Bung Kecil

Oleh Budiarto Shambazy
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0604/11/utama/2572857.htm
————————————————-

Perdana menteri kita yang pertama, Sutan Sjahrir, tutup usia sebagai
tahanan politik oleh Orde Lama tanggal 9 April 1966 di Zurich, Swiss.
Ia diizinkan berobat ke Zurich sejak Mei 1965 oleh Presiden Soekarno
yang dalam izin tertulisnya mengatakan Sjahrir boleh berobat ke mana
saja kecuali Belanda.

Pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI) tahun 1948 itu dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata tanggal 19 April 1966. Si “Bung
Besar” Presiden Soekarno yang sekitar satu bulan sebelumnya dipaksa
menandatangani Surat Perintah 11 Maret karena alasan keamanan tidak
mungkin menghadiri upacara pemakaman rekan seperjuangannya, Sjahrir,
si “Bung Kecil”.

Hampir semua wakil perdana menteri (waperdam) politik menghadiri
upacara pemakaman Sjahrir, termasuk Letjen Soeharto, Sri Sultan
Hamengku Buwono IX, dan Adam Malik. Mantan Wakil Presiden Mohammad
Hatta memberikan sambutan di hadapan liang lahat Sjahrir, sementara
Menhankam/Kasab Jenderal AH Nasution menjadi inspektur upacara
pemakaman.

Ratusan ribu warga Jakarta berjubel di kanan dan kiri jalan ketika
jenazah Sjahrir tiba tanggal 18 April di Bandara Kemayoran, maupun
saat jenazah diberangkatkan dari rumah duka di daerah Menteng menuju
ke TMP Kalibata. Presiden Soekarno saat itu langsung menetapkan
Sjahrir sebagai Pahlawan Nasional dan pemerintah menyerukan rakyat
menaikkan bendera setengah tiang selama tiga hari sebagai tanda
berkabung nasional.

Suami Ny Poppy Sjahrir itu menghabiskan hari-hari terakhirnya di
balik jeruji Orde Lama. Penjajah Belanda juga beberapa kali
mengasingkan Sjahrir, antara lain ke Boven Digul (Papua) dan
Bandarneira (Maluku).

Sjahrir ditangkap atas perintah Presiden Soekarno sekitar pukul 04.00
tanggal 18 Januari 1962 di rumahnya di Jalan HOS Cokroaminoto 61,
Jakarta Pusat. Sejak itulah ayah dua anak itu berpindah-pindah ke
berbagai penjara di Kota Madiun (Jawa Timur), RSPAD (Jakarta Pusat),
Jalan Keagungan (Jakarta Utara), dan RTM Budi Utomo (Jakarta Pusat).

Sjahrir, kelahiran Padangpanjang, Sumatera Barat, 5 Maret 1909,
ditangkap karena dituduh mau menggulingkan pemerintahan Presiden
Soekarno. Sjahrir diduga ikut terlibat dalam percobaan pembunuhan
Presiden Soekarno ketika iring-iringan mobil Kepala Negara dilempari
sebuah granat di Makassar tanggal 7 Januari 1962.

Hasil pemeriksaan terhadap mereka, yang dituduh menjadi anggota
kelompok makar Verenigde Ondergrondse Corps (Korps Bawah Tanah
Bersatu) direkayasa seolah-oleh terkait dengan “komplotan Bali”.

Sjahrir, yang kerap pergi ke berbagai daerah untuk menyiapkan kader
PSI, memang sempat datang ke Pulau Bali. Dan pada tanggal 18 Agustus
1961 di Pulau Dewata itu sedang berlangsung sebuah acara kremasi
untuk bekas Raja Gianyar dan Sjahrir diundang oleh anak almarhum sang
raja, Anak Agung.

Sjahrir datang tidak sendirian karena ada pula undangan lain, yakni
Bung Hatta serta sejumlah tokoh PSI lainnya. Entah mengapa, pertemuan
yang dihadiri dua tokoh penting Angkatan ’45 dan kalangan politik
lainnya itu dicurigai sebagai sebuah persiapan untuk melancarkan
makar oleh “komplotan Bali”.

Adalah Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Soebandrio yang melaporkan
kepada Presiden Soekarno tentang “komplotan Bali” itu.

Sjahrir yang sempat bercita-cita melamar ke angkatan udara itu
menjadi PM memimpin kabinet selama tiga kali dalam periode 1945-1947.
Setelah dibebaskan dari penjara Belanda tahun 1942, Sjahrir
menjadi “orang nomor tiga” dalam perjuangan Angkatan ’45 untuk
mencapai kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Ketika menempuh pendidikan di Belanda, Sjahrir ikut serta di dalam
Perhimpunan Indonesia yang pernah dipimpin oleh Bung Hatta. Ketika
kembali ke Hindia Belanda, mereka aktif memimpin Pendidikan Nasional
Indonesia yang menempatkan kedaulatan rakyat setinggi-tingginya,
sekaligus memberdayakan rakyat jelata melalui pendidikan.

Sjahrir mencapai karier puncak politiknya ketika menulis Perjuangan
Kita, sebuah manifesto yang membuat dia berseberangan dengan (juga
menyerang) Bung Karno. Jika Soekarno amat terobsesi kepada persatuan
dan kesatuan, Sjahrir justru menulis, “Setiap persatuan hanya akan
bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha
untuk menyatukan secara paksa hanya menghasilkan anak banci.
Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak
pergerakan”.

Satu lagi kecaman terhadap Bung Karno. “Nasionalisme yang Soekarno
bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis, sebenarnya adalah
fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita”. Ia juga
mengejek gaya agitasi massa Soekarno yang menurut dia tidak
mendatangkan apa-apa.

Beberapa kalangan menilai karier politik Bung Kecil selesai setelah
diketahuinya hasil Pemilihan Umum 29 September 1955 yang
memperlihatkan bahwa PSI cuma merebut sekitar dua persen suara atau
merebut lima kursi di parlemen yang terdiri dari 257 kursi. “Kami,
orang-orang Sosialis dalam arti yang tepat, adalah tukang-tukang
mimpi profesional,” ujar Bung Kecil berseloroh.

Walaupun praktis sudah pensiun dari aktivitas politik pada paruh
kedua dekade 1950, Bung Kecil terkena getah kesalahan yang dilakukan
PSI. Salah seorang dari jajaran pengurus PSI, Sumitro Joyohadikusumo,
pindah ke Singapura untuk mendukung pemberontakan PRRI/Permesta tahun
1957-1958.

Sejak itulah Bung Kecil dan PSI disebut Bung Besar sebagai “cecunguk”
yang antipersatuan dan kesatuan yang wajib ditumpas sampai habis.

Charil Anwar, salah seorang pemuda pengikut Sjahrir, menulis sebuah
sajak “Mereka yang Kini Terbaring antara Krawang-Bekasi”. Bunyinya
begini: Kenang, kenanglah kami/Teruskan, teruskan jiwa kami/Menjaga
Bung Karno/Menjaga Bung Hatta/Menjaga Bung Sjahrir.

Mereka sudah lama pergi dan tiada meninggalkan harta benda, kecuali
kekayaan buah pikiran dan tekad perjuangan demi mencapai kemerdekaan.
Masih adakah “bung” di antara kita, itulah pertanyaannya.

3 Comments

  1. natasha irvana said,

    August 6, 2008 at 1:21 pm

    kok blm ada semuanya anak2kalo punya pr tentang panitia 9 belum ada semuanya cuma ada satu. lengkapin dong !

  2. omnimon said,

    April 26, 2010 at 11:59 am

    coba bisa nga yang jasa peranan tokoh perjuangan dalam mempersiapkan kemerdekaan indonesia tolong ya ceeritain

  3. estananto said,

    November 17, 2012 at 2:09 pm

    Reblogged this on Estananto's Blog and commented:
    Bung Kecil, Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama RI.


Leave a reply to natasha irvana Cancel reply