased untuk mendukung teorinya.  Ia menekankan kuantitas aksi-aksi bunuh-diri, sehingga yang menonjol dari datanya adalah bahwa organisasi Macan Tamil merupakan pemecah rekor aksi-aksi itu.  Dengan begitu ia tidak melihat secara mendetail (menyembunyikan?) sekuensi aksi-aksi bunuh-diri ini.  Padahal, jika dilihat dari sekuensinya, aksi-aksi ini diawali Hizbullah pada 1983, yang kemudian menyebar ke (ditiru oleh?) kelompok-kelompok yang lain, termasuk yang lebih sekular.  Mengapa aksi-aksi ini dimulai dari Hizbullah?  Bukti yang ada menunjukkan bahwa peran konsep Islam besar di sini, yakni konsep mengenai kesyahidan.  Jika benar, ini tentu menggerogoti adekuasi teori Pape, yang agak menyepelekan faktor agama.

 

Ketiga, sementara teori Pape bisa dengan meyakinkan menjelaskan kasus Hizbullah di Lebanon, teori itu susah sekali digunakan untuk menjelaskan fenomena al-Qaeda.  Ingat, Pape ingin kita percaya bahwa al-Qaeda adalah suatu gerakan nasionalisme Arab yang diprovokasi kehadiran tentara AS di Semenanjung Arabia.  Kata Pape, kalau mau al-Qaeda berhenti, sebaiknya pemerintah AS menarik tentaranya dari wilayah itu dan mengawasinya dari offshore.

 

Di sini bukti-bukti Pape lemah dan terasa dipaksakan.  Ia mengangkat fakta penting bahwa 15 dari 19 pelaku 11 September adalah warga Arab Saudi.  Sekalipun benar, bukti ini tidak lengkap.  Pape tidak memperhitungkan sejumlah calon pelaku bunuh-diri yang tidak berhasil masuk ke AS sebelum 11 September.  Dalam Perfect Soldiers: The Hijackers: Who They Are, Why They Did It (2005), wartawan LA Times Terry McDermott mengungkap bahwa sedikitnya setengah dari selusin orang yang terpilih untuk melakukan missi itu tidak berhasil masuk ke AS.  Mereka tidak bisa memperoleh visa karena mereka dikhawatirkan akan menetap di AS.  Demikian, karena mereka adalah orang-orang Yaman, yang miskin secara ekonomi.  Sebaliknya, warganegara Arab Saudi, yang menjadi dasar teori pape, justru mudah memperoleh visa karena negara mereka adalah negara kaya dan bersahabat dengan AS.  Konterfakta ini penting dikemukakan karena, seperti dikatakan McDermott, Osama bin Laden, yang bapaknya lahir di Yaman, “menunjukkan isyarat bahwa ia ingin menggunakan orang-orang Yaman dalam menjalankan rencananya.”

 

Bukti Pape juga lemah jika pendudukan AS di Semenanjung Arab dibandingkan dengan aksi-aksi pendudukan lain.  Jumlah tentara AS di Arab Saudi hanya sekitar 12.000 pada 2001, menjelang 11 September.  Padahal, seperti ditunjukkan Pape di Tabel 10 bukunya, wilayah ini dihuni penduduk dengan jumlah paling besar di Teluk Persia, 50 juta jiwa.  Yang tidak ditekankan Pape adalah kenyataan bahwa pendudukan ini hanya menghasilkan jumlah korban paling kecil: nol!  Bandingkan dengan jumlah mereka yang menjadi korban di Chechnya (50.000 jiwa) dan Lebanon (19.000), yang jumlah penduduknya masing-masing hanya sekitar satu juta jiwa.  Pendeknya, kehadiran pasukan AS adalah sebuah pendudukan, jika mau disebut demikian, yang jauh lebih lembek dibandingkan dengan aksi-aksi pendudukan lain.

 

Menyangkut fenomena al-Qaeda, penjelasan Olivier Roy, dalam Globalized Islam (2004), jauh lebih meyakinkan.  Di situ ia berbicara mengenai tumbuhnya jaringan transnasional gerakan-gerakan Islam, yang tak terkait dengan tempat tertentu.  Sekarang, katanya, kita menyaksikan tumbuhnya generasi Muslim baru yang bagi mereka viktimisasi kaum Muslim di mana saja adalah sesuatu yang nyata dan personal, dan harus dilawan dengan apa saja.  Beberapa di antara generasi baru ini lahir di Barat.  Inilah yang lebih menjelaskan mengapa aksi-aksi bunuh-diri dilakukan di Bali, London dan Madrid.

 

Jihad lewat Aksi Bunuh-Diri

 

Sekarang mari kita lebih khusus bicara mengenai kasus-kasus Islam.  Pertanyaan kita: bagaimana bunyi ajaran Islam tentang bunuh-diri?  Apakah kita bisa temukan aksi-aksi bunuh-diri dalam sejarah Islam?  Apakah kita bisa membeda-bedakan antara satu dan lain jenis bunuh-diri?  Bagaimana para pelaku aksi bunuh-diri menberi justifikasi keagamaan bagi aksi-aksi mereka?

 

Pertama-tama harus dikemukakan bahwa Islam adalah agama yang dengan tegas mengharamkan aksi bunuh-diri.  Dalam al-Qur’an disebutkan: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (wa lâ tulqû bi-aydîkum ilâ al-tahlukah [Q 2: 195]) dan “Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri (wa lâ taqtulû anfusakum [Q. 4: 29]).  Secara tradisional, negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim pun dikenal sebagai negara-negara dengan angka kematian akibat bunuh-diri paling rendah di dunia. 

 

Dilihat dari sejarah, di kalangan Islam Sunni, aksi-aksi bunuh-diri adalah sebuah fenomena yang relatif baru.  Di kelompok Islam lain, seperti Syi`ah Isma`iliyah atau Syi`ah Imamiyah, aksi bunuh-diri sudah lama dikenal dan diterima luas.  Tetapi penting dicatat bahwa aksi-aksi ini selalu diletakkan dalam kerangka mencapai tujuan yang lebih besar (istilah mereka: “perjuangan”), yakni sebagai cara untuk menjalankan apa yang mereka pandang sebagai jihad membela kepentingan kaum Muslim.  Dalam Islam Syi`ah, misalnya, tradisi kesyahidan itu sudah dimulai dengan kerelaan Imam Husain, cucu Nabi Muhammad, untuk mati di padang Karbala, karena musuh yang dihadapinya sangat besar (cf. Esposito, Unholy War [2002], 68).

 

Dalam konteks kontemporer, hal ini ditegaskan dengan detail di dalam dokumen berjudul “Aturan-aturan Islam tentang Kebolehan Operasi-operasi Kesyahidan,” yang dikeluarkan oleh Dewan Ulama Semenanjung Arabia bagi para pejuang Chechnya.  Mereka mendefinisikan “Operasi-operasi kesyahidan atau pengorbanan-diri” sebagai “operasi-operasi yang dilakukan oleh seseorang atau lebih, melawan musuh yang kekuatannya jauh melampaui mereka dalam hal jumlah dan perlengkapan, dengan pengetahuan sebelumnya bahwa operasi-operasi itu hampir dapat dipastikan akan menyebabkan kematian [si pelaku operasi]” (dikutip dalam Cook, Understanding Jihad [2005], 142).

 

Definisi ini mengungkap mindset yang menyebabkan diperbolehkannya operasi kesyahidan: operasi-operasi itu dibenarkan karena kaum Muslim kalah dalam sumberdaya manusia atau teknologi.  Karenanya, kaum Muslim harus memanfaatkan secara maksimal satu keunggulan yang mereka miliki: kesediaan si Muslim untuk mati.  Demikianlah, poster-poster yang dipajang para mahasiswa di berbagai universitas di Tepi Barat dan Gaza, lapor Esposito, bunyinya begini: “Israel punya bom nuklir, kita punya bom manusia” (Esposito, Unholy War [2002], 99).  Semetara Palestina bukanlah tandigan Israel dari segi jumlah manusia dan persernjataan, Dr. Abdel Aziz Rantisi, pemimpin senior Hamas, percaya bahwa bom-bom manusia Palestina akan menjamin bahwa “orang-orang Israel tidak akan memperoleh kestabilan dan keamanan hingga pendudukan diakhiri.  Para pelaku bom bunuh-diri adalah masa depan Israel” (dikutip dalam Esposito Unholy War [2002], 100).

 

Dokumen yang saya kutip di atas juga menyebutkan dengan detail bagaimana operasi kesyahidan di atas dijalankan.  Kata dokumen itu: “Bentuk operasi yang biasa digunakan sekarang adalah dengan melengkapi tubuh seseorang, kendaraan atau tas dengan bom, dan kemudian masuk ke tengah-tengah sekumpulan musuh atau fasilitas musuh yang vital, dan untuk meledakkan [bom yang sudah terpasang itu] di tempat yang dianggap pas sehingga dapat menyebabkan kerugian maksimum di pihak musuh, seraya mengambil keuntungan dari unsur keterkejutan dan penetrasi.  Menurut hukum alamnya, pelaksana operasi itu biasanya akan menjadi orang pertama yang mati” (dikutip dalam Cook, Understanding Jihad [2005], 142).

 

Maka penting juga disebutkan soal bahasa-politik yang digunakan dalam discourse soal bunuh-diri atas nama agama di sini.  Kalau kita meminjam istilah Pape yang sudah didiskusikan di atas, aksi-aksi oleh kaum Muslim di atas tidak pernah dilakukan sebagai egoistic suicide, melainkan selalu merupakan altruistic suicide.  Bom-bom berupa manusia itu, meminjam istilah Pape lagi, adalah senjata orang-orang lemah.  Oleh para pengasa, baik nasional seperti rezim otoriter Hosni Mubarak di Mesir atau internasional seperti pemerintahan George Bush di AS, mereka disebut “teroris.”  Tapi mereka sendiri menyebut diri mereka “pejuang,” sambil menuduh-balik Bush dan sekutu-sekutunya sebagai “teroris.”

 

Dokumen yang sudah saya sebut di atas juga menyadari aspek discourse ini.  Dalam dokumen itu disebutkan,

 

Sebutan “operasi bunuh-diri” yang digunakn orang adalah tidak akurat, dan bahkan sebutan itu dipilih oleh orang-orang Yahudi untuk men-discourage orang dari melakukan upaya seperti itu.  Betapa besar perbedaan antara seseorang yang melakukan bunuh-diri (suicide) – karena ketidakbahagiaannya, kekurangsabarannya, dan kelemahan atau ketiadaan iman pada dirinya – dan seseorang yang rela mengorbankan-diri (self-sacrificer) yang berangkat menyongsong operasi itu karena kekuatan iman dan keyakinannya, dan untuk membawa kemenangan bagi Islam dengan mengorbankan hidupnya demi meninggikan sadba Ilahi. (dikutip dalam Cook, Understanding Jihad [2005], 143).

 

Dalam Islam, para pelaku aksi bunuh-diri dengan tujuan di atas disebut sebagai syahîd (“yang memberi kesaksian”), sebuah kata yang juga digunakan di dalam al-Qur’an.  Di sini diimplikasikan bahwa kerelaan untuk mati dalam rangka membela kebenaran adalah bentuk kesaksian tertinggi kepada Tuhan.  Kata Arab ini berasal dari kata yang sama dengan pernyataan kesaksian kaum Muslim (syahâdah), bahwa “Tidak ada Tuhan selai Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah.”  Mereka yang mati dalam perjuangan ini akan langsung dikirim ke surga (lihat juga Esposito, Unholy War  [2002], 69-70).

 

Hingga titik ini, banyak aktivis Islam yang bersepakat.  Maka tidak mengherankan jika beberapa ulama terkenal dan dihormati di Timur Tengah, seperti al-Tantawi dan Yusuf Wardhawi, mendukung aksi-aksi kesyahidan menentang pendudukan tentara asing di wilayah-wilayah Islam.  Mereka mengeluarkan fatwa-fatwa yang berisi dukungan mereka terhadap aksi-aksi itu, ketika aksi-aksi itu makin populer.

 

Namun perbedaan pendapat mulai terjadi ketika diskusi sampai pada masalah siapa (calon) korban yang akan menjadi target operasi-operasi bunuh-diri atau  kesyahidan.  Ini masalah krusial, karena watak terorisme itu sendiri menunjukkan bahwa operasi itu baru benar-benar berhasil dalam jangka panjang jika korban yang diakibatkannya besar dan melibatkan kalangan warganegara biasa.  Lebih krusial lagi jika korban yang diakibatkan itu adalah kaum Muslim sendiri.

 

Perbedaan pendapat juga terjadi dalam hal apakah yang dianggap musuh yang dianggap melukai kaum Muslim adalah rezim yang memerintah di satu negara tertentu atau tatanan internasional yang dianggap tidak adil.  Inilah yang membedakan antara apa yang disebut sebagai al-`aduw al-qarîb (musuh yang dekat) dan al-`aduw al-ba`îd (musuh yang jauh).  (Lihat Gerges, The Far Enemy [2005]).

 

Perbedaan pendapat ini menyangkut justifikasi (boleh atau tidak) dan efektivitas (apakah ini menguntungkan atau tidak, dalam jangka menengah dan panjang).  Pada kalangan tertentu, ukuran efektivitas diletakkan sebagai bagian integral dalam memperhitungkan apakah sebuah operasi dapat dijustifikasi atau tidak.

 

Transformasi Makna Jihad: Ketika Jihad Mengglobal

 

·        Persoalan-persoalan di atas menyentuh masalah yang lebih umum, yakni mengenai doktrin jihad, yang aksi bunuh diri adalah hanya salah satu bentuknya.  Di sini kita sebenarnya juga menyaksikan terjadinya transformasi makna jihad dalam pemikiran Islam kontemporer.  Sebelumnya, jihad selalu dipahami dalam pengertian aksi yang bersifat “defensif,” dan hukumnya fardh kifayah (kewajiban kolektif).  Sekarang jihad harus bersifat ofensif dan menjadi kewajiban setiap Muslim (fardh `ayn).

 

·        Etos jihad global, sumbangan `Azzam: `Abdallah `Azzam sebagai teoretikus baru jihad.  Dalam pandangannya, jihad selalu dilakukan dalam rangka (dunia) Islam secara keseluruhan, bukan misalnya dalam rangka membela nasionalisme Palestina.  Ia menekankan bahwa jihad, dan hanya jihad, yang dapat menghidupkan kembali kesatuan Islam dalam sebuah negara universal.  Tujuannya adalah untuk menegakkan negara Islam universal.  Ia amat percaya pada kekuatan kesyahidan untuk mendorong dan menggerakkan orang – yang, menurut Cook, mungkin tidak tertandingi dalam tradisi Islam Sunni sejak era fath pada abad ketujuh dan kedelapan. (2005: 129):

  1. Menekankan kaitan antara tinta para ulama dan darah para mujahid bersenjata (2005:129);
  2. Amat eksplisit mengenai corak kesyahidan dan konsekuensi bertempur (2005:129);
  3. Jihad sebagai kewajiban tiap Muslim; bagian dari rukun Islam; menghindar dari berjihad adalah dosa (2005: 130);
  4. Ia memberi contoh personal, dan dalam Ilhaq bi al-qafilah (“Bergabunglah dengan Karavan”) menyerukan keterlibatan semua kaum Muslim

 

·        Jihad Afghanistan sebagai latihan sementara, karena mereka terbebas dari kejaran rezim oppressif di negeri-negeri Muslim sendiri.  Setelah itu, baru jihad melawan Israel.

 

·        Audiens `Azzam adalah voluntir jihad yang datang dari seluruh dunia, terlepas dari perbedaan kebangsaan, etnis dan kadangkala doktrinal di antara mereka.  Konteks Peshawar, pertamakalinya dalam sejarah Islam.  Gerges: “The major contribution of the Afghan veterans, particularly militant Islamists, was felt outside the borders of Afghanistan, in many Muslim countries and beyond.  Although never conceived or intended as a way station to global jihad, the Afghan war gave birth to a new mobilized, seasoned, and professionalized transnational force composed of Muslim fighters and freelancers who became addicted to the jihad business” (2005: 84).

 

·        Kasus paling mengena, Ayman al-Zawahiri, amir Jihad Islam (Mesir).  Dalam memoarnya ia mengakui, di negaranya sendiri, gerakannya dikecam masyarakat yang dianggapnya masih “jahiliyyah,” dan kontur Mesir yang rata mempersulit organisasinya untuk melakukan perang gerilya melawan pemerintah.  Ketika beragkat ke Afghanistan pada 1986, maksudnya pertama-tama adalah untuk menghidupkan kembali Jamaah Islamiah dan mengurusi keberengsekan pemerintahan Mesir.   Palestina juga penting. Cuma, katanya, “Jalan menuju pembebasan Palestina itu harus lewat Cairo.”  Tetapi, sebagaimana dilaporkan bekan rekannya Montasser al-Zayyat, yang belakangan terkenal sebagai pembela HAM para tahanan Islamis di Mesir, pengalaman al-Zawahiri di Afghanistan “telah sangat mempengaruhinya dan menjadikannya lebih ambisius dan self-serfing” (dikutip dalam Gerges 2005: 89).  Dalam kata-kata al-Zawahiri, medan Afghanistan adalah “inkubator”  bagi tumbuhnya bibit-bibit gerakan jihadis dan di mana bibit-bibit itu memperoleh “pengalaman praktis dalam perang, politik, dan organisasi” (dikutip Gerges 2005: 85).  Setelah itulah, pada 1990-an, ia mulai bicara mengenai globalisasi jihad, dan sampai sekarang menjadi tangan kanannya Osama bin Ladin.

 

·        Dr. Abdel Aziz bin Abdel Salam (dikenal juga dengan nama Sayyid Imam), kolega al-Zawahiri, dalam al-Umdah fi Idad al-Uddah (“Beberapa Isu dalam Persiapan Perang,” 1989): kaum Muslim yang tidak menggabungkan diri di dalam perjuangan melawan para pemimpin “kafir” adalah sama kafirnya dengan sang pemimpin dan harus diperangi.  (Gerges 2005: 97)

 

·        Globalisasi Jihad: Terbunuhnya `Azzam dan perubahan aliansi dari `Azzam-Osama ke Osama-al-Zawahiri.  Tubuhnya koalisi yang didominasi oleh Mesir-Saudi dalam kalangan jihadis internasional.

WAHABISME DI INDONESIA

Makalah pada Diskusi Wahhabisme X (2 Maret 2007)

WAHABISME DI INDONESIA

Syamsul Rizal Panggabean

 

Apakah Ada Pengaruh Wahabisme di Indonesia?

Apakah ada pengaruh Wahabiyah di Indonesia? Jika ada, siapakah kelompok atau gerakan yang mewakilinya? Bagaimana Wahabiyah masuk ke Indonesia? Ketika radikalisasi Islam dianggap menjadi ciri penanda masyarakat Islam di Indonesia – terutama setelah rubuhnya Orde Baru, apakah itu dapat dipandang sebagai pengaruh paham Wahabiyah? Apakah doktrin jihad yang digunakan kelompok teroris diambil dari doktrin jihad Wahabiyah? Apakah Salafiyah – dan bukan Wahabiyah – yang dapat disalahkan karena berada di balik radikalisasi dan militansi yang muncul dalam isu penerapan syariat Islam? Tidak ada jawaban sederhana untuk pertanyaan-pertanyaan ini sehingga uraian di bawah ini hanya bersifat tentatif.

Jihad di Nusantara Akhir Abad XVIII

Dalam sejarah pemikiran Islam di Asia Tenggara, ada seorang ulama yang hidup semasa dengan Muhammad ibn `Abd al-Wahhab, yaitu Abd al-Samad al Palimbani (wafat kira-kira 1788). Ia termasuk salah seorang yang paling dahulu – kalau bukan yang pertama – menulis uraian panjang mengenai jihad. Sebelum al-Palimbani, jihad bukan topik penting dalam karya-karya ulama di Nusantara dan Asia Tenggara pada umumnya. Baik karya Nuruddin ar-Raniri, al-Sirāt al-Mustaqīm, maupun karya Abd al-Ra’uf, Mir’at al-Tullâb, tidak mencakup bab mengenai jihad. Begitu pula, jihad sebagai doktrin ideologis dan bagian dari konstruksi musuh yang non-Muslim, termasuk penjajah dari Eropa, tidak berkembang. Penting dicatat bahwa, di dalam kitab-kitab yang muncul di Asia Tenggara sebelum paruh kedua abad XVIII, perang melawan penjajah Portugis (tahun 1511, di Malaka) dan Spanyol (tahun 1578, di Brunei) tidak disebut dan dilegitimasikan sebagai jihad atau perang sabil (Mansurnoor, 2004).

Al-Palimbani, seperti tampak dari namanya, adalah ulama kelahiran Palembang, yang tinggal di Mekkah. Ia lebih banyak menulis karya di bidang tasauf (misalnya?). Akan tetapi, kolonialisme dan perkembangan di Jazirah Arab, khususnya kemunculan dan gebrakan awal gerakan Wahabiyah, telah mendorongnya menulis mengenai masalah jihad dan menganjurkan raja-raja di Nusantara supaya berjihad melawan musuh yang berasal dari agama lain, yaitu kekuatan-kekuatan kolonial. Pada tahun 1772 al-Palimbani menulis surat kepada Raja Mataram Sultan Hamengkubuwono I dan Susuhunan Prabu Jaka, yang memuji raja-raja Mataram terdahulu yang berjihad melawan Belanda. Di kemudian hari, tulisannya menjadi rujukan penulis-penulis Aceh dan Melayu yang sedang gencar melancarkan perang melawan penjajah. Karyanya juga dirujuk dalam Hikayat Prang Sabi, syair jihad Aceh yang muncul seabad setelah al-Palimbani. (Mansurnoor, 2005; Bruinessen, 1990).

Setelah al-Palimbani, perlawanan terhadap penjajah Belanda semakin sering disebut sebagai jihad. Raja Ali Haji dari Pulau Panyengat, Riau, dalam bukunya Tuhfat al-Nafis menyebut perang melawan Belanda di Melaka pada 1784 sebagai jihad fi sabil Allah (Mansurnoor, 2005: 10). Perang Diponegoro (1825-1830), oleh pemimpinnya, Pangeran Diponegoro, juga disebut jihad. Di dalam Babad Dipanegara disebutkan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad karena Belanda adalah kafir. Ia juga mengajak supaya pengikutnya memerangi pemimpin dan penguasa Jawa yang menjadi antek Belanda, karena mereka menurutnya adalah murtad. Begitu pula, Perang Aceh yang berlangsung sejak akhir abad XIX dikategorikan sebagai jihad (Mansurnoor, 2005: 18-19).

Gerakan Padri di Sumatra Barat

Sebagian sejarawan menganggap Gerakan Padri di Sumatra Barat pada awal abad XIX sebagai gerakan Islam yang dipengaruhi paham Wahabi – baik dari sudut puritanisme maupun – dalam kadar yang lebih rendah – penggunaan kekerasan dalam dakwah. Beberapa tokoh dari Minangkabau tengah melaksanakan ibadah haji ketika kaum Wahabi menaklukkan Makkah dan Madinah pada tahun 1803-1804 – sebelum mereka terusir dari Madinah pada 1812 dan dari Mekkah pada 1813 karena dipukul pasukan Khalifah Usmaniah. Para jamaah haji dari Minangkabau ini sangat terkesan dengan ajaran tauhid dan syariat Wahabiyah dan bertekat menerapkan paham baru tersebut apabila mereka kembali ke Sumatra. Tiga di antara mereka adalah Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Bersama-sama dengan Tuanku Nan Renceh, mereka memimpin apa yang kemudian disebut Gerakan Padri. (Dobbin, 1992: 152; Azra, 1994: 191-192).

Salah seorang dari jamaah haji dari Minangkabau itu adalah Haji Miskin. Dia menentang beberapa praktik yang menurutnya tidak sesuai dengan syariat, yaitu adu ayam jago, minum tuak, dan mengisap candu – kebiasaan yang sering berujung dengan perkelahian dan bahkan pembunuhan. Tidak mudah bagi Haji Miskin untuk menghentikan kebiasaan buruk ini. Malahan, ia ditentang masyarakat dan dalam beberapa perkelahian Haji Miskin dan pengikutnya terpaksa melarikan diri.

Tokoh Padri lainnya adalah Tuanku Nan Renceh. Ia juga menentang kebiasaan adu jago yang dilakukan di gelanggang yang khusus dibangun untuk tujuan tersebut. Dengan alasan bahwa cara-cara yang lunak telah gagal menghentikan kebiasaan-kebiasaan buruk masyarakat, Tuanku Nan Renceh mengadopsi ajaran jihad – yaitu dengan memerangi dan membunuh orang-orang yang menjalankan kebiasaan buruk tersebut. Kakak perempuan ibunya termasuk yang ia bunuh karena mengunyah tembakau. Memang, selain melarang adu jago, ia juga mengharamkan penggunaan tembakau dan candu. Yang juga ia kecam adalah judi, makan sirih, dan minum minuman keras. Selain itu, ia juga meminta orang memakai pakaian berwarna putih, melarang perhiasan emas dan pakaian sutra. Perempuan diminta menutupi wajahnya dan laki-laki dilarang mencukur jenggot. Tentu saja, Tuanku Nan Renceh dibantu para petugasnya mengawasi orang supaya supaya tidak lupa menjalankan salat lima waktu.

Penggunaan jihad dan kekerasan juga ditujukan dalam memerangi desa-desa dan kelompok-kelompok tarekat yang tidak tunduk kepada paham Wahabi kelompok Padri. Tidak jarang, desa yang satu diadu dengan desa lainnya dengan memanfaatkan potensi ketidakselarasan yang melanda hubungan antardesa di Minangkabau. Pengikut Tuanku Nan-Renceh bersedia berpartisipasi dalam perkelahian dan peperangan karena, jika menang, mereka akan mendapatkan harta rampasan dan upeti yang diberikan desa yang kalah (Dobbin, 1992: 159).

Gerakan Padri tidak berhasil menguasai semua wilayah Minangkabau dalam satu atap pengaruh Wahabiyah. Campurtangan Belanda di wilayah itu, dan perang yang berlangsung berkali-kali di berbagai kota di Sumatra Barat pada dekade-dekade awal abad XIX, cukup menyulitkan gerakan Padri dalam mengembangkan pengaruhnya. Selain itu, perubahan lain juga terjadi. Pada tahun 1820-an, gelombang jamaah haji baru kembali dari Tanah Suci. Mereka naik haji ketika pengaruh Wahabi di Mekkah dan Medinah merosot setelah dikalahkan di dua kota tersebut.

Pengaruh Wahabisme di Abad XX?

Di awal abad XX, dua gerakan dan organisasi Islam yang bersemangat puritan dan dengan pengaruh Wahabisme yang bervariasi bisa disebutkan secara singkat di sini. Keduanya adalah Muhammadiyah (berdiri 1912) dan Al-Irsyad (1915). Gerakan Islam lainnya, Nahdatul Ulama (1926) juga perlu disebut karena secara negatif dipengaruhi oleh gerakan Wahabisme dan Salafiyah. Selain perkembangan Islam di Timur Tengah, beberapa faktor penting terkait dengan gerakan-gerakan ini, yaitu gerakan reformasi Islam di Indonesia, kolonialisme Belanda dan pengaruhnya di bidang pendidikan dan reformasi sosial, dan nasionalisme.

Haji Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri Muhammadiyah, berasal dari periode yang lebih belakangan dari gerakan Padri. Yang lebih penting lagi, dia menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci (yang kedua kali) pada saat yang menarik: Ketika Mekkah dan Medinah dikuasai oleh penguasa Wahabi/Saudi yang sedang membentuk negara Arab Saudi/Wahabi ketiga, dan, pada saat yang sama, ketika gerakan Salafiyah dicanangkan oleh Muhammadi Abduh dan Rasyid Ridla. Dengan Ridla, Ahmad Dahlan memiliki hubungan pribadi antara tahun 1903-1905. Karenanya, Ahmad Dahlan dapat menimba inspirasi dari dua gerakan tersebut. Akan tetapi, fanatikisme dan kekerasan yang dipertontonkan kaum Wahabiyah di jazirah Arab, begitu pula gerakan jihad melawan penjajah Belanda atau penguasa Indonesia, tidak tampak baik dalam biografi Ahmad Dahlan maupun dalam sejarah gerakan Muhammadiyah yang didirikannya (Pijper, 1984: 110-13; Noer, 1980: 108).

Syeikh Ahmad Surkati (1870-1943), pendiri organisasi pendidikan dan keagamaan Al-Irsyad, adalah seorang ulama keturunan Arab yang berasal dari Sudan dan datang ke Indonesia pada 1905. Dari negerinya ia pergi ke Mekkah dan mempelajari karya Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyah. Ia juga mempelajari karya Muhammad Abduh. Ia menentang bidah di bidang syara` dan ibadat. Ia juga mentang praktik ziarah makam dan tempat-tempat keramat, memohon perantaraan (tawassul) para Nabi dan Wali, dan syafaat (Pijper, 122-123). Praktik bidah lainnya yang ia tentang adalah tahlil dan talkin. Praktik yang terakhir ini menurutnya berasal dari Suriah (Pijper, 125).

Beberapa praktik dan keyakinan keagamaan yang ditentang kalangan reformis dan puritan di Indonesia seperti Haji Ahmad Dahlan dan Syeikh Ahmad Surkati, adalah tahlilan, selamatan, sesaji, ziarah makam wali, tawassul, dan peran mazhab-mazhab fikih. 

Nahdatul Ulama didirikan pada 1926. Kehadirannya terkait dengan dua perkembangan penting di dunia Islam, yaitu penghapusan khilafah di Turki dan tegaknya negara Wahabi-Saudi di Jazirah Arabia (Feillard, 1999: 11). Kalangan ulama ingin mempertahankan seperangkat praktik keagamaan yang selama ini dijalankan di Indonesia dan yang ditentang oleh paham Wahabi, yaitu membangun kuburan, ziarah, membaca puji-pujian seperti dalāil al-khairāt, kepercayaan kepada para wali, dan mengamalkan mazhab Syafii. Walaupun demikian, NU menolak tuduhan bidah yang dituduhkan oleh kalangan yang ingin memurnikan Islam, dan di dalam statuta NU disebutkan bahwa organisasi ini akan menyeleksi kitab mana yang ditulis oleh ulama Ahli Sunnah Wal Jamaah dan kitab yang ditulis ahli bidah (Feillard, 1999: 12-13).

Gerakan dan organisasi Islam yang muncul pada awal abad XX, baik yang puritanis maupun tradisionalis, tidak banyak menyinggung doktrin jihad. Ini selaras dengan berkurangnya perlawanan bersenjata terhadap penjajahan Belanda dan Jepang dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya. Gerakan nasionalisme dan gerakan keagamaan dalam konteks nasionalisme lebih menekankan cara-cara reformasi sosial, bukan perlawanan bersenjata. Selain itu, dalam kasus Indonesia, penjajah Belanda juga mengadakan perubahan mendasar di awal abad XX, yaitu politik etik yang menekankan reformasi sosial. Pendekatan ini menimbulkan munculnya konflik antara pendekatan kerjasama (kooperatif) dan perlawanan (non-kooperatif) di kalangan gerakan nasionalis di Indonesia sehubungan dengan penjajah Belanda dan kemudian Jepang.

Akan tetapi, radikalisasi masih dapat dilihat di daerah tertentu dan terkait dengan pertarungan politik dan elit lokal di masyarakat Muslim. Di Aceh, misalnya, ada konflik antara ulama reformis yang tergabung dalam PUSA (Persatuan ulama seluruh Aceh) yang didirikan Daud Beureueh dan ulama tradisionalis yang sebagian bergabung dalam gerakan PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) yang didirikan di Bukit Tinggi, Sumatra Barat pada 1930 dan cukup berpengaruh di Aceh. Yang penting dicatat di sini adalah bahwa dalam konteks Aceh, Salafiyah berarti tradisionalis, dan Wahabi berarti reformis dan puritan seperti PUSA dan Daud Beureueh. Saling mengkafirkan di antara kedua kubu sering terjadi.

Perkembangan lainnya yang menyangkut radikalisasi terjadi pada masa kemerdekaan dan terkait dengan perlawanan terhadap kecenderungan sentralisasi pemerintah pusat. Salah satunya yang terpenting adalah Gerakan Darul Islam pimpinan Kartosuwirjo di Jawa Barat, yang memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada Agustus 1949. Konstitusi NII menyatakan bahwa negara menjamin berlakunya syariat Islam dalam masyarakat Islam serta menjamin kebebasan beribadah bagi pemeluk agama-agama lain. Sehubungan dengan jihad, Kartosuwiryo membedakan jihad al-akbar dari jihad al-asghar, yang pertama adalah usaha-usaha mengembangkan diri, dan yang kedua berarti memanggul senjata melawan musuh. Sebelum Perang Dunia I, ia menekankan jihad al-akbar dan setelah ia melancarkan perlawanan terhadap pemerintah pusat, ia menekankan jihad al-asghar.

Gerakan Darul Islam, yang sempat menyebar ke Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Aceh, padam pada tahun 1960-an (tahun 1962 di Jawa Barat dan Aceh; tahun 1963 di Kalimantan Selatan; tahun 1965 di Sulawesi; di Jawa Tengah tahun 1955). Kartosuwirjo sendiri ditembak pada 1962. Akan tetapi, di masa yang belakangan, beberapa gerakan yang mengusung isu penerapan syariat, seperti N11 KW 9 di Cianjur, Komando Jihad, dan KPSI (Komite Penegakan Syariat Islam) di Sulawesi Selatan secara eksplisit atau implisit mengaitkan pergerakannya dengan Darul Islam.

Sejumlah organisasi kecil Islam berskala nasional, yang tidak berafiliasi dengan partai politik Islam maupun organisasi besar Islam, tetapi menuntut pemberlakuan syariat Islam dan sangat signifikan dalam pergerakannya yang akan dikaji di sini. Organisasi-organisasi ini menuntut penerapan syariat Islam pada basis yang sama dengan partai-partai politik Islam, yakni amandemen pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang mencantumkan kembali tujuh patah kata dalam rumusan Piagam Jakarta, yakni “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Forum Komunikasi Ahlu Sunnah Wal-Jama’ah (FKAWJ) dengan Laskar Jihadnya, Front Pembela Islam (FPI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), merupakan sebagian dari gerakan radikal nasional yang berjuang untuk tuntutan tersebut.

FKAWJ dan Laskar Jihad

FKAWJ dibentuk di Solo pada 14 Februari 1998, beberapa bulan menjelang lengsernya rejim  Suharto,[1] dan dipimpin oleh Jafar Umar Thalib. Karakter utama forum ini adalah salafisme,[2] yang menganjurkan pembacaan literal terhadap al-Quran dan hadits, serta menolak seluruh penafsiran independen maupun praktek-praktek tradisional.[3] FKAWJ memiliki sejumlah cabang di berbagai daerah Indonesia, dan kebanyakan anggotanya adalah mahasiswa, lulusan perguruan tinggi dan yang putus kuliah, terutama yang menggeluti bidang eksakta. Menurut Thalib, anggota dengan latar belakang semacam itu menghargai “presisi” hukum Islam.[4]

FKAWJ memiliki sayap paramiliter bernama Laskar Jihad yang juga dipimpin oleh Thalib sendiri. Popularitas Laskar jihad melebihi FKAWJ lantaran mendapat publikasi yang luas dari media massa. Ada sejumlah alasan mengapa laskar ini memperoleh perhatian khusus media dan masyarakat. Pertama, ia menggunakan teknologi komunikasi yang terjangkau secara luas di Indonesia – mulai dari mesin faks hingga internet. Kedua, ia memanfaat teknologi baru itu dengan mengkombinasikannya dengan media konvensional untuk menanggulangi kerugian-kerugian yang dihadapinya sehubungan dengan kelompok-kelompok Muslim lainnya yang lebih besar dan moderat. Terakhir, fenomena Laskar Jihad menarik karena mengilustrasikan bahwa keragaman yang tengah tumbuh dalam masyarakat Muslim tidak mesti menjamin eksistensi pluralisme atau demokrasi.[5]

Berdampingan dengan pengiriman pejuangnya ke Maluku, Laskar Jihad membuat suatu web-site (http://www.laskarjihad.org) yang menampilkan galeri foto kekejian Kristen di Maluku, laporan harian tentang kerusuhan Maluku, dan tafsiran bilingual (Indonesia-Inggris) tentang makna jihad.[6] Laporan harian tentang kerusuhan Maluku kemudian dicetak dalam bentuk buletin, Maluku Hari Ini, dan disebarkan di jalan-jalan di berbagai kota yang memiliki jaringan Laskar Jihad.

Laskar Jihad, yang dibentuk pada Februari 2000, memang muncul dilatarbelakangi oleh pecahnya perang saudara antara kaum Muslimin dan Kristen di Maluku pada awal 1999. Tujuan pembentukannya adalah untuk melindungi kaum Muslimin dari kelompok paramiliter Kristen yang tidak mampu dilakukan pemerintah, dan menggulingkan Presiden Abdurrahman Wahid dari kekuasaannya. FKAWJ dan Laskar Jihad menentang Wahid karena dianggap menolak menerapkan syariat, mengusulkan  pencabutan larangan Partai Komunis, serta mewacanakan pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel.[7]

Setelah pembentukannya, pejuang Laskar Jihad di kirim ke Ambon, Poso dan daerah lainnya.[8] Presiden Wahid berupaya mencegah masuknya Laskar Jihad ke Ambon, tetapi tidak berhasil. Selama tahun 2000 dan 2001, Laskar Jihad menempatkan sekitar 2000 pejuangnya di Maluku secara bergiliran. Mereka tinggal di rumah penduduk Muslim setempat, yang barangkali dimaksudkan memfasilitasi penyebaran ajaran-ajaran Salafi. Pada awalnya, kaum Muslimin lokal menyambut baik para pejuang Laskar Jihad. Mereka mengakui bahwa para pendatang tersebut telah mengubah perimbangan perang yang menguntungkan masyarakat Muslim. Namun, lantaran oposisi yang ditunjukkan anggota Laskar Jihad terhadap tradisi mereka mengenai shalat, puasa, dan lainnya, sikap orang-orang Maluku ini pun mulai berubah.

Akhirnya, operasi militer Laskar Jihad di Maluku mulai memperlihatkan titik balik dan ekses-eksesnya. Pada Maret 2001, seorang anggota Laskar Jihad dipersalahkan telah melakukan zina dan dihukum oleh Thalib dengan rajam. Beberapa minggu kemudian, Panglima Laskar Jihad itu ditangkap polisi atas tuduhan memprovokasi kerusuhan dan membunuh. Setelah protes keras dari sejumlah politisi Muslim atas penahanan tersebut, Thalib dilepaskan dari penjara, tetapi tuntutan terhadapnya tidak dicabut.

Pada awal 2002, momentum perdamaian Kristen-Muslim di Maluku mulai tampak, dan terwujud dalam Deklarasi Malino yang ditandatangani para pemimpin kedua komunitas itu pada 12 Februari 2002. Lantaran memprovokasi kaum Muslimin untuk menentang Deklarasi Malino dalam suatu pidato radionya di Maluku, polisi kembali menangkap Thalib pada pertengahan Mei 2002. Tetapi, kasus Panglima Laskar Jihad ini lambat diselesaikan oleh pengadilan.

Tiga hari setelah peristiwa bom Bali, 12 Oktober 2002, Thalib membubarkan Laskar Jihad dan menyerukan anggotanya kembali ke rumahnya masing-masing. Pembubaran ini, menurut penjelasan pimpinan Laskar Jihad, telah direncanakan sejak September 2002, dan tidak terkait peristiwa pemboman tersebut. Sementara organisasi induk Laskar Jihad, FKAWJ, tetap dipertahankan eksistensinya, tetapi dengan masa depan yang tidak menentu.

FPI

FPI muncul sebagai sebuah organisasi pada 17 Agustus 1998, dengan ketua umum Habib Muhammad Rizieq Syihab, dan berkembang subur pada masa pemerintahan Presiden Habibie. FPI dinilai dekat dengan orang-orang di sekeliling Soeharto. Di masa Prabowo Subianto aktif di TNI, FPI diduga sebagai salah satu binaan menantu Soeharto itu. Namun, setelah Prabowo jatuh, FPI kemudian cenderung mendekati kelompok Jendral Wiranto yang tengah bermusuhan dengan kelompok Prabowo.[9] Keterkaitan FPI dengan Wiranto barangkali dapat dideduksi dari aksi ratusan milisi FPI — yang selalu berpakaian putih-putih — ketika menyatroni kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), memprotes pemeriksaan Jendral Wiranto dan kawan-kawan oleh KPP HAM. Milisi FPI yang datang ke kantor Komnas HAM dengan membawa pedang dan golok bahkan menuntut lembaga hak asasi manusia ini dibubarkan karena dianggap lancang memeriksa para jendral.[10] Sementara kedekatannya dengan ABRI terlihat dalam aksi demonstrasi tandingan yang dilakukannya melawan aksi mahasiswa yang menentang RUU Keadaan Darurat yang diajukan Mabes TNI kepada DPR pada 24 Oktober 1999. Setelah kejatuhan Wiranto, kelompok ini kehilangan induknya dan mulai mengalihkan perhatiannya kepada upaya penegakan syariat Islam di Indonesia.

FPI adalah organisasi tertutup dan telah menebarkan sejumlah jaringannya di berbagai wilayah Indonesia. Sebagaimana organisasi penegak syariat Islam lainnya, FPI memiliki sayap milisi yang dikenal sebagai Laskar Pembela Syariat Islam (LPI), suatu satgas yang digembleng dengan pendidikan semi militer dan militan. Anggota LPI ini rela meregang nyawa demi cita-cita FPI. Penjenjangan dalam satgas ini diatur mirip dengan penjenjangan dalam militer: Mulai  dari Imam Besar dan Wakil (pemimpin laskar tertinggi), penjenjangannya kemudian menurun kepada Imam (panglima beberapa provinsi), Wali (panglima provinsi), Qoid (komandan laskar kabupaten), Amir (komandan laskar kecamatan), Rois (komandan regu), dan Jundi (anggota regu).

Belakangan, FPI makin dikenal luas karena aktivitasnya yang menonjol dalam kancah politik Indonesia. Kelompok ini pertama kali dikenal karena keterlibatannya sebagai “PAM swakarsa” yang — dengan bersenjatakan golok dan pedang — menyerang para mahasiswa yang menentang pencalonan kembali Habibie sebagai Presiden RI dalam sidang istimewa MPR pada Nopember 1998. Pada bulan yang sama, FPI terlibat dalam aksi penyerangan satpam-satpam Kristen asal Ambon di sebuah kompleks perjuadian di Ketapang, Jakarta. Pada Desember 1999, ribuan anggota FPI menduduki Balai Kota Jakarta selama sepuluh jam dan menuntut penutupan seluruh bar, diskotik, sauna dan night club selama bulan Ramadan.[11] Kelompok militan ini, selama tahun 2000, secara reguler menyerang bar, kafe, diskotik, sauna, rumah bilyard, tempat-tempat maksiat, dan tempat-tempat hiburan lainnya di Jakarta, Jawa Barat, dan bahkan di Lampung.[12]

Dalam serentetan kejadian di atas, polisi terlihat hanya datang menyaksikan aksi-aksi perusakan. Sekalipun polisi kemudian mengeritik aksi-aksi itu, tetapi tak satu pun anggota FPI yang ditangkap. Sejumlah pengamat mengungkapkan — yang juga diyakini kebenarannya oleh sebagian masyarakat — bahwa polisi telah memanfaatkan FPI dan milisinya LPI untuk memaksakan protection rackets-nya. Sebagai akibatnya, polisi memaafkan aksi tersebut atau bahkan mengarahkan serangan itu ke sasarannya.

Untuk memperjuangkan penegakan syariat Islam, FPI, misalnya, mengeluarkan pernyataan kebulatan tekad menjelang ST MPR 2001 yang meminta MPR mengamandemen konstitusi dan memberlakukan syariat Islam. FPI menuntut MPR/DPR mengembalikan tujuh kata Piagam Jakarta, yaitu “dengan kewajiban melaksanakan Syariat Islam bagi pemeluknya,” ke dalam UUD 1945, baik pada batang tubuh maupun pembukaannya. Kelompok ini yakin bahwa krisis multidimensional yang tengah melanda Indonesia akan segera berakhir dengan diberlakukannya syariat Islam.[13] Pada 1 Nopember 2001, FPI kembali melakukan aksi pada pembukaan sidang tahunan DPR/MPR, dan menyampaikan lima tuntutan. Tiga di antaranya yang relevan dengan isu penegakan syariat adalah: (1). Kembalikan 7 kata Piagam Jakarta; (2) masukan syariat Islam ke dalam UUD 1945; dan (3) buat undang-undang anti maksiat.[14] Pada Agustus 2002, bersama 14 organisasi kemasyarakatan Islam lain — di antaranya adalah Front Hizbullah, Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) — yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI), FPI menyampaikan “Petisi Umat Islam” tentang pencantuman syariat Islam dalam UUD 1945.[15]

Ketika tekanan internasional semakin kuat terhadap pemerintah Indonesia dalam kaitannya dengan aksi-aksi terorisme, polisi menangkap pemimpin FPI, Habib Muhammad Rizieq Syihab, dan menjeratnya dengan dakwaan provokator sejumlah aksi kekerasan dan perusakan. Sehari setelah pengubahan status Habib Rizieq dari tahanan polisi menjadi tahanan rumah, pada 6 Nopember 2002 pimpinan FPI membekukan kegiatan FPI di seluruh Indonesia untuk waktu yang tidak ditentukan.[16] Tetapi, menjelang invasi Amerika Serikat dan sekutunya ke Irak pada Maret 2003, FPI kembali muncul dan melakukan pendaftaran mujahidin untuk membantu Irak melawan para agresornya.

 

MMI

MMI adalah organisasi kemasyarakatan Islam yang terbentuk berdasarkan hasil Kongres Mujahidin I Indonesia untuk Penegakan Syariat Islam di Yogyakarta, pada awal Agustus 2000. Kongres ini menghasilkan Piagam Yogyakarta. Isi Piagam Yogyakarta antara lain menegaskan bahwa ummat Islam, sebagai penduduk mayoritas di Indonesia, mempunyai hak dan kewajiban mengamalkan dan menegakkan syariat Islam, yang dipandang sebagai satu-satunya solusi terhadap semua krisis sosial politik dan kemanusiaan yang menimpa ummat manusia. Karena itu, para mujahidin dalam kongres tersebut sepakat menyatakan:

1.        Wajib hukumnya melaksanakan syariat Islam bagi ummat Islam di Indonesia dan dunia pada umumnya.

2.        Menolak segala ideologi yang bertentangan dengan Islam yang berakibat syirik dan nifaq serta melanggar hak-hak asasi manusia.

3.        Membangun satu kesatuan shof mujahidin yang kokoh kuat, baik di dalam negeri, regional maupun internasional (antar bangsa).

4.        Membentuk Majelis Mujahidin menuju terwujudnya Imamah (Khilafah)/ Kepemimpinan ummat, baik di dalam negeri maupun dalam kesatuan ummat Islam sedunia.

5.        Menyeru kaum Muslimin untuk menggerakkan dakwah dan jihad di seluruh penjuru dunia demi tegaknya Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Disamping butir-butir Piagam Yogyakarta di atas, Kongres Mujahidin I juga menghasilkan Pokok-pokok Rekomendasi Kongres Mujahidin I untuk Penegakan syariat Islam di Indonesia. Rekomendasi ini berisi 31 butir seruan, yang antara lain mengajak setiap Muslim untuk melaksanakan dan memperjuangkan terlaksananya syariat Islam, mempererat ukhuwah islamiyah, serta mengembangkan sikap tasamuh (toleransi) dan menolak konsep negara sekuler.[17] Baik Piagam Yogyakarta maupun Rekomendasi Kongres itu kemudian diserahkan kepada Fraksi Persatuan Pembangunan menjelang sidang tahunan MPR 2000. Hasil penting lainnya yang dicapai kongres tersebut adalah pembentukan Ahlul-Halli wal-Aqdi (AHWA) — semacam majelis syura atau dewan kepemimpinan umat, menyerupai institusi khilafah — yang beranggota 36 orang. Terpilih sebagai ketuanya Abubakar Baasyir dari Pesantren Al-Mukmin Ngruki Solo, Jateng, yang kemudian merangkap sebagai Pimpinan Mujahidin (sementara) alias Amirul Mujahidin.[18]

Pengikraran Pembentukan MMI kemudian dilakukan di Istora Senayan, Jakarta, pada 26 Maret 2001, yang dihadiri berbagai pimpinan kelompok Islam militan dan radikal di Indonesia. Isu yang dilontarkan pada acara pengikraran MMI sejalan dengan Piagam Yogyakarta dan Pokok-pokok Rekomendasi Kongres Mujahidin di Yogyakarta: MMI bertekad mensosialisasikan dan menjadikan syariat Islam sebagai bagian dari konstitusi negara. MMI yakin bahwa hanya dengan penerapan syariat Islamlah krisis multi dimensional yang sedang dialami Indonesia saat ini dapat diselesaikan.[19]

Selain turut serta dalam berbagai gerakan penuntutan pemberlakuan syariat Islam dalam amandemen UUD 1945, MMI juga mengajukan rancangan syariat Islam yang konkret. Kelompok ini, misalnya, telah menerbitkan Usulan Undang-undang Hukum Pidana Republik Indonesia Disesuaikan dengan Syari’ah Islam.[20] Usulan hukum pidana Islam yang diajukan MMI merupakan replika fikih-fikih klasik, yang pada umumnya diadopsi di sebagian negeri Muslim modern, dan sistematikanya dibuat menyerupai kodeks-kodeks hukum pidana.

Usulan hukum pidana MMI terdiri dari lima bab. Bab I berisi batasan pengertian dan berlakunya ketentuan pidana dalam perundang-undangan. Bab II tentang tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana — tindak pidana, penyertaan, percobaan, jenis kejahatan hudud dan pidana qishash. Bab III tentang pidana dan pemidanaan — pelaksanaan hukuman, penangguhan hukuman rajam bagi wanita hamil dan menyusui, tata cara menghukum cambuk, ketentuan irsy. Bab IV tentang peradilan — pembuktian, pengakuan, lembaga pengadilan, keanggotaan hakim, dan kebebasan hakim. Sementara ketentuan penutup dalam bab V berkaitan dengan pemberlakuan undang-undang hukum pidana.

Substansi hukum pidana yang diusulkan MMI terdapat dalam bab II, yang mengemukakan ketentuan-ketentuan tentang hudud, qishash dan ta‘zir. Hudud didefinisikan sebagai kejahatan yang hukumannya ditetapkan oleh al-Quran dan Sunnah (pasal 4 ayat 1), yang meliputi sariqah,[21] hirabah,[22] zina,[23] qazaf,[24] syurb,[25] dan riddah[26] (pasal 9). Qishash (dan diyat) didefinisikan sebagai kejahatan yang dikenakan kepada pelaku kejahatan yang menyebabkan kematian manusia atau menyebabkan kecederaan badan (pasal 29). Kejahatan yang menyebabkan kematian dikategorikan ke dalam tiga jenis: qatlu al-‘amd (menyebabkan kematian karena sengaja), qatlu syibhi al-‘amd (menyebabkan kematian karena salah sasaran); dan qatlu al-khata’ (menyebabkan kematian karena tidak sengaja (pasal 30). Sementara ta‘zir adalah kejahatan di luar hudud dan qishash (pasal 4 ayat 3), yang — dalam usulan MMI — tidak dirumuskan jenis kejahatan dan hukuman untuknya.

Untuk berbagai kejahatan yang dicakup dalam hudud dan qishash juga ditetapkan hukuman yang spesifik. Untuk sariqah hukumannya  adalah potong tangan kanan untuk kejahatan pertama, potong kaki kiri untuk kejahatan kedua, atau dera dan penjara untuk kejahatan ketiga dan berikutnya (pasal 10 ayat 2). Untuk hirabah hukumannya bunuh terus disalib jika korban mati dan diambil hartanya, bunuh jika korban dibunuh tanpa mengambil hartanya, potong tangan kanan dan kaki kiri jika harta korban diambil tanpa membunuh atau menciderainya serta ditambah diyat jika korban diciderai dan diambil hartanya, atau diasingkan (pasal 14). Untuk Zina hukumannya adalah rajam sampai mati jika pelakunya telah menikah, atau dicambuk 100 kali ditambah pengasingan jika pelakunya belum menikah (pasal 16). Untuk qazaf hukumannya adalah 80 kali cambuk (pasal 18). Untuk syurb hukumannya maksimal 80 kali cambuk atau minimal empat puluh kali cambuk (pasal 27). Bagi pelaku riddah yang tidak mau bertobat setelah diberi waktu 3 hari dihukum bunuh dan hartanya diambil untuk baitul mal, jika bertobat hukumannya adalah ta‘zir (pasal 28).

Sementara ketentuan mengenai kejahatan qishash adalah: untuk qatlu al-‘amd hukumannya adalah bunuh, atau diyat jika dimaafkan wali korban (pasal 32-33). Untuk qatlu syibhi al-‘amd hukumannya adalah diyat dan bisa ditambah dengan hukuman ta‘zir (pasal 35). Untuk qatlu al-khata’ hukumannya adalah diyat dan bisa ditambah dengan hukuman ta‘zir (pasal 37). Untuk kejahatan yang mengakibatkan cedera dihukum dengan pencederaan yang sama seperti yang dialami korban. Tetapi, jika persyaratan syariat tidak terpenuhi, pelaku kejahatan membayar ‘irsy (tebusan) dan bisa dikenakan hukuman ta‘zir.

Hukum pidana usulan MMI, seperti disebutkan di atas, merupakan replika dan adopsi kitab-kitab fikih klasik. Jadi, dalam batasan pengertian pada pasal 1, misalnya, diyat[27] ditentukan untuk “satu orang Islam laki-laki adalah 100 ekor onta atau 1000 Dinar atau 12000 Dirham” (ayat 3). Bagi “satu orang perempuan adalah 500 Dinar atau 6000 Dirham” (ayat 4). Sementara untuk “satu orang kafir (non-Muslim? — pen) adalah setengah dari diyat orang Islam” (ayat 5).

Ilustrasi lainnya tentang pengadopsian fikih klasik terlihat dalam jenis-jenis perbuatan sariqah yang tidak dikenakan hukuman, yang antara lain dijabarkan dalam pasal 11 sebagai berikut:

·         apabila harta yang dicuri itu kurang dari nishab, yaitu ¼ Dinar Emas atau 3 Dirham Perak atau 4,450 gram emas (pasal 11 a);

·         apabila pemilik harta yang dicuri itu tidak mengambil langkah yang cukup untuk menjaga harta itu dari kemungkinan pencurian, tidak menyimpan harta itu di tempat yang aman, atau harta itu sengaja ditinggalkannya (pasal 11 d);

·         apabila tertuduh belum menguasai barang curian sepenuhnya, walaupun harta itu sudah lepas dari kekuasaan pemiliknya (pasal 11 e);

·         apabila barang yang dicuri adalah jenis harta yang tidak bernilai dan bisa diperoleh di mana-mana atau dari jenis barang yang mudah musnah seperti buah-buahan atau makanan (pasal 11 f);

·         apabila barang yang dicuri tidak mempunyai nilai menurut hukum syariat, seperti minuman yang memabukkan atau alat-alat hiburan (pasal 11 g);

·         apabila kejahatan itu dilakukan oleh sekumpulan orang yang kalau bagian yang diperoleh oleh tiap-tiap pelaku kejahatan setelah harta curian itu dibagikan hasilnya, nilainya kurang dari nishab (pasal 11 k, tentang nishab, lihat pasal 11 a di atas);

·         apabila tertuduh mengembalikan harta yang dicuri itu sebelum hukuman hudud dilaksanakan (pasal 11 L);

·         apabila pemilik harta yang dicuri itu tidak mengaku bahwa hartanya telah dicuri, walaupun pencuri mengaku telah mencurinya (pasal 11 m).

Ketika sidang tahunan MPR tahun 2002 tidak berhasil menggolkan pencantuman tujuh kata Piagam Jakarta dalam amandemen UUD 1945, pimpinan MMI, Ba’asyir, meminta kaum Muslimin mendesak MUI agar secepatnya mengeluarkan fatwa tentang partai politik apa saja yang layak didukung umat Islam dalam pemilihan umum 2004. Menurutnya, lewat forum sidang tahunan MPR RI itu bisa diperhatikan partai politik mana yang mendukung syariat Islam dan mana yang menolak. Begitu pula, bisa dicatat siapa saja wakil rakyat yang mendukung syariat Islam, sehingga kelak pada pemilihan umum mendatang bisa dicalonkan lagi.


[1] Robert W. Hefner, “Civic Pluralism Denied? The New Media and Jihadi Violence in Indonesia,” New Media in the Muslim World: The Emerging Public Sphere, ed. Dale F. Eickelman, (Indiana Univ. Press, 2003), pp. 158 ff.

[2] Salafi merupakan perujukan kepada pergerakan yang telah lama mapan dalam Islam yang bertujuan menempa keyakinan keagamaan berpijak pada teladan generasi pertama pengikut Nabi Muhammad.

[3] Martin van Bruinessen, “The Violent Fringe of Indonesia’s Radical Islam,” ISIM Newsletter, vol. 11 (December 2002), hal. 7.

[4] Hefner, “Globalization,” hal. 18.

[5] Hefner, “Civic Pluralism,” hal. 159.

[6] Situs web ini menghilang dengan dibubarkannya Laskar Jihad.

[7] Hefner, “Civic Pluralism,” hal. 159.

[8] Uraian mengenai sepak terjang laskar jihad dalam paragaf-paragraf berikut sebagiannya bersumber dari Hefner, ibid. hal. 159 ff.

[9] Cf. Hefner, “Globalization,” hal. 14, 15.

[10] Lihat Gatra, 1 Januari, 2000, hal. 74.

[11] Togi Simanjuntak, Premanisme Politik, (Jakarta: ISAI, 2000), hal. 54 ff, 113 ff.; Tempo, 23 Januari 2000, hal. 39-46.

[12] Jakarta Post, June 15, June 23, November 1, November 27, & December 16, 2000.

[13] Kompas, 6 Agustus, 27 Agustus 2001; Suara Merdeka, 2 Nopember, 2001.

[14] Suara Merdeka, 2 Nopember, 2001.

[15] Pikiran Rakyat, 6 Agustus 2002.

[16] Kompas, 7 November 2002.

[17] Tentang piagam ini selengkapnya lihat Irfan Suryahardi Awwas (ed.), Risalah Kongres Mujahidin I dan Penegakan Syari’ah Islam, (Yogyakarta: Wihdah Press, 2001).

[18] Lihat “Khilafah Made in Yogya,” Suara Hidayatullah, September, 2000.

[19] Republika, 27 Maret, 2001.

[20] Lihat Majelis Mujahidin Indonesia, Usulan Undang-undang Hukum Pidana Republik Indonesia Disesuaikan dengan Syari’ah Islam, (Yogyakarta: Markaz Pusat Majelis Mujahidin, tt. [2002?]).

[21] “perbuatan memindahkan harta milik orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi dari pemeliharaan pemiliknya tanpa persetujuan pemiliknya, yang mana perbuatan itu dilakukan dengan niat hendak menghilangkan harta itu dari pemiliknya.” (pasal 10 ayat 1).

[22] “Perbuatan yang menimbulkan kekacauan di masyarakat sehingga mengganggu keamanan umum, termasuk pengertian di dalamnya adalah merampas harta orang lain dengan kekerasan atau dengan ancaman hendak menggunakan kekerasan, merencanakan dan membuat kerusuhan, menghasut orang lain agar melakukan tindakan kekerasan, perampokan disertai pemerkosaan, dan korupsi yang dilakukan oleh seseorang atau sekumpulan orang baik bersenjata maupun tidak.” (pasal 13).

[23] “kejahatan berupa persetubuhan di antara seorang lelaki dengan seorang perempuan yang bukan pasangan suami isteri dan persetubuhan itu tidak termasuk dalam pengertian ‘wati syubhah’ sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat (3)” (pasal 15).

[24] “kejahatan membuat tuduhan zina yang tidak dibuktikan oleh empat orang saksi, terhadap seorang Islam yang mukallaf dan dikenal sebagai orang yang bersih dari perbuatan zina” (pasal 17).

[25] “kejahatan meminum minuman yang memabukkan (miras)…” (pasal 27). Kejahatan syurb dalam rumusan pasal ini tidak memasukkan kejahatan penggunaan narkoba (pen.).

[26] “perbuatan yang dilakukan atau perkataan yang disebut oleh seorang Muslim yang mukallaf yang mana perbuatan atau perkataan itu menurut hukum syari’ah adalah menghina atau bertentangan dengan aqidah agama Islam: Dengan syarat perbuatan itu dilakukan atau perkataan itu disebutkan dengan niat, dengan sukarela dan dengan pengetahuan, dan tanpa paksaan oleh siapapun dan oleh keadaan apapun.” (pasal 28).

[27] “suatu jumlah uang atau harta yang harus dibayarkan sebagai denda karena kematian atau kehilangan akal atau kecederaan anggota badan atau kehilangan fungsi anggota-anggota badan tersebut yang telah dilakukan terhadap seorang korban” (pasal 1 ayat 2).

ZAKAT DAN WAKAF UNTUK JIHAD ?

Pointers Diskusi Wahhabisme XI (9/10 Maret 2007) — DRAFT

ZAKAT DAN WAKAF UNTUK JIHAD?:

KONTEKS GLOBAL DARI SALAFISME-JIHADISME LOKAL

Ihsan Ali-Fauzi

Pendahuluan

Kita hendak melihat atau menaksir sejauh mana naiknya salafis-jihadis (lihat di bawah) di Indonesia terkait dengan fenomena serupa di tingkat global, khususnya di Timur Tengah. Faktor-faktor global apa saja (baik dalam bentuk perangkat lunak seperti ideologi maupun perangkat keras seperti organisasi dan pendanaan) yang turut menopang menggejalanya aksi-aksi kekerasan oleh kaum Muslim di tanahair?

Food for thought: Dua hari lalu koran-koran memberitakan pertemuan Dubes Arab Saudi dan Presiden SBY. Dilaporkan, Arab Saudi dan Indonesia akan bekerjasama dalam “pengembangan dan penyebaran pendidikan serta pemikiran Islam yang moderat.” Demikian, karena “pengembangan pemikiran Islam radikal dinilai justru dapat merusak dakwah dan pemikiran Islam itu sendiri” (Kompas, 6 Maret 2007). Bagaimana kita menanggapi berita ini? Jika kita diundang SBY menasihatinya, apa saran yang harus kita sampaikan? Apakah penyebaran dan pengembangan pemikiran Islam moderat bisa berjalan beriringan dengan penyebaran Wahhabisme, doktrin resmi Kerajaan Arab Saudi? Nah!

Klarifikasi I: Islamis, Salafis, Salafis-Jihadis

· Tidak boleh pukul rata. Kadang-kadang distingsinya sulit dibuat dengan definitif.

· Kecuali mereka yang mengaku “Muslim sekular” (yang mungkin bisa kita sebut “Islam KTP”) semua orang Islam yang serius dengan keberislaman mereka adalah Islamis, dalam pengertian bahwa semua mereka memandang Islam sebagai sekaligus din, dunya, dan dawlah (3D, agama, dunia, negara), mencakup segala aspek kehidupan, sebuah sistem yang total (al-nizham al-islami). Penting dicatat: mereka terpecah ke dalam bagaimana kelengkapan Islam ini diterjemahkan ke dalam realitas konkret. Yang paling tegas, mereka dipisahkan ke dalam kaum Muslim substansialis” dan “literalis.” Biasanya, yang literalis merasa bahwa Islam harus diejawantahkan lewat penguasaan umat Islam atas posisi-posisi kekuasaan. Lalu, yang terakhir ini lebih jauh dibagi ke dalam dua kelompok, menurut pandangan mereka tentang bagaimana kekuasaan itu diraih: (1) dari bawah dan (2) dari atas.

· Salafis: Muslim yang berpandangan bahwa penguatan kembali Islam dewasa ini harus dilakukan dengan mencontoh generasi awal Muslim (ahl al-salaf). Namun belakangan, istilah ini “didominasi” pemaknaannya oleh kaum Wahhabi, yang mendaku sebagai pewaris tunggal ahl al-salaf. Maka kita sering mendengar bagaimana kata ini digunakan untuk merujuk kepada kaum Muslim yang bersikap puritan dan eksklusif, fitur menonjol Wahhabisme. Mereka hendak melakukan de-link dengan kebudayaan lokal, dalam rangka purifikasi.

· Salafis-Jihadis: kaum Muslim dalam kelompok kedua di atas, plus kesediaan untuk melakukan jihad dalam mencapai tujuannya. Olivier Roy menyebut mereka sebagai kelompok “Neo-fundamentalis.” Mereka pun terbagi ke dalam beberapa golongan, seperti sudah saya kemukakan dalam diskusi pekan lalu. Oleh kalangan Islamis yang menolak doktrin jihad versi mereka, kelompok ini dilecehkan sebagai “mereka yang suka perang” (al-muharribun). Bubalo dan Fealy: While the line between sectarian violence and terrorism is by no means clear cut, it is a distinction that salafist themselves make; that is, some salafists see their participation in sectarian violence as legitimate but would draw the line at what they consider an act of terrorism. Indeed, despite the fact that some Indonesian terrorist groups – such as JI [Jamaah Islamiyah] – call themselves salafists, there are sharp differences between them and mainstream salafists” (2005: 78).

· Concern kita terutama pada yang terakhir, yang jelas-jelas merusak baik Islam maupun Indonesia.

Klarifikasi II: Zakat dan Wakaf untuk Jihad?

· Kita juga harus ekstra hati-hati di dalam mengatributkan zakat atau wakaf, atau apa pun namanya, yang diberikan oleh seorang Muslim di mana saja kepada aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh seorang Muslim lain yang menjadi penerima pemberian di atas. Ada dua masalah kompleks di sini: (1) menyangkut intended dan unintended consequences dari sebuah tindakan; dan (2) menyangkut kesengajaan satu atau kedua belah pihak di dalam menyalahgunakan dana bantuan yang secara terbuka dimaksudkan untuk mencapai satu tujuan.

· Pada 8 November 2002, Pangeran Salman bin Abd al-Aziz, Gubernur Riyadh, menyatakan: “Ketika seseorang memberi zakat kepada seorang miskin, ia tidak dapat mengajukan syarat-syarat tentang bagaimana si miskin itu akan memanfaatkan uang yang diberikan kepadanya. Jika uang itu digunakan untuk melakukan aksi-aksi kejahatan tertentu, maka hal itu bukanlah tanggung jawab si pemberi dana” (dikutip dalam Burr and Collins, 2006: 26). Pernyataan ini disampaikan sebagai reaksi atas tuduhan, yang deras mengalir pasca-September 11, bahwa pemerintah Arab Saudi memberi dana kepada para teroris Islam.

· Kita juga harus ekstra hati-hati dalam memberi penilaian, karena kita sedang bekerja dalam wilayah yang sangat “abu-abu” menyangkut hubungan antara isi pikiran dan tindakan. Dari Wahhabisme dan Ikhwanul Muslimin ke tindakan kekerasan atas nama Islam: jahiliyah, takfir, jihad.

· Kita juga harus mempertimbangkan sebab-sebab non-ideologis dari kekerasan Salafis-Jihadis di Indonesia. Pertanyaannya: kalau paham keislaman yang puritan, totalitarian, dan pro-kekerasan itu begitu dominan di kalangan kaum Muslim di Indonesia, mengapa mainstream umat Islam di Indonesia masih percaya pada dakwah (non-kekerasan) sebagai cara berislam, padahal buku-buku salafis-jihadis dibaca luas?

Konteks Global dan Lokal

· Kita juga harus menghindar dari pandangan bahwa semuanya ini terjadi karena faktor eksternal atau, sebaliknya, faktor internal saja. Penting untuk mempertimbangkan interaksi antara kedua faktor: global dan lokal (nasional).

· Hefner tentang dinamika “lokal”: Dalam “Muslim Democrats and Islamist Violence in Post-Soeharto Indonesia” (2005), Robert W. Hefner mencoba menunjukkan bahwa naiknya jihadis pro-kekerasan di kalangan kaum Muslim Indonesia terkait dengan dua hal pokok: (1) kualitas perpolitikan kaum Muslim dan (2) warisan otoritarianisme rezim Orde Baru. Bukti-bukti yang dikedepankannya menunjukkan bahwa “the most critical obstacle to democratic transition has had as much to do with the legacies of Indonesian state and society as it has any specific quality of Muslim politics. Certainly, some features of contemporary Indonesian politics, such as the ideals of the jihadi movement, can only be fully explained with reference to the pluralism and contests of Muslim politics. But the specific affect of these variables was determined by two more general features of state-society relations: the relative weakness and segmentary divisions of civil society, and the habit of some in the political elite (both at the national and provincial level) of neutralizing their opposition by inflaming sectarian passions and mobilizing supporters along ethnoreligious lines” (2005: 275). Hefner menyebut kecenderungan terakhir itu sebagai “sectarian trawling across the state-society divide” (2005: 275). Bagi Hefner, inilah sebab mengapa sekelompok kecil militan bersenjata bisa memiliki pengaruh yang tidak sebanding dengan jumlah mereka yang sesungguhnya.

· Hefner tentang dinamika global: Sejak 1990-an, dua sebab internal di atas diperparah dengan faktor ketiga yang sifatnya global, yakni “the expansion of armed Islamic groupings with ties to al-Qaeda into the country” (2005: 275). Namun ia juga mengingatkan: “Nonetheless, in Indonesia if not the southern Philippines, al-Qa’ida has until recently been a secondary influence on Islamist paramilitarism by comparison with the paramilitarist’ domestic sponsors.” Secara keseluruhan ia melihat: “The rapid spread of religious violence and the state’s inability to contain it caught the mainstream Muslim leadership off guard and momentarily allowed the radicals to scale up their influence in society” (Hefner 2005: 275).

Keterkaitan Lokal dan Global: Para Aktor

Laskar Jihad (LJ)

· Berdiri pada Februari 2000, dengan fatwa dari Timur Tengah.

· Dipimpin Jafar Umar Thalib (lahir Desember 1961): keturunan Arab; belajar di LIPIA pada 1980-an; bekerja di DDII antara 1983-1984; memperoleh beasiswa DDII untuk belajar ke Arab Saudi pada 1984; atas dukungan Liga Dunia Islam, berangkat ke Afghanistan pada 1986, di mana ia bertemu sebentar dengan Osama bin Ladin; antara 1989 dan 1993, ia pergi beberapa kali ke Yaman untuk meneruskan belajar; 1993, kembali ke Indonesia dan mendirikan sebuah pesantren di sebelah utara Yogyakarta.

· Tentang pesantren Jafar: khusus untuk mahasiswa kelas menengah yang aktif di halaqah, yang belakangan berkembang menjadi usroh mengikuti model Ikhwanul Muslimin; tiap usroh terdiri dari lima hingga 15 orang dengan seorang pemimpin, yang mengadakan pertemuan mingguan; para anggotanya mengenakan pakaian khas Salafi gaya Asia Selatan, dilarang menjalin hubungan dengan “orang kafir.”

· Jafar tentang Osama dan AS: Kepada Hefner, ia menyatakan tidak pernah bekerjasama dengan Osama, melainkan dengan sebuah faksi Mujahidin yang erat hubungannya dengan pemerintahan Saudi. Setelah September 11, ia secara terbuka mengambil jarak dari Osama, bukan karena serangannya ke AS, melainkan karena oposisi Osama terhadap pemerintahan Saudi.

· Kedua terbesar setelah FPI. Pada puncaknya, September 2001, memiliki 2.000 ,ujahid di Maluku, 400 hingga 1.000 di Sulawesi Tengah, dan beberapa ratus di Papua

· Yang paling baik pendanaannya dan organisasinya. Sayap militer Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jamaah (FKAW), yang didirikan di Yogyakarta pada 1994.

· Melawan apa yang mereka pandang sebagai agresi Kristen di Maluku dan Sulawesi Tengah.

· Hubungan dengan faksi militer di Indonesia: Laporan ICG (2002)

· Hefner: Jafar anti para aktivis demokrasi Muslim, dan punya hubungan dekat dengan beberapa pejabat tinggi di Jakarta. Tuduhan yang dikutip Hefner (2005: 288): seorang anggota keluarga istana telah mendanai pesantren yang dikelola Jafar pada 1994. Jafar menolak tuduhan ini.

· Hefner: Sejak akhir 1999 dan seterusnya, terjadi kontak-kontak intensif antara Jafar dan wakil sebuah faksi militer di Jakarta. Seorang bekas komandan tingkah menengah di LJ, setelah keluar dari LJ, mengakui pada Hefner bahwa kontak-kontak di atas berlangsung meningkat pada Januari 2000, ketika beberapa purnawirawan ABRI (TNI), yang punya hubungan dengan perwira yang masih menjabat, menghubungi Jafar, menunjukkan padanya bahwa mereka bersedia mendukung upaya Jafar untuk memobilisasi kaum Muslim di Maluku.

Front Pembela Islam (FPI)

· Bagaimana dengan Front Pembela Islam (FPI)? Sama sekali tidak ada kaitan?

· Beberapa fakta: Dipimpin keturunan Arab juga; dekat dengan tentara (Hefner: pam swakarsa bikinan Wiranto); pasukan paramiliter Islam terbesar di Indonesia; anggotanya banyak berasal dari kalangan miskin kota (institutionalized riot system?); gemar melakukan vandalisme (berani menantang polisi).

Jamaah Islamiah (JI)

· Para ahli terorisme sering memandang JI sebagai bagian integral dari atau beroperasi di bawah komando Al-Qaedah. Sidney Jones (ICG) lebih memandang hubungan keduanya sebagai hubungan yang ditandai oleh “mutual benefit and parallel struggle” di mana JI tampil relatif otonom. Bubalo dan Fealy (2005) lebih condong ke pendapat Jones, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di bawah.

· Para pemimpin JI jelas memiliki kontak yang intensif dengan Osama dan pemimpin Al-Qaeda lainnya, khususnya antara akhir 1980-an dan awal 1990-an di Afghanistan. Yang paling jelas adalah Hambali, yang tidak saja memimpin JI, tapi juga berkonsultasi kepada para pemimpin Al-Qaeda. Juga Zulkarnaen, komandan sayap militer JI, dan Fathur Rahman al-Ghozi, ahli bom yang memiliki pengalaman luas di Afghanistan dan Filipina. Al-Qaeda juga mendanai serangan-serangan teroris JI, termasuk US$35,000 untuk pemboman Bali.

· Kaitan ideologis antara JI dan Al-Qaeda juga sangat jelas: konsepsi mereka mengenai jihad mengingatkan kita pada konsepsi `Azzam.

· Tapi “kandungan lokal” JI juga banyak. Modal jihad ada dalam sejarah Indonesia. JI adalah kelanjutan dari DI: Kartosuwiryo dianggap sebagai figur teladan, seorang syahid; Sugkar dan Baasyir menduduki posisi-posisi penting di DI pada 1980-an dan awal 1990-an; Sungkar memandang kemerdekaan Indonesia bukan 17 Agustus 1945, tapi 7 Agustus 1949, ketika NII diproklamasikan;komunitas DI adalah salah satu pusat rekrutmen JI; banyak veteran Afghanistan pergi ke Afghanistan pada 1980-an sebagai anggota DI, dan mereka hanya menjadi anggota JI belakangan, sekembalinya mereka ke Indonesia; kader-kader Di dilatih sebagai unit-unit tersendiri di Kamp Hudaibiyah milih JI di Mindanao dan instruktur-instruktur JI terus melatih kader-kader DI di Jawa; terjadi banyak kawin campur antara keluarga-keluarga JI dan DI, untuk mempererat tali silaturrahmi.

Kaitan Lokal dan Global: Bagaimana Dana dan Ideologi Disalurkan?

LIPIA

Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) dianggap sebagai “the sperhead of Wahhabi influence” di Indonesia, negara Muslim terbesar di dunia yang hingga tahun 1990-an dikenal “amat fleksibel” (famously relaxed) dalam praktik-praktik keislamannya (Burr and Collins 2006: 201). Konsekuensinya, seraya mengutip para kritikus Saudi Arabia, Burr dan Collins memandang Saudi Arabia sebagai “playing a surreptitious role in Indonesian society under the guise of providing ‘above-board funds for religious and educational purposes’ while it ‘quitely disbursed funds for militant Islamic groups’” (Burr and Collins, 2006: 201). Mereka juga mengutip seorang pengeritik pemerintah Saudi Arabia yang menyatakan bahwa “Saudi money has had a profound effect on extremist group, allowing some to keep going and inspiring others to start recruiting” (Burr and Collins, 2006: 201-202).

Yayasan Al Haramain

· Yayasan ini menandatangani nota kesepakatan dengan Departemen Agama Republik Indonesia pada 2002, yang memungkinkannya untuk mendanai lembaga-lembaga pendidikan. Namun, ketika sudah disetujui, mereka menggunakan dana yayasan itu untuk mendanai Jamaah Islamiyah (Burrr and Collins, 2006: 202).

· Agus Dwikarna: Pada Maret 2001 ia ditangkap di Bandara Internasional Manila, Filipina, karena membawa tas berisi C4 eksplosif; ia adalah operator Al-Qaeda dan wakil Yayasan Al Haramain di Makassar, di mana ia membangun kamp latihan teroris dan memimpin Laskar Jundullah. Pada Juni 2000, ia ikut dalam latihan yang diselenggarakan sel Al-Qaeda di Spanyol dan terus menjalin kontak dengan Mohamed Atta, yang diduga pemimpin para pembajak pesawat pada September 11. Bersama Omar Faruq (lihat di bawah), ia menjadi guide Ayman al-Zawahiri yang datang ke Indonesia dalam rangka “part of a wider strategy of shifting the base of Osama bin Laden’s terrorist operation from the Subcontinent to South East Asia” (Burr and Collins, 2006: 202).

· Omar al-Faruq: Pada April 2001, al-Faruq ditangkap di Indonesia. Ia mengakui bahwa sebuah cabang Yayasan Al Haramain bertanggungjawab atas operasi-operasi Al-Qaeda di wilayah ini dan bahwa “money was laundered through the foundation by donors from the Middle East” (Burr and Collins, 2006: 202).

· Pada 2003, atas tekanan AS, pemerintah Saudi Arabia memerintahkan Yayasan Al Haramain untuk menutup semua cabangnya di luar negeri, termasuk yang berada di Jakarta. Sekalipun resmi ditutup, kantor Jakarta tetap beroperasi dari sebuah kantor lebih sederhana di dekat kantor yang lama, di mana Yayasan melanjutkan pemberian supervisi bagi “the completion of the charity’s expensive new religious boarding school on the outskirt of Jakarta.” Di luar Jakarta, dana Saudi terus dialirkan lewat Darul Istiqamah Al-Haramain di Makassar dan dari sebuah kota kecil di Jawa Tengah (Burr and Collins, 2006: 204).

· Pada 2004, US Treasury melaporkan bahwa kantor Al Haramain di Jakarta “either continuing to operate or [had] other plans to avoid these measures.” PBB juga melaporkan bahwa bantuan dana terus mengalir. Karenanya, US Treasury membekukan asset-asset enam kantor Al Haramain di luar negeri, termasuk di Jakarta, dan mendesak agar pemerintah Saudi Arabia menutup kantor utamanya di Saudi Arabia, sekali dan selamanya. Dalam pernyataan persnya (19 Februari 2004), US Treasury mengatakan: “The branches of Al Haramain that we have singled out today not only assist in the pursuit of death and destruction; they deceive countless people around the world to believe that they have helped spread good will and good works” (dikutip dalam Burr and Collins, 2006: 204). Dalam komentar baliknya, pemerintah Saudi mengatakan, jika AS dan PBB “thought al Haramain is doing something in Indonesia, then it is up to the government of Indonesia to take action, not Saudi Arabia” (dikutip dalam Burr and Collins, 2006: 204).

· “Whether by ignorance or design Saudi were certainly using their ‘charitable’ outreach to expand a Salafist jihadist influence throughout Southeast Asia” (Burr and Collins, 2006: 204).

« Older entries