Menimbang Nurcholish Madjid

Menimbang Nurcholish Madjid

Oleh Amich Alhumami

KAJIAN tentang tema Islam dan modernisme selalu saja menarik perhatian. Tema keislaman dan kemodernan merupakan sebuah wacana pemikiran, yang mampu membangkitkan gairah intelektual untuk mendiskusikannya. Tema ini menarik perhatian terutama berkaitan dengan pertanyaan penting: apakah Islam itu kompatibel dengan modernisasi. Biasanya para pemikir dan intelektual Muslim secara subyektif menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan, bahwa Islam itu bukan saja kompatibel dengan kemodernan, melainkan juga memiliki hubungan organik dengan modernitas. Karena itu, umat Islam memiliki kelenturan yang luar biasa dalam melakukan adaptasi dengan perkembangan modern. Islam merupakan agama yang paling siap menerima proses modernisasi.

Seorang ahli sosiologi agama, Robert N Bellah, misalnya, secara mengejutkan memberikan penilaian bahwa Islam salaf (Islam klasik) itu sangat modern untuk ukuran tempat dan waktu pada masa itu. Islam klasik ternyata memiliki ciri-ciri yang sama secara fundamental dengan apa yang ada dalam masyarakat modern di Barat. Dalam kata-kata Bellah, “when the structure that took shape under the prophet was extended by the early caliphs to provide the organizing principle for a word empire, the result is something that for its time and place is remarkably modern.”

Demikianlah, Islam itu adalah sebuah agama yang mempunyai watak, visi, dan pandangan ke arah kemajuan. Islam bukan agama konservatif dan tradisional, melainkan agama yang memberi tempat bagi modernitas. Di sini, ada persenyawaan yang harmonis antara Islam dan modernitas. Dalam hal ini masyarakat Islam bisa saja hidup di alam kemodernan dengan tetap mempertahankan dan memegang teguh nilai-nilai agama yang dianut. Bahwa menjadi modern itu tidak harus menghalangi seseorang untuk tetap teguh dalam menjalankan ajaran agama; seseorang bisa saja menjadi modern dengan tetap setia kepada Islam.

Islam sendiri mengajarkan untuk selalu bersikap terbuka dan bisa berlaku adaptif terhadap hal-hal yang baru (modern). Apalagi hal-hal yang baru tersebut mengandung nilai-nilai positif dan membuka jalan ke arah kemajuan dan kemodernan. Islam juga menganjurkan untuk mengambil pelajaran yang berharga dari mana pun datangnya. Landasan teologis yang selalu dijadikan rujukan untuk menegaskan betapa Islam itu sangat terbuka bagi kemajuan dan kemodernan adalah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi: “al-mukhafadhotu ‘alal qadim as-sholih wal akhdhu bil jadid al-ashlah – mempertahankan nilai-nilai lama yang baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang (lebih) baik.”

***

MEMPERBINCANGKAN gerakan modernisme Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sosok Nurcholish Madjid yang akrab dipanggil Cak Nur, karena dialah tokoh sekaligus pemain utamanya. Tentu saja Cak Nur tidak sendirian dalam menyuarakan pemikiran-pemikiran pembaruan. Ada banyak tokoh seangkatan dengannya yang ikut serta dalam gerakan pembaruan Islam di Indonesia seperti M Dawam Rahardjo, M Amien Rais, M Imaduddin Abdulrahim, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, Adi Sasono, Jalaluddin Rakhmat, dan banyak lagi yang lain. Namun di antara banyak tokoh itu, Cak Nur mempunyai tempat yang khusus dan peranan yang sangat dominan. Tanpa bermaksud melebihkan dari yang lain, Cak Nur adalah sang pelopor dari sebuah kebangkitan apa yang disebut the new moslem intellectual thinker, yang muncul sejak dekade 1970-an. Bahkan dengan nada menyanjung dan penuh kekaguman, majalah Tempo menjulukinya sebagai “lokomotif” gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Tentu saja banyak argumen mengapa Cak Nur ditempatkan pada kedudukan yang sangat terhormat dan istimewa dalam setting gerakan modernisme Islam itu.

Cak Nur adalah pemikir Islam yang mempunyai pengaruh kuat dan luas dalam sejarah intelektualisme Islam di Indonesia. Pikiran-pikirannya membawa dampak yang amat luas dalam kehidupan keagamaan komunitas Islam; dan lebih dari itu ia bahkan menjadi rujukan serta kiblat kaum intelektual Muslim Indonesia. Salah satu bukti betapa kuatnya pengaruh Cak Nur dalam sejarah intelektualisme Islam Indonesia adalah, ia telah berhasil mengembangkan wacana intelektual di kalangan masyarakat Islam secara modern, terbuka, egaliter, dan demokratis. Wacana demikian amat relevan dengan realitas masyarakat Indonesia yang pluralis baik dari segi agama, etnis, maupun budaya.

Bagi Cak Nur, kenyataan pluralisme masyarakat Indonesia itu seyogianya menjadi landasan sosial, untuk menampilkan Islam secara inklusif, terbuka, dan demokratis, serta mewadahi semua unsur masyarakat dalam satu bangunan tunggal: bangsa Indonesia. Meskipun umat Islam mayoritas di negara ini sebaiknya tidak bersikap eksklusif, karena hal itu bisa mengganggu hubungan sosial dalam semangat keutuhan sebagai bangsa. Wacana intelektual seperti itulah yang sekarang ini menjadi mainstream, dan lebih bisa diterima oleh banyak kalangan. Sejarah telah membuktikan, bahwa wacana pemikiran keislaman yang bercorak pluralis dipandang sangat sesuai dengan format masyarakat Indonesia di masa depan.

Wacana pluralisme Islam ini sangat penting, terutama dalam upaya membangun harmoni sosial di antara segenap komponen bangsa yang beragam latar belakang sosial, budaya, dan agama. Dalam perspektif teologi-politik, wacana pluralisme Islam itu tercermin dalam paradigma gerakan politik Islam yang tidak mengutamakan aspek formalisme dan legalisme. Paradigma yang dianut oleh para pendukung pluralisme adalah melakukan proses substantialisasi nilai-nilai Islam dalam konteks kehidupan kebangsaan. Karena itu, aspek-aspek keislaman yang bersifat simbolik menjadi kurang penting dan tidak signifikan. Formalisme dan legalisme seperti tercermin dalam pembentukan partai politik Islam atau negara Islam dinilai sangat tidak strategis. Terbukti bahwa ketika sebagian umat Islam cenderung lebih mengutamakan formalisme dan legalisme, yang terjadi justru proses alienasi dan isolasi politik dalam kurun waktu yang sangat lama.

***

DALAM perspektif demikian, Islam seyogianya tidak dijadikan sebagai ideologi-politik, sebab selain dikhawatirkan akan mereduksi nilai Islam, juga bisa mempersempit ruang gerak Islam dalam dinamika sosial-kemasyarakatan. Jika Islam tampil sebagai kekuatan ideologi-politik, maka itu bukan saja akan menjadikan umat Islam sebagai kelompok eksklusif dalam konfigurasi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, tetapi juga bisa menciptakan situasi yang rentan terhadap munculnya konflik sosial politik, yang dilandasi oleh sentimen primordial dan emosi keagamaan. Konflik tersebut jelas dikhawatirkan bisa membawa ke arah disintegrasi nasional.

Dengan segala kearifan dan jiwa kenegarawanan, terutama untuk menjaga keutuhan bangsa, generasi intelektual Islam modernis mencoba membangun sebuah paradigma baru, yang tidak menempatkan Islam politik sebagai agenda utama perjuangan. Bagi kelompok intelektual Muslim pembaru, yang menjadi agenda utama justru bagaimana Islam bisa menjadi landasan etik dan moral dalam membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, Islam harus ditampilkan secara inklusif dalam realitas kehidupan kebangsaan yang majemuk ini. Jargon yang sangat terkenal dari Cak Nur adalah “integrasi antara keislaman dan kebangsaan” dalam wadah Indonesia modern.

Cak Nur memang telah menjadi simbol kaum intelektual Muslim modernis Indonesia. Jika pada masa-masa pra dan awal kemerdekaan, simbol kaum terpelajar dari kalangan Islam itu melekat pada diri H Agus Salim dan Muhammad Natsir, maka pada masa sepeninggal mereka, simbol itu disandang oleh Cak Nur. Dalam konteks ini, posisi individual Cak Nur mempunyai resonansi yang sangat kuat dalam menumbuhkan atmosfer intelektual di lingkungan komunitas Muslim Indonesia. Pemikiran dan karya intelektualnya memiliki pengaruh besar dalam pembentukan tradisi intelektualisme Islam di Indonesia. Tanpa bermaksud menyanjung dan melebih-lebihkan, Cak Nur bisa disebut sebagai sosok intelektual Muslim Modernis par exellence.

Kapasitas intelektual Nurcholish Madjid memang terbilang istimewa. Ia bukan saja menguasai secara sangat mendalam tradisi ilmu-ilmu keislaman klasik, sehingga dengan fasih berbicara mengenai banyak hal yang berkaitan dengan khazanah keilmuan Islam tradisional, melainkan juga mempunyai dasar-dasar yang kukuh di bidang tradisi ilmu-ilmu sosial modern (baca: Barat), sehingga mahir mengartikulasikan gagasan-gagasan yang berkaitan dengan dinamika sosial dan perkembangan masyarakat. Tentu saja kemampuan tersebut merupakan kombinasi sempurna, untuk bisa menyuarakan ide-ide pembaruan di kalangan umat Islam. Cak Nur mempunyai otoritas intelektual yang bisa dipertanggungjawabkan, untuk berbicara tentang masalah-masalah strategis baik yang berkaitan dengan tema keislaman maupun tema sosial-kemasyarakatan. Kombinasi dua kemampuan itulah yang melahirkan sinergi, sehingga bisa menopang gerakan pembaruan Islam di Indonesia.

***

DEMIKIANLAH, Cak Nur telah berhasil meletakkan dasar-dasar pemikiran yang kukuh sebagai landasan bagi upaya mengembangkan kiprah umat Islam di tengah-tengah realitas kemajemukan masyarakat dan bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, inklusivisme Islam menjadi sangat penting, untuk membangun persenyawaan harmonis dalam interaksi sosial dan memperkukuh integrasi bangsa. Dengan watak inklusif seperti itu, maka Islam akan tampil dengan wajah yang ramah dan rendah hati, serta dilandasi oleh semangat toleransi, sehingga tidak akan menimbulkan kekhawatiran, apalagi kecemasan dan ketakutan, dari kalangan mana pun di luar Islam.

Dengan ide-ide pluralisme itu, tidaklah mengherankan bila Cak Nur, selain Abdurrahman Wahid, relatif lebih bisa diterima oleh kalangan di luar Islam. Figur Cak Nur, seperti halnya figur Abdurrahman Wahid, adalah sedikit dari tokoh Islam yang mampu mengembangkan basis ketokohan dalam spektrum yang luas, bukan hanya di kalangan umat Islam sendiri, tetapi telah melebar ke kalangan non-Islam. Barangkali antara Cak Nur dan Abdurrahman Wahid memiliki tingkat akseptabilitas yang sebanding di lingkungan umat non-Islam. Nyata sekali kewibawaan Cak Nur itu bukan hanya sebatas di kalangan intern umat Islam saja, tetapi terasakan pula di kalangan umat agama lain. Ungkapan seorang rohaniwan Katolik berikut jelas menggambarkan hal tersebut: “Sikap dan pandangan keagamaan Cak Nur itu bersandar pada sendi-sendi kemanusiaan universal, yang melampaui kotak-kotak agama.” Dengan demikian, basis konstituen Cak Nur juga berkembang lebih meluas dan melebar, melintasi sekat-sekat primordial dan menembus batas-batas agama.

Mungkin figur seperti Cak Nur itulah yang dibutuhkan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia di masa depan. Figur yang menginsyafi sepenuhnya realitas kemajemukan masyarakat, yang tercermin dalam pandangan-pandangan keagamaan dan politiknya yang sangat terbuka, toleran, dan demokratis. Bagi Cak Nur, di Bumi Indonesia setiap elemen masyarakat dan bangsa harus mendapat perlakuan yang setara tanpa membedakan latar belakang etnis, budaya, atau agama. Keinsyafannya akan realitas pluralisme masyarakat ini bahkan melampaui dasar-dasar keyakinannya sebagai pemeluk Islam. Meskipun demikian, hal itu tidak kemudian mengubah kesetiaannya kepada Islam; Cak Nur tetaplah seorang Muslim yang taat yang siap membela umat Islam bila mendapat perlakuan yang tidak adil.

Dalam situasi krisis kepemimpinan bangsa seperti sekarang ini, tampilnya figur yang berintegritas, kredibel, berakhlak mulia, dan terpercaya sungguh sangat dirindukan oleh masyarakat. Cak Nur jelas merupakan tokoh Islam terkemuka yang memiliki kualitas-kualitas tersebut, dan sangat memadai untuk bisa mendapatkan kehormatan menjadi pemimpin bangsa Indonesia. Dengan wawasan dan visi pluralisme yang demikian kental, umat beragama selain Islam mempunyai alasan kuat untuk bisa menerima Cak Nur menjadi pemimpin bangsa dalam upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang demokratis dan berkeadilan. Wallahu a’lam Bis-showab.

(* Amich Alhumami, alumnus Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia, Jakarta. )

9 Comments

  1. October 26, 2007 at 12:49 pm

    Pasca wafatnya Yang Mulia Prof. DR. Nurcholish Madjid, Paramadina wajib berpersepsi sesuai dengan hujjah Allah, hujjah nabi Muhammad saw., hujjah kitab suci-Nya yaitu menunggu-nunggu dan tidak melupakan:

    1. Al A’raaf (7) ayat 52,53: Datangnya Allah menurunkan Hari Takwil Kebenaran KItab.

    2. Fushshilat (41) ayat 44: Datangnya Allah menjadikan Al Quran dalam bahasa asing selain dalam bahasa Arab.
    Sedang Al Quran ada didalam kitab suci dan belum muncul wujudnya seperti apa sesuai Al Waaqi’ah (56) ayat 77-79, Al Baqarah (2) ayat 2.
    Nabi Muhammad saw. menggambarkan Al Quran pada syiar-syiar Allah dimanasik haji dan umrah, seperti do’a nabi disudut hajar aswad sebelum thawaf: “Aku beriman kepada-MU (Allah), aku membenarkan kitab-Mu (Allah). Jadi thawaf adalah Kitab Allah atau Al Quran simbul siklus Risalah Allah / Tuhan yang disampaikan oleh para nabi / rasul sesuai Al Maidah (5) ayat 67, Al An Aam (6) ayat 124,125, Al A’raaf (7) ayat 62,68,79,93,144, Al Ahzaab (33) ayat 38,39,40, Al Jinn (72) ayat 23,26,27,28.

    3. Thaha (20) ayat 114,115: Datangnya Allah menyempurnakan pewahyuan Al Quran berkat do’a ilmu pengetahuan agam oleh manusia.

    4. Al Mujaadilah (58) ayat 6,18,22: Datangnya Allah membangkitkan semua manusia dengan ilmu pengetahuan agama.

    5. An Nahl (16) ayat 93: Datangnya Allah menyatukan umat beragama setelah 1.400 tahun lebih terpecah belah menjadi 73 firqah golongan sekte.

    6. Al Baqarah (2) ayat 148: Datangnya Allah PASTI mengumpulkan berbagai macam persepsi agama ciptaannya dalam satu persepsi agama pada hari kiamat (kiamat adalah hari habis gelap terbitlah terang benderang ilmu pengetahuan agama.

    Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi.

  2. October 26, 2007 at 12:58 pm

    Untuk menjawab itu semua telah terbit buku panduan kepada kitab-kitab suci agama-agama berjudul:
    “BHINNEKA CATUR SILA TUNGGAL IKA”
    berikut 4 buah lampiran:
    “SKEMA TUNGGAL ILMU LADUNI TEMPAT ACUAN AYAT KITAB SUCI TENTANG KESATUAN AGAMA (GLOBALISASI)”
    hasil karya otodidak oleh:
    “SOEGANA GANDAKOESOEMA”
    dalam penelitian isi kitab-kitab suci agama-agama selama 25 tahun dengan penerbit:
    “GOD-A CENTRE”
    dan mendapat sambutan dari:
    “DEPARTEMEN AGAMA REPUBLIK INDONESIA” DirJen Bimas Buddha, umat Kristiani dan tokoh Islam Pakistan.

    Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tuinggal Agama millennium ke-3 masehi

  3. December 18, 2007 at 12:00 pm

    Seluruh para rasul dan nabi seperti tersebut diatas menyampaikan Risalah Allah / Tuhan, sedangkan pemuka agama umat dari tiap-tiap nabi / rasul menyempaikan risalah nabi / rasulnya, sehingga pemuka agama umatnya secara tidak sadar telah mengarbabankan / memberhalakan / menuhankan bai / rasul sesuai Ali Imran (3) ayat 80, sedangkan umatnya telah mengarbabankan / memberhalakan / menuhankan pemuka agama selain Allah sesuai At Taubah (9) ayat 31, dan hal-hal sifat-sifat seperti ini mengakibatkan perpecahan persepsi antara agama dan persepsi didalam agama sebanyak 73 firqah sesuai Ar Ruum (30) ayat 32, Al Mu’minuun (23) ayat 53,54.

    Allah akan menyatukan manusia menjadi satu umat dengan persepsi tunggal agama memenuhi An Nahl (16) ayat 93, yang tidak mau disatukan disesatkan Allah yang mau disatukan diberi-Nya petunjuk kepada Agama Allah memenuhi An Nashr (110) ayat 1,2,3, dan menciptakan syariat kiamat sesuai Al Jaatsiyah (45) ayat 16,17,18 pada awal millennium ke-3 masehi di Indonesia.

    Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi.

    • Melvina said,

      April 10, 2017 at 5:34 am

      Pas de problème, je garderai le château!! Je ne promets pas de pouvoir passer tous les jours ça dépendra du boulot et des dÃs©alcementp. Mais j’irai autant que possible!

  4. December 22, 2007 at 12:47 pm

    Sifat arbaban / berhala / menuhankan nabi/rasul secara tidak sadar sesuai Ali Imran (3) ayat 80, dan arbaban /berhala / menuhankan pemuka agama selain Allah secara tidak sadar sesuai At Taubah (9) ayat 31, adalah sifat musrik yang menyimpang jauh disambar burung dan diterbangkan angin dan tidak sampai kepada Allah sesuai Al Hajj (22) ayat 31.
    Sedang sifat musrik wajib dibunuh dengan hujjah ilmu agama sesuai At Taubah (9) ayat 5; najis menurut At Taubah (9) ayat 28; wajib diperangi dengan hujjah ilmu agama menurut At Taubah (9) ayat 36; sifat musrik tiada ampunan sesuai An Nisaa (4) ayat 48,116.
    Sadarlah hai umat manusia shahadat tauhid lebih mulia dari pada shahadatain sesuai Az Zumar (39) ayat 45.

    Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi.

  5. July 2, 2008 at 11:26 am

    Buku panduan terhadap kitab-kitab suci agama-agama berjudul:
    “BHINNEKA CATUR SILA TUNGGAL IKA”
    Penulis: Soegana Gandakoesoema.

    I Telah diserahkan hari Senin tanggal 24 September 2007 kepada Prof. DR. ibu Siti Musdah Mulia, MA., Islam, Ahli Peneliti Utama Balitbang Departemen Agama Republik Indonesia, untuk diteliti sampai kepada kesimpulan menerima atau menolak dengan hujjah sebagaimana isi buku itu sendiri berhujjah.

    II. Telah dibedah oleh:
    A. Abdurrahman Wahid, Gus Dur, Islam, Presiden Republik Indonesia ke-4 tahun 1999-2001.

    B. Prof. DR. Budya Pradiptanagoro, Penghayat Ketuhanan Yang Maha Esa, dosen FS Universitas Indonesia.

    C. Prof. DR. Usman Arif, Konghucu, dosen Filsafat Universitas Gajah Mada.

    D. Prof. DR. Robert Paul Walean Sr., Pendeta Nasrani, sebagai moderator, seorang peneliti Al Quran, sebagaimana Soegana Gandakoesoema meneliti Al Kitab perjanjian lama dan perjanjian baru, keduanya setingkat dan setaraf dengan Waraqah bin Naufal bin Assab bin Abdul Uzza 94 tahun, Pendeta Nasrani, anak paman Siti Hadijah 40 tahun, isteri Muhammad 25 tahun sebelum menerima wahyu 15 tahun kemudian pada usia 40 tahun melalui Jibril (IQ).
    Pettanyaannya yang silut untuk dijawab akan tetapi sangat logis dan wajar untuk dipertanyakan adalah, ketika Siti Hadijah nikah dengan Muhammad sebelum wahyu turun, dia adalah seorang yang baik, patonah, sidik, amin dan lain sebagainya, melaksanakan perkawinan dengan cara ritual agama apa dan keduanya beragama apa ?

    E. Disaksikan oleh 500 peserta seminar dan bedah buku, diakhiri dengan sesi dialog tanya-jawab, yang apabila waktunya tidak dibatasi akan mengulur panjang sekali, sehubungan banyaknya gairah pertanyaan yang diajukan oleh para hadirin.

    Pada hari Kamis tanggal 29 Mei 2008, jam 09.00-14.30, tempat Auditorium Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, jl. Salemba Raya 28A, Jakarta, dalam rangka peringatan satu abad (1908-2008) kebangkitan nasional “dan kebangkitan agama-agama (1301-1401 hijrah) (1901-2001 masehi)’ diacara Seminar & Bedah Buku hari/tanggal: Selasa 27 Mei – Kamis 29 Mei 2008, dengan tema merunut benang merah sejarah bangsa untuk menemukan kembali jati diri roh Bhinneka Tunggal Ika Panca Sila Indonesia.

    Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi.

  6. July 2, 2008 at 11:29 am

    Buku “BHINNEKA CATUR SILA TUNGGAL IKA”
    Penulis: Soegana Gandakoesoema

    Tersedia ditoko buku KALAM
    Jl. Raya Utan Kayu 68-H, Jakarta 13120
    Telp. 8573388

  7. October 27, 2008 at 1:22 pm

    Buku “BHINNEKA CATUR SILA TUNGGAL IKA”
    Penulis: Soegana Gandakoesoema
    Penebit: GOD-A CENTRE
    dengan BONUS: “SKEMA TUNGGAL ILMU LADUNI TEMPAT ACUAN AYAT KITAB SUCI TENTANG KESATUAN AGAMA (GLOBALISASI) berukuran 63×60 cm.

    Tersedia ditokotoko buku distributor tunggal:
    P.T. BUKU KITA
    Telp. 021.78881850
    Fax. 021.78881860

  8. January 20, 2013 at 5:50 am

    Buku Panduan bagaimana mendamaikan agama-agama dalam sekejap saja milikilah dan bacalah
    Buku Panduan “Bhinneka Catur Sila Tunggal Ika
    Bonus “Skema Tunggal Ilmu Laduni Tempat Acuan Ayat Kitab Suci Tentang Kesatuan Agama” Penulis Soegana Gandakoesoema
    Tersedia di
    Perumahan BSI Permai Blok A3
    Jl. Samudera Jaya
    Kelurahan Rangkapan Jaya
    Kecamatan Pancoran Mas
    Depok 16435
    Telp./Fax. 02177884755
    HP. 085881409050


Leave a comment